IPO dan Insentif Pajak: Strategi Ampuh Pacu Pertumbuhan Ekonomi Nasional
Berbagai produk makanan ringan populer seperti permen jelly yang biasa dikonsumsi sehari-hari kini mulai melirik peluang baru di pasar modal. Menjelang bulan Ramadan tahun ini, sebuah perusahaan produsen permen jelly terkemuka akan melakukan Initial Public Offering (IPO) di Bursa Efek Indonesia (BEI). Perusahaan tersebut berencana melepas sekitar 854,44 juta lembar saham, dengan target pengumpulan dana hingga Rp 2,13 triliun. Dengan tambahan IPO ini, total perusahaan yang melantai di bursa pada kuartal pertama 2025 mencapai 10 perusahaan, sehingga jumlah saham yang terdaftar menjadi 953 emiten.
Fenomena peningkatan IPO ini menjadi gambaran penting tentang bagaimana perusahaan lokal semakin melihat bursa saham sebagai pilihan strategis untuk mendapatkan dana segar. Namun, menariknya minat IPO perusahaan tidak hanya didorong oleh kebutuhan dana semata, tetapi juga dipicu berbagai insentif fiskal dari pemerintah.
IPO Sebagai Sarana Investasi dan Ekspansi Bisnis
IPO merupakan kesempatan emas bagi perusahaan untuk memperluas bisnis, meningkatkan daya saing, dan memperkuat posisi di pasar. Di sisi lain, IPO membuka peluang luas bagi investor ritel maupun institusi untuk mengelola investasi lebih terdiversifikasi dengan pilihan saham baru yang potensial.
Dalam catatan Bursa Efek Indonesia (BEI), tahun 2023 menjadi tahun tertinggi jumlah IPO, dengan 79 perusahaan yang sukses melakukan IPO. Kesuksesan ini tidak terlepas dari kebijakan strategis yang diterapkan pemerintah, khususnya dalam bentuk insentif perpajakan yang menarik.
Baca juga: Bagaimana Cara Agar Dividen Saham Bebas Pajak?
Stimulus Pajak yang Mendukung Pertumbuhan IPO
Salah satu stimulus utama yang diberikan pemerintah untuk mendorong IPO adalah pengurangan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Badan. Kebijakan ini termuat dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 30 Tahun 2020, turunan dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Kebijakan ini menyatakan bahwa perusahaan terbuka yang melepas minimal 40 persen saham ke publik dan dimiliki oleh sedikitnya 300 pemegang saham dengan kepemilikan saham maksimal 5 persen per pemegang saham selama minimal 183 hari, akan mendapatkan pengurangan tarif PPh Badan menjadi hanya 19 persen dari tarif normal sebesar 22 persen.
Hal ini secara nyata mendorong perusahaan semakin tertarik menjadi perusahaan terbuka, sebab pengurangan tarif tersebut signifikan meringankan beban perusahaan, memperbaiki cash flow, dan menarik investor karena prospek laba yang meningkat.
Selain itu, investor pribadi juga mendapatkan manfaat langsung berupa tarif PPh Final sebesar 0,1 persen untuk transaksi saham yang dilakukan di bursa saham, jauh lebih rendah dibandingkan dengan tarif progresif untuk transaksi saham non-listing. Dengan demikian, insentif pajak ini jelas mendorong semakin banyaknya aktivitas transaksi saham di bursa, menciptakan ekosistem investasi yang dinamis dan berkembang pesat.
Dividen Bebas Pajak untuk Reinvestasi
Investor yang menerima dividen dari perusahaan terbuka juga mendapat insentif pajak khusus. Pemerintah memberikan pengecualian pajak penghasilan atas dividen yang diterima investor perorangan, dengan syarat bahwa dividen tersebut wajib diinvestasikan kembali minimal selama tiga tahun. Jenis investasi reinvestasi yang diizinkan mencakup Surat Berharga Negara (SBN) dan berbagai instrumen investasi strategis yang telah diatur pemerintah.
Insentif ini terbukti berhasil memperluas basis investor ritel serta meningkatkan semangat reinvestasi, yang pada gilirannya berkontribusi terhadap penguatan stabilitas ekonomi nasional.
Insentif Pajak, Modal, dan Dampaknya Terhadap Ekonomi Makro
Dari sudut pandang ekonomi makro, insentif pajak memiliki dampak besar yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Mengacu teori pertumbuhan ekonomi yang dipopulerkan ekonom Robert Solow, kebijakan yang mendukung iklim investasi seperti insentif pajak berperan besar dalam mengakumulasi modal, meningkatkan investasi, dan mempercepat pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang.
Dengan pasar modal yang semakin berkembang dan likuid, Indonesia akan memperoleh manfaat berupa penciptaan lapangan kerja baru, peningkatan daya saing global, serta memperkuat kapasitas fiskal negara melalui penerimaan pajak yang lebih besar dari keuntungan korporasi.
Baca juga: Kupas Tuntas PPh atas Penjualan Saham Perusahaan Modal Ventura
Potensi Penyempurnaan Kebijakan Insentif di Masa Depan
Meski insentif pajak saat ini sudah cukup menarik, terdapat potensi besar untuk lebih memperluas manfaatnya. Pemerintah dapat menyesuaikan dan menyempurnakan kebijakan insentif pajak untuk menyasar sektor-sektor spesifik yang masih kurang terwakili di pasar modal, seperti perusahaan teknologi, startup digital, hingga Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
Di Amerika Serikat, misalnya, skema Qualified Small Business (QSB) berhasil menjadi magnet investor ke bisnis kecil inovatif karena menawarkan insentif pajak keuntungan modal hingga 10 kali lipat nilai investasi awal. Indonesia bisa mengadopsi pola ini untuk mendorong perusahaan kecil maupun startup agar segera melantai di bursa.
Selain itu, pemerintah dapat mempertimbangkan kebijakan tambahan bagi perusahaan dengan komitmen kuat terhadap keberlanjutan dan lingkungan. Contohnya program seperti NASDAQ Green Economy Index, di mana perusahaan yang bergerak dalam teknologi hijau atau energi terbarukan mendapatkan berbagai insentif menarik, seperti pengurangan pajak tambahan atau pembebasan biaya listing. Strategi serupa akan memberikan dampak positif secara luas, baik dari aspek ekonomi, sosial, maupun lingkungan, sekaligus meningkatkan daya tarik pasar modal Indonesia secara internasional.
Referensi: Tulisan Nifail Al Ahza, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Baca Berita dan Artikel Pajakku Lainnya di Google News









