Pemerintah Indonesia berencana meningkatkan penerimaan pajak dari perusahaan multinasional yang beroperasi di Indonesia sebagai upaya untuk mengatasi kebutuhan belanja yang meningkat. Langkah ini dimungkinkan melalui implementasi Pajak Minimum Global (Global Minimum Tax/GMT). Meski begitu, dampaknya terhadap iklim investasi perlu diwaspadai.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengumumkan rencana ini dalam Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 20 Mei 2024, saat menyampaikan pandangan pemerintah terhadap Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) Tahun Anggaran 2025. Menurut Sri Mulyani, pemerintah akan mendorong optimalisasi pendapatan negara di tahun 2025 dengan memperluas basis pajak melalui penerapan Global Taxation Agreement.
Penerapan Pilar Dua GloBe dalam Global Minimum Tax (GMT)
Penerapan Pilar Dua Global Anti Base Erosion (GloBE), memungkinkan pemajakan korporasi multinasional yang melakukan transaksi lintas negara. Kebijakan ini diperkirakan akan meningkatkan pendapatan negara hingga mencapai 12,14%-12,36% dari produk domestik bruto (PDB) pada tahun 2025. Sementara itu, kebutuhan belanja negara diperkirakan mencapai 14,59%-15,18% dari PDB yang menghasilkan defisit fiskal sebesar 2,45%-2,82% dari PDB. Defisit ini masih di bawah batas aman 3%, meski meningkat signifikan dari defisit tahun 2023 yang sebesar 1,65% dari PDB dan target defisit tahun ini yang sebesar 2,29% dari PDB.
Pilar Dua GloBE mengatur penerapan GMT untuk memerangi praktik penghindaran pajak oleh perusahaan multinasional, terutama di sektor digital. Digitalisasi memungkinkan perusahaan multinasional beroperasi tanpa perlu memiliki kantor fisik di negara tujuan pasar, yang membuat otoritas pajak setempat tidak bisa memajaki mereka. Indonesia merupakan pasar bagi banyak perusahaan multinasional yang meraup keuntungan besar namun tidak membayar pajak penghasilan di Indonesia karena tidak memiliki kantor di negara ini. Sebaliknya, ada pula perusahaan multinasional asal Indonesia yang beroperasi di negara dengan tarif pajak lebih rendah atau di negara tax haven.
Pajak Minimum Global (GMT), usulan dari OECD dan didukung oleh G20, telah disepakati oleh lebih dari 140 negara. GMT mengharuskan setiap perusahaan multinasional membayar pajak minimal 15% atas penghasilan dari luar negeri untuk menghapuskan keuntungan yang diperoleh melalui penempatan keuntungan di negara tax haven. Adapun kebijakan ini bertujuan untuk mengurangi manfaat yang diperoleh negara-negara tax haven seperti Barbados, Irlandia, Luksemburg, dan Swiss.
Pandangan Ekonom dan Konsultan Pajak
Ekonom Sustainable Development Indonesia (SDI) Dradjad Wibowo menyatakan bahwa meski secara teoretis Indonesia harusnya mendapatkan manfaat dari penerapan GMT, ada beberapa tantangan yang harus dihadapi. Tantangan ini meliputi sistem teknologi informasi perpajakan yang masih lemah, faktor manusia dan budaya antikorupsi, serta kerjasama perpajakan dengan negara lain, terutama Singapura dan negara tax haven. Dradjad menekankan pentingnya mengatasi ketiga faktor ini agar penerapan GMT dapat berhasil.
Baca juga: Strategi Ekspansi Pasar Global dan Perpajakan Internasional
Konsultan Pajak dan Co-Founder Botax Consulting Indonesia Raden Agus Suparman mengatakan bahwa dengan kesepakatan Pilar Dua GloBE dan GMT, pemerintah nantinya dapat mengenakan pajak penghasilan kepada perusahaan multinasional yang beroperasi di Indonesia maupun yang berasal dari Indonesia dan beroperasi di luar negeri. Tarif efektif minimum GMT adalah 15% atas pendapatan yang diperoleh di negara tempat mereka beroperasi, dan berlaku untuk perusahaan multinasional dengan omzet konsolidasi di atas 750 juta Euro. Pemerintah menargetkan penerapan kebijakan ini dimulai tahun 2025.
Raden memperkirakan potensi penerimaan pajak dari perusahaan multinasional ini cukup besar, mengingat pada tahun 2023 saja penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) mencapai Rp16,9 triliun. Namun, beberapa persiapan perlu dilakukan, termasuk penyiapan payung hukum dan antisipasi dampak penerapan Pajak Minimum Global.
Dampak penerapan GMT terhadap iklim investasi juga perlu diperhatikan. Selama ini, Indonesia memberikan berbagai insentif pajak seperti tax holiday dan tax allowance untuk menarik investor asing. Dengan GMT, insentif ini bisa menjadi kurang efektif karena perusahaan multinasional tetap harus membayar pajak minimal 15 persen secara global, yang bisa dibayarkan ke negara sumber atau pasar (seperti Indonesia) atau ke negara domisili.
Peneliti dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menyatakan bahwa negara maju dan berkembang bisa mendapatkan manfaat dari penerapan GMT. Negara berkembang seperti Indonesia diuntungkan dengan berkurangnya praktik pengalihan keuntungan oleh perusahaan multinasional. Namun, kesiapan perusahaan multinasional yang beroperasi di Indonesia untuk dipunguti pajak penghasilan badan perlu dipastikan.
Sementara itu, pemerintah melalui Menteri Investasi Bahlil Lahadalia menolak penerapan GMT di Indonesia, menyatakan bahwa kebijakan ini hanya menguntungkan negara maju. Menurut Bahlil, Indonesia masih membutuhkan insentif pajak untuk menarik investasi.
Persiapan dan penyesuaian kebijakan insentif pajak dengan ketentuan GMT diperlukan untuk memastikan pajak perusahaan tetap dibayarkan di Indonesia, bukan di negara lain. Hal ini penting untuk menjaga daya tarik investasi sambil memaksimalkan penerimaan pajak negara.









