Tantangan Penerimaan Pajak Pekerja Sektor Informal

Dalam Buku Nota II Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tahun 2024, pemerintah Indonesia menyoroti peningkatan shadow economy yang digadang menjadi salah satu tantangan utama pertumbuhan ekonomi. Dalam buku tersebut tertulis meningkatnya shadow economy merupakan konsekuensi perubahan struktur perekonomian yang mengarah pada digitalisasi dan tingginya sektor informal. Shadow economy, atau ekonomi bayangan merujuk pada kegiatan ekonomi yang tidak tercatat atau diakui secara resmi oleh pemerintah. Ini termasuk kegiatan ekonomi seperti perdagangan ilegal, pekerjaan tanpa izin, dan usaha kecil yang tidak terdaftar secara resmi. Di Indonesia, shadow economy telah menjadi salah satu ciri khas dari struktur ekonomi, dan persentasenya tersus meningkat seiring dengan pertumbuhan sektor informal.

Sektor informal mencakup berbagai jenis pekerjaan, mulai dari pedagang kaki lima hingga tukang ojek, tukang parkir, pekerja rumah tangga, dan lain sebagainya. Peningkatan sektor informal sering kali berkorelasi dengan pertumbuhan shadow economy oleh sejumlah faktor, termasuk ketidakstabilan ekonomi, kesulitan akses ke lapangan kerja formal, dan kurangnya regulasi yang memadai untuk mengatur kegiatan ekonomi informal.

Terdapat sejumlah perbedaan antara pekerja formal dan informal, salah satunya perbedaan dalam hal hak dan kewajiban. Pekerja formal biasanya bekerja di bawah kontrak yang jelas, menerima gaji tetap, dan memiliki hak-hak pekerja yang dijamin oleh undang-undang, seperti jaminan sosial, cuti, dan lain-lain. Pekerja formal juga tunduk pada pemotongan pajak langsung dari penghasilannya oleh pemberi kerja, seperti pemotongan PPh Pasal 21.

Sedangkan pekerja informal cenderung bekerja secara tidak resmi, tanpa kontrak kerja yang jelas, dan tidak memiliki jaminan sosial yang sama dengan pekerja formal. Tidak jarang pekerja informal bekerja secara mandiri atau sebagai bagian dari sektor mikro atau usaha kecil. Salah satu ciri khas pekerjaan informal adalah kurangnya pemotongan pajak secara langsung dari penghasilan mereka. Ciri khas ini terjadi karena sebagian besar kegiatan ekonomi dalam sektor informal jarang tercatat dan sulit untuk dipantau oleh pemerintah.

Baca juga: Pindah Kerja Dalam Satu Tahun? Pelajari Cara Lapor SPT Tahunan Orang Pribadinya

Fajry Akbar, pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), menjelaskan bahwa pekerja informal umumnya tidak mengenal ataupun menerapkan sistem pemotongan PPh Pasal 21 (withholding tax) oleh pemberi kerja. Hal ini berarti mereka memiliki tanggung jawab sendiri dalam melaporkan dan membayar pajak atas penghasilan mereka. Namun pada kenyataanya, tingkat kepatuhan perpajakan secara mandiri dari pekerja informal cenderung lebih rendah dibandingkan dengan pekerja formal.

Dalam upaya mengoptimalkan penerimaan pajak dari sektor informal, langkah-langkah persuasif dan tindakan penegakan hukum seperti SP2DK dapat dilakukan. Tetapi kendala utama dalam mengumpulkan pajak dari sektor informal adalah rendahnya basis pajak, terutama dalam hal pemotongan PPh 21 yang dilakukan oleh pemberi kerja. Banyak pekerja sektor informal yang menerima upah di bawah Upah Minimum Regional (UMR), sehingga mereka tidak terkena pemotongan pajak.

Raden Agus Suparman, seorang konsultan pajak swasta, menjelaskan bahwa pekerja sektor informal dapat didefinisikan sebagai pengusaha mikro dengan omzet di bawah Rp2 miliar, sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 2021. Menurutnya, pengusaha kecil dengan omzet di bawah Rp500 juta setahun tidak dikenai pajak berdasarkan ketentuan pajak penghasilan. Sedangkan untuk pajak pertambahan nilai (PPN), pengusaha kecil dengan omzet di bawah Rp4,8 miliar setahun juga tidak memiliki kewajiban membayar PPN.

Kendati demikian, pengusaha sektor informal seringkali tidak menggunakan catatan atau rekening bank dalam aktivitas usahanya. Hal ini menyulitkan kantor pajak dalam mengawasi dan mengenakan pajak pada mereka, terutama jika omzet yang dilaporkan tidak sesuai dengan aktivitas sebenarnya. Sebagai solusi, Raden menyarankan agar pemerintah lebih fokus pada industrialisasi sebagai cara untuk meningkatkan penerimaan pajak. Dengan demikian, pengusaha besar yang sudah terdaftar secara resmi akan lebih mudah untuk dipantau dan dikenakan pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Baca juga Berita dan Artikel Pajakku lainnya di Google News