Program MBG dan Pajak: Menanamkan Kesadaran Sejak Dini
Kesadaran pajak adalah fondasi penting dalam membangun keuangan negara yang berkelanjutan. Tingkat kesadaran masyarakat untuk membayar pajak berkorelasi langsung dengan besarnya rasio pajak suatu negara. Semakin tinggi kesadaran, semakin besar pula penerimaan negara dari sektor perpajakan.
Namun, tantangan Indonesia tidak kecil. Rasio pajak Indonesia pada tahun 2023 masih tercatat sebesar 10,21 persen—jauh di bawah standar ideal yang ditetapkan Bank Dunia, yakni 15 persen. Padahal, pemerintah menargetkan penerimaan negara sebesar Rp2.189,3 triliun pada tahun 2025. Ketika kesadaran pajak rendah, upaya pencapaian target ini menjadi semakin berat.
Di tengah tantangan ini, program Makan Bergizi Gratis (MBG) hadir bukan hanya sebagai intervensi gizi, tetapi juga sebagai alat penting untuk membangun kesadaran pajak masyarakat sejak usia dini.
MBG: Lebih dari Sekadar Intervensi Gizi
Program MBG yang diinisiasi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto telah dianggarkan sebesar Rp71 triliun dalam APBN 2025. Sasarannya meluas—tidak hanya siswa sekolah dasar dan menengah, tetapi juga mencakup balita, ibu hamil, dan ibu menyusui. Presiden bahkan mendorong perluasan jangkauan program ini dari 17 juta penerima manfaat menjadi lebih dari 82 juta orang.
Indonesia memang bukan pelopor dalam program sejenis. Data Global Survey of School Meal Programs menunjukkan bahwa dari 10 negara di Asia Tenggara, Indonesia merupakan negara ke-8 yang menerapkan program makan bergizi gratis. Malaysia sudah memulai sejak 1971, Thailand sejak 1952, bahkan Filipina pada 1997. Meskipun terlambat, program MBG Indonesia harus mampu menjawab kebutuhan dasar masyarakat sekaligus memperkuat kepercayaan publik terhadap penggunaan dana pajak.
Baca juga: Menelisik Strategi Prabowo Meningkatkan Penerimaan Pajak Tanpa Menaikkan Tarif
Menyentuh Fungsi Pajak Secara Nyata
Program MBG menjadi sarana nyata untuk menunjukkan fungsi utama pajak. Dalam laporan The Prakarsa (2014), pajak memiliki empat fungsi utama: penerimaan, redistribusi, representasi, dan repricing. MBG mewakili semuanya.
- Fungsi penerimaan: Pajak digunakan untuk membiayai program pelayanan masyarakat, seperti MBG.
- Fungsi redistribusi: Program ini menyasar kelompok rentan, mengurangi ketimpangan sosial.
- Fungsi representasi: Ketika masyarakat melihat langsung manfaat pajak, mereka lebih terlibat dan merasa memiliki kebijakan publik.
- Fungsi repricing: Pajak digunakan untuk mendukung konsumsi positif, dalam hal ini makanan sehat dan bergizi.
MBG sebagai Media Kontrak Sosial Fiskal
MBG juga memperkuat apa yang disebut sebagai kontrak sosial fiskal antara negara dan rakyat. Dalam demokrasi, rakyat memberikan legitimasi politik melalui pemilu dan dukungan ekonomi melalui pembayaran pajak. Sebagai gantinya, negara berkewajiban memberikan layanan publik yang layak.
Tulisan sederhana seperti “Program ini dibiayai dari pajak yang Anda bayar” di setiap ompreng makan gratis bukan sekadar hiasan. Ia membawa pesan kuat bahwa uang pajak benar-benar kembali ke masyarakat. Anak-anak yang menyantap makanan dari ompreng tersebut tak hanya mendapatkan gizi, tapi juga pelajaran penting bahwa pajak adalah kontribusi nyata untuk kehidupan yang lebih baik.
Strategi Inklusi Kesadaran Pajak Sejak Dini
Program MBG adalah peluang besar untuk menanamkan kesadaran pajak sejak usia dini. Edukasi tak melulu harus dalam bentuk ceramah atau brosur. Dengan memberikan pengalaman langsung—menerima manfaat dari dana pajak—anak-anak akan tumbuh dengan pemahaman bahwa pajak bukanlah beban, melainkan alat gotong royong nasional.
Mereka adalah future taxpayer, calon pembayar pajak yang kelak akan menentukan keberlanjutan program-program negara. Jika sejak dini mereka tahu pajak membiayai makanan sekolah, kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur, maka semangat sukarela dalam membayar pajak akan tumbuh bersama mereka.
Tantangan: Membangun Kepercayaan dan Mencegah Korupsi
Namun, kesadaran saja tidak cukup. Dalam konteks program sebesar MBG, akuntabilitas dan transparansi menjadi hal mutlak. Jika program ini tercoreng oleh praktik korupsi atau pemborosan anggaran, maka pesan kesadaran pajak justru bisa berbalik arah: dari membangun kepercayaan menjadi memperkuat sinisme.
Kolaborasi antarkementerian dan lembaga pelaksana harus dikuatkan. Sistem pengawasan masyarakat perlu dilibatkan. Proses bisnis program MBG juga harus terus disempurnakan agar tidak menimbulkan moral hazard yang merusak semangat keadilan fiskal.
Baca juga: Daftar Lengkap Insentif Stimulus Ekonomi 2025 dalam Menghadapi PPN 12%
Mengubah Cara Pandang terhadap Pajak
Kesadaran pajak tidak dibangun dalam sehari. Ia membutuhkan waktu, konsistensi, dan pendekatan yang kontekstual. Program seperti MBG merupakan langkah nyata untuk membangun narasi baru tentang perpajakan—bahwa pajak adalah untuk rakyat, oleh rakyat, dan demi rakyat.
Mengutip ekonom peraih Nobel Thomas Sargent, “When the government spends, someone pays. And that someone is us.” Kalimat ini menyadarkan bahwa setiap rupiah pengeluaran negara berasal dari kontribusi warga. Maka, negara pun memiliki tanggung jawab untuk mengelola pajak secara bijak dan adil.
MBG: Awal dari Tradisi Baru Pajak Pro-Rakyat
Program MBG bukanlah tujuan akhir, melainkan awal dari tradisi baru: bagaimana uang pajak digunakan secara langsung untuk kepentingan rakyat banyak. Jika sukses, program ini bisa menjadi batu loncatan menuju layanan kesehatan gratis, pendidikan gratis, dan berbagai program perlindungan sosial lainnya.
Pajak bukan sekadar kewajiban administratif. Ia adalah jembatan antara hak dan tanggung jawab warga negara. Saat negara menunjukkan bahwa pajak benar-benar kembali ke rakyat, maka kepatuhan pajak sukarela akan tumbuh. Dalam semangat itu, MBG menjadi lebih dari sekadar makan gratis—ia adalah pelajaran hidup tentang arti menjadi warga negara yang sadar, peduli, dan berkontribusi.
Referensi: Gede Suarnaya, pegawai Direktorat Jenderal Pajak









