Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk meningkatkan penerimaan pajak dari sektor konten digital, termasuk para konten kreator dan Youtuber. Upaya ini merupakan bagian dari strategi intensifikasi dan ekstensifikasi pajak untuk memaksimalkan penerimaan negara. Mengandalkan penerimaan pajak dari sektor komoditas saja tidak cukup, terutama karena ekonomi global yang tidak stabil.
Dalam dokumen KEM-PPKF 2025, pemerintah menyadari tantangan dalam pemungutan pajak akibat transisi ekonomi digital. Sistem perpajakan Indonesia belum sepenuhnya mampu menangkap aktivitas ekonomi digital, sehingga terdapat risiko kehilangan basis pajak, khususnya untuk PPN dan PPh dari pelaku ekonomi digital. Dengan semakin kuatnya tren konsumsi berbasis digital sejak tahun 2024 dan kemungkinan berlanjut hingga 2025, perlu ada dukungan dari Core Tax untuk optimalisasi penerimaan pajak digital.
Dalam draf revisi Undang-Undang Penyiaran, pemerintah menegaskan bahwa penyelenggara platform digital penyiaran wajib membayar pajak sesuai peraturan. Ini termasuk platform hiburan seperti Netflix. Meskipun tidak secara khusus menyebut wajib pajak orang pribadi, jelas bahwa pemerintah serius mengoptimalkan penerimaan pajak dari industri digital yang memiliki potensi besar, termasuk platform YouTube.
YouTube adalah salah satu platform yang paling banyak digunakan oleh masyarakat, dengan pengguna rata-rata menghabiskan 25,9 jam per bulan pada tahun 2020. Di balik popularitas platform ini, ada konten kreator seperti Raditya Dika, Dedy Corbuzier, dan Atta Halilintar yang menghasilkan pendapatan melalui AdSense. Sebagai warga negara, youtuber juga memiliki kewajiban perpajakan yang sama.
Baca juga: Penerimaan Pajak Digital Sentuh Rp24,12 Triliun Hingga April 2024
Profesi youtuber jika berdasarkan hukum tergolong dalam pekerjaan bebas yang dikategorikan sebagai Kelompok Lapangan Usaha (KLU). Pajaknya dihitung menggunakan tarif Pasal 17 Undang-Undang PPh dengan skema tarif progresif. Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan, Dwi Astuti, mengatakan bahwa tidak ada strategi khusus untuk konten kreator dan influencer. Pajak dikenakan berdasarkan jenis penghasilan atau transaksi yang dilakukan.
Tantangan Penarikan Pajak dari Ekonomi Digital Indonesia
Pengamat Pajak DDTC, Bawono Kristiaji, mengakui bahwa potensi penerimaan pajak dari profesi ini cukup besar, namun belum sepenuhnya bisa dipajaki. Influencer dan konten kreator biasanya mendapatkan penghasilan dari AdSense serta dari endorsement, penjualan merchandise, dan menjadi brand ambassador. Optimalisasi penerimaan PPh dari konten kreator diharapkan meningkat dengan digitalisasi administrasi pajak melalui Core Tax Administration System (CTAS), penggunaan NIK sebagai NPWP, hingga pengenaan pajak atas natura/kenikmatan.
Direktur Eksekutif Indonesia Economic Fiscal (IEF) Research Institute, Ariawan Rahmat, menyatakan bahwa DJP sudah lama ingin mengoptimalkan penerimaan pajak dari konten kreator. Konten kreator telah menjadi tulang punggung ekonomi digital Indonesia, memberikan pengaruh nyata dalam pertumbuhan ekosistemnya yang pesat. Satu channel YouTube misalnya, melibatkan banyak SDM seperti kameramen, editor, dan penulis naskah, yang memiliki potensi PPh 21 bagi DJP. Seorang editor video senior berpengalaman bisa mendapatkan hingga Rp69 juta per tahun yang sudah melebihi PTKP.
Baca juga: Siap Hingga 2045, Pemerintah Rancang 3 Fase Transformasi Digital Nasional
Ariawan mencatat bahwa potensi ekonomi digital Indonesia pada tahun 2025 diprediksi mencapai US$146 miliar, meningkat dari US$44 miliar pada tahun 2020. Kemenkeu sendiri pernah memproyeksikan potensi ekonomi digital Indonesia mencapai Rp1.800 triliun pada tahun 2025, dengan pertumbuhan ekonomi digital mencapai 40% per tahun. Potensi pajak dari sektor ini sangat besar, namun pemerintah harus bekerja keras untuk merealisasikannya.
Ariawan menyarankan DJP untuk memiliki petugas pajak khusus yang memantau dan menginvestigasi pergerakan ekosistem digital, serta melakukan edukasi dan sosialisasi kewajiban perpajakan bagi konten kreator. Hal ini penting karena banyak konten kreator masih bekerja dalam lingkup informal. Pemerintah bisa membuat aturan yang memudahkan pengawasan konten kreator, seperti mendorong mereka menjadi perusahaan perseorangan berizin dan memberikan insentif.
Ekonom Senior Raden Pardede menyoroti banyaknya Gen-Z yang bekerja di sektor informal yang sulit dipajaki dan belum masuk dalam sistem administrasi perpajakan. Tingginya sektor informal di Indonesia membuat penerimaan pajak lebih rendah dibanding negara lain. Oleh karena itu, mengoptimalkan penerimaan pajak dari konten kreator dan sektor digital adalah langkah penting bagi pemerintah untuk meningkatkan pendapatan negara.
Baca juga Berita dan Artikel Pajakku lainnya di Google News









