Ambisi Pemerintah Keruk Potensi Pajak Perusahaan Global: Peluang dan Tantangannya

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memberikan kesan ambisius terhadap komitmennya untuk menerapkan perjanjian pajak global. Penerapan perjanjian ini akan memperluas basis pajak terhadap perusahaan multinasional yang melakukan transaksi lintas negara, hal ini diharapkan dapat meningkatkan penerimaan negara.

Sri Mulyani menjelaskan bahwa komitmen Indonesia dalam penerapan perjanjian pajak global merupakan peluang untuk memperluas basis pajak melalui perpajakan perusahaan multinasional yang beroperasi secara internasional. Dalam upaya meningkatkan penerimaan pajak, pemerintah juga akan memperluas basis pajak serta meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Perluasan basis pajak dan pengawasan pemenuhan kewajiban perpajakan diperlukan untuk mengurangi risiko dari sektor ekonomi yang rentan terhadap dinamika global dan fluktuasi harga komoditas.

Upaya peningkatan kepatuhan wajib pajak akan dilakukan melalui pengawasan berbasis wilayah dan implementasi reformasi administrasi, termasuk integrasi teknologi dan peningkatan kerja sama antar instansi.

Implementasi Pilar Dua Perpajakan Internasional

Pemerintah Indonesia berencana menerapkan Pilar Dua Perpajakan Internasional pada tahun 2025 untuk mengatasi tantangan pajak yang timbul dari globalisasi dan ekonomi digital. Pilar Dua ini berkaitan dengan isu Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) dan memperkenalkan tarif pajak efektif minimum global sebesar 15% untuk perusahaan multinasional dengan pendapatan konsolidasi di atas €750 juta.

Peluang dan Tantangan yang Dihadapi

Gagasan tentang pajak minimum global muncul sebagai respons terhadap tantangan yang dihadapi yurisdiksi perpajakan dalam ekonomi digital, di mana perusahaan multinasional dapat beroperasi di berbagai negara tanpa batasan geografis. Hal ini mempersulit otoritas pajak dalam mencegah penghindaran pajak melalui profit shifting, di mana perusahaan mengalihkan keuntungan ke negara dengan tarif pajak rendah.

Untuk mencegah praktik ini, OECD menerbitkan BEPS Action Plan pada 2013 yang kemudian diadopsi menjadi Pilar Dua Global anti-Base Erotion (GloBE). Salah satu tujuan utama dari pajak minimum global adalah mencegah perang insentif pajak antar negara yang dapat mengurangi efektivitas insentif fiskal dalam menarik investasi asing langsung. Penelitian menunjukkan bahwa insentif pajak seperti tax holiday atau tax allowance memiliki peran signifikan dalam menarik investasi asing langsung ke Indonesia.

Dampak dan Implikasi

Meskipun pajak minimum global bertujuan untuk menciptakan keadilan pemajakan antara negara sumber dan negara domisili perusahaan multinasional, penerapannya dapat menimbulkan tantangan baru bagi Indonesia dan negara berkembang lainnya. Ketentuan pajak minimum global sebesar 15% membuat berbagai insentif fiskal yang diberikan pemerintah untuk menarik investasi asing menjadi tidak efektif.

Ada dua implikasi negatif utama dari pajak minimum global. Pertama, dalam jangka pendek, bisa terjadi arus keluar modal investasi asing yang telah ditanamkan di Indonesia karena tarif pajak efektif atas investasi menjadi tidak kompetitif. Kedua, perlambatan investasi asing langsung baru pada proyek-proyek strategis dan berskala nasional di Indonesia, yang merugikan terutama saat pemerintah sedang gencar menggenjot investasi untuk Ibu Kota Nusantara (IKN).

Menolak menerapkan pajak minimum global berisiko kehilangan hak pemajakan atas perusahaan multinasional yang beroperasi di Indonesia dan dapat menyebabkan diskriminasi dari negara-negara lain.

Langkah Alternatif

Untuk menjaga iklim investasi sekaligus menerapkan pajak minimum global, pemerintah dapat mengambil beberapa langkah. Pertama, mengadopsi Qualified Domestic Minimum Tax (QDMT) dalam peraturan domestik. QDMT adalah mekanisme pengenaan pajak domestik yang sesuai dengan ketentuan pajak minimum global Pilar Dua. Dengan pengadopsian QDMT, pemerintah kemungkinan tidak akan kehilangan potensi pajak jika tarif pajak efektif lebih rendah dari 15%.

Kedua, pemerintah dapat mengonversi insentif pajak menjadi bentuk insentif lain, seperti subsidi listrik, gas, atau upah tenaga kerja. Ini memungkinkan penerapan pajak minimum global sambil tetap menarik bagi investor.

Ketiga, menerapkan pajak minimum global 15% tetapi menggunakan hasilnya untuk kepentingan investasi wajib pajak, misalnya dengan membangun infrastruktur pelabuhan, kawasan berikat, atau kawasan ekonomi khusus lainnya. Penggunaan hasil pajak ini tidak hanya menarik investasi tetapi juga menyerap tenaga kerja dalam negeri, mengurangi pengangguran, dan meningkatkan produk domestik bruto.

Dengan langkah-langkah ini, pemerintah dapat memastikan bahwa penerapan pajak minimum global tidak merugikan iklim investasi dan tetap mendukung pertumbuhan ekonomi nasional.

Baca juga Berita dan Artikel Pajakku lainnya di Google News