Perusahaan layanan internet berbasis satelit milik Elon Musk, Starlink, baru saja resmi hadir di Indonesia, tepatnya di Bali, setelah diresmikan langsung oleh Elon Musk didampingi Presiden Joko Widodo (Jokowi) di acara World Water Forum (WWF) ke-10, pada Minggu (19/05) lalu. Meskipun sudah beroperasi di Indonesia, Starlink diketahui belum memiliki kantor di Indonesia dan belum memenuhi kewajiban perpajakan. Perusahaan ini telah membentuk badan usaha bernama PT Starlink Service Indonesia. Namun, menurut Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Budi Arie Setiadi, Starlink belum mematuhi semua regulasi yang berlaku, termasuk kewajiban pajak dan pendirian kantor di Indonesia.
Budi Arie menekankan bahwa Starlink terlebih dahulu harus membangun Network Operation Center (NOC) di Indonesia untuk mengawasi dan mengontrol seluruh kondisi jaringan. Kehadiran NOC ini dirasa penting untuk mencegah masuknya konten ilegal dan berbahaya seperti judi online atau pornografi. Keberadaan NOC di Indonesia juga memungkinkan pemerintah untuk mengambil tindakan jika terjadi pelanggaran regulasi.
Dalam konteks diplomasi antara pemerintah dan Starlink, layanan berbasis satelit ini perlu menjawab isu ketersediaan internet sambil menjaga kedaulatan negara. Starlink diminta bertanggung jawab atas layanan yang mereka sediakan di Indonesia. Ini termasuk menangani keluhan pelanggan, memastikan kepatuhan pajak, dan mengelola operasional dengan benar.
Tidak Ada Insentif Pajak untuk Starlink
Sejumlah pihak menilai Starlink dapat membantu pemerintah Indonesia dalam pemerataan internet, terutama pada titik buta internet di daerah-daerah terpencil. Budi Arie menekankan Starlink tidak mendapatkan insentif pajak khusus dari pemerintah Indonesia. Oleh karen aitu, Starlink harus membayar pajak sesuai dengan peraturan yang berlaku di Indonesia, sama seperti perusahaan operator seluler lainnya. Hal ini ditegaskan tepat setelah Elon Musk meresmikan layanan Starlink di Bali. Budi Arie menyatakan dengan tegas bahwa seluruh kewajiban perpajakan Starlink harus sama dengan operator seluler lainnya di Indonesia untuk menciptakan kesetaraan dalam pasar.
Ia menekankan pentingnya keadilan dalam perpajakan, di mana semua perusahaan yang beroperasi di Indonesia, termasuk Starlink, harus membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Pajak Penghasilan (PPh) sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Ini untuk memastikan bahwa tidak ada perusahaan yang diuntungkan atau dirugikan dalam hal kewajiban pajak.
Izin Pendirian Starlink
Direktur Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika Kemenkominfo, Wayan Tony Supriyanto, menyatakan bahwa Starlink telah memenuhi izin untuk beroperasi di Indonesia. Ada dua izin yang diajukan oleh Starlink, yaitu untuk penggunaan teknologi Very Small Aperture Terminal (VSAT) dan sebagai penyedia telekomunikasi atau Internet Service Provider (ISP). Starlink sendiri menggunakan skema penjualan B2C (business to consumer) untuk layanannya di Indonesia.
Ketentuan Pajak Perusahaan Asing
Sebagai perusahaan yang berbasis di Amerika Serikat, kewajiban pajak Starlink masuk dalam kategori pajak perusahaan asing. Di mana pajak ini dikenakan terhadap usaha atau perusahaan luar negeri yang beroperasi di Indonesia sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku. Sebagai subjek pajak luar negeri, badan atau perusahaan asing yang memiliki aktivitas atau memperoleh penghasilan dari Indonesia memiliki kewajiban perpajakan yang setara dengan subjek pajak badan dalam negeri. Oleh karena itu, perusahaan asing juga wajib mengelola administrasi perpajakan dengan benar, membayar, dan melaporkan pajaknya. Berikut merupakan jenis pajak yang wajib dibayar oleh perusahaan asing di Indonesia:
1. Pajak Penghasilan (PPh)
Perusahaan asing wajib membayar beberapa jenis pajak penghasilan, antara lain:
· PPh Tahunan Badan Bentuk Usaha Tetap (BUT)
· PPh Pasal 26
Saat ini, perusahaan luar negeri dikenakan tarif pajak penghasilan tahunan sebesar 22% dari penghasilan kena pajak, sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). PPh Pasal 26 dikenakan atas penghasilan yang diterima wajib pajak luar negeri dari Indonesia selain bentuk usaha tetap (BUT).
Kriteria Wajib Pajak Luar Negeri:
· Individu yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau tinggal di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam setahun.
· Perusahaan yang tidak didirikan atau berlokasi di Indonesia, tetapi mengoperasikan usahanya melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
· Individu atau perusahaan yang tidak tinggal atau berdomisili di Indonesia tetapi menerima penghasilan dari Indonesia tanpa menjalankan usaha melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
Baca juga: Perkuat Pungutan Pajak Luar Negeri, Pemerintah Resmikan Perpres Baru
Semua badan usaha yang melakukan pembayaran kepada wajib pajak luar negeri (seperti gaji, bunga, dividen, dan royalti) harus memotong PPh Pasal 26 atas transaksi tersebut. Pelaporan SPT PPh Pasal 26 wajib menggunakan e-Filing sejak 1 April 2018, sesuai dengan PMK Nomor 9 Tahun 2018.
Tarif Umum PPh Pasal 26
Tarif umum adalah sebesar 20%, tetapi dapat berubah jika mengikuti perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B).
20% dari jumlah bruto untuk:
- Dividen
- Bunga, termasuk premium, diskonto, dan insentif terkait jaminan pembayaran pinjaman
- Royalti, sewa, dan pendapatan lain terkait penggunaan aset
- Insentif terkait jasa, pekerjaan, dan kegiatan
- Hadiah dan penghargaan
- Pensiun dan pembayaran berkala
- Premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya
- Keuntungan dari penghapusan utang
20% dari laba bersih untuk:
- Pendapatan dari penjualan aset di Indonesia
- Premi asuransi dan reasuransi dibayarkan kepada perusahaan luar negeri
- Laba bersih dari penjualan atau pengalihan saham perusahaan media atau tujuan khusus yang didirikan di negara yang memberikan perlindungan pajak untuk suatu bentuk usaha tetap di Indonesia
- Penghasilan kena pajak suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, kecuali jika penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia.
Ketentuan Berdasarkan Perjanjian Pajak (Tax Treaty):
Tarif berdasarkan perjanjian pajak antara Indonesia dan negara-negara lain dapat berbeda satu sama lain, biasanya mengurangi tarif umum 20%. Beberapa lainnya mungkin memiliki tarif 0%.
2. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Selain pajak penghasilan, perusahaan asing juga dikenakan PPN atas pembelian atau penyerahan barang dan jasa kena pajak. Saat ini, tarif PPN yang berlaku adalah 11%, dan pemerintah berencana menaikkan tarif ini menjadi 12% sesuai dengan ketentuan dalam UU HPP. Sebagai wajib pajak yang melakukan transaksi kena pajak, perusahaan asing harus mengelola PPN dengan membuat faktur pajak, menyetorkan pajak yang terutang, dan melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPN.
Dengan demikian, perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia seperti Starlink wajib mematuhi semua peraturan perpajakan yang berlaku untuk mendukung keadilan dalam sistem perpajakan dan penerimaan negara.
Baca juga Berita dan Artikel Pajakku lainnya di Google News









