Kinerja Pajak Indonesia Dikritik Bank Dunia, Ini Respons Strategis Kemenkeu

Peringatan dari Bank Dunia tentang rendahnya performa penerimaan pajak Indonesia memantik respons dari Kementerian Keuangan. Lembaga internasional itu menyebut Indonesia memiliki salah satu rasio pendapatan pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) terendah di dunia, yakni hanya 9,1% pada tahun 2021. Bahkan dalam laporan terbarunya, Bank Dunia mencatat bahwa tren penurunan tax ratio Indonesia berlangsung selama lebih dari satu dekade terakhir, yang dinilai mengkhawatirkan dan menghambat kapasitas fiskal negara dalam jangka panjang.

 

Sebagai perbandingan, negara-negara tetangga di Asia Tenggara memiliki kinerja yang jauh lebih baik:

 

  • Kamboja: 18%
  • Thailand: 15,7%
  • Filipina: 15,2%
  • Vietnam: 14,7%
  • Malaysia: 11,9%

 

Menanggapi hal tersebut, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melalui Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas, Dwi Astuti, menyatakan bahwa peningkatan tax ratio menjadi prioritas strategis jangka menengah, yang akan dimasukkan dalam Rencana Strategis DJP periode 2025–2029.

 

Baca juga: World Bank Temukan Tax Gap Indonesia Capai 6,4%

 

Penerimaan Negara Melemah di Awal 2025

 

Data terkini menunjukkan bahwa tantangan fiskal semakin nyata. Realisasi penerimaan negara per Februari 2025 tercatat hanya Rp 316,9 triliun, merosot Rp 83,46 triliun (20,84%) dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

 

Penurunan paling tajam terjadi pada sektor perpajakan:

 

  • Penerimaan perpajakan: Rp 240,4 triliun, turun 24,8% (yoy).
  • Penerimaan pajak: Rp 187,8 triliun, anjlok 30,19% dibanding Februari 2024 (Rp 269 triliun).
  • Bea dan cukai: Rp 52,6 triliun, turun tipis 2,13%.
  • Penerimaan negara bukan pajak (PNBP): Rp 76,4 triliun.

 

Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN menyebutkan bahwa faktor eksternal seperti pelemahan harga komoditas global serta ketidakpastian ekonomi turut menekan penerimaan negara dari sektor-sektor strategis.

 

DJP: Reformasi Pajak Tidak Sekadar Target Angka

 

Merespons kritik dari Bank Dunia, DJP menegaskan bahwa upaya meningkatkan penerimaan pajak tidak hanya dilakukan melalui intensifikasi dan ekstensifikasi, tetapi juga melalui reformasi struktural berbasis data dan teknologi. Fokus kebijakan diarahkan pada lima hal utama:

 

1. Efektivitas Reformasi Sistem Pajak

 

Penguatan sistem perpajakan dilakukan agar sejalan dengan transformasi digital dan perubahan karakter ekonomi global, termasuk ekonomi digital dan rantai pasok global.

 

2. Kebijakan Insentif yang Terukur dan Terarah

 

Pemerintah akan meninjau ulang insentif perpajakan agar tepat sasaran dan tidak menggerus basis pajak secara signifikan.

 

3. Ekspansi Basis Pajak & Peningkatan Kepatuhan

 

Upaya ini termasuk edukasi perpajakan, kampanye sadar pajak, serta penguatan kapasitas pengawasan melalui digital forensics dan pemanfaatan data pihak ketiga (ILAP).

 

4. Pengawasan Wajib Pajak Strategis

 

Termasuk fokus pada:

 

  • High Wealth Individual (HWI)
  • Kelompok usaha besar (group entities)
  • Transaksi afiliasi (transfer pricing)
  • Ekonomi digital lintas batas

 

5. Penguatan Organisasi dan SDM DJP

 

Melalui peningkatan kompetensi sumber daya manusia, integrasi data lintas kementerian/lembaga, serta joint program untuk meningkatkan akurasi dan efektivitas pengawasan.

 

Baca juga: Jumlah Pelaporan SPT Tahunan 2024 Hingga 1 April 2025

 

Bank Dunia Soroti Ketimpangan Potensi dan Realisasi

 

Dalam laporan berjudul “Estimating Value Added Tax (VAT) and Corporate Income Tax (CIT) Gaps in Indonesia” (2025), Bank Dunia mengungkap bahwa Indonesia kehilangan potensi penerimaan PPN dan PPh Badan sebesar 6,4% dari PDB per tahun, setara dengan Rp 944 triliun.

 

Laporan tersebut mengidentifikasi dua jenis celah pajak:

 

  • Compliance Gap: 58% dari total gap, disebabkan oleh ketidakpatuhan pelaporan dan pembayaran.
  • Policy Gap: sisanya berasal dari kebijakan pengecualian, insentif, dan ambang batas yang terlalu tinggi (threshold).

 

Bank Dunia juga menyoroti ambang batas PPN dan PPh UMKM sebesar Rp 4,8 miliar per tahun yang dianggap terlalu tinggi, mendorong praktik “bunching” dan menurunkan efisiensi penerimaan.

 

Rencana Aksi dan Harapan ke Depan

 

DJP menyebutkan bahwa integrasi sistem Coretax, yang dimulai awal 2024, akan menjadi tulang punggung dalam membangun sistem perpajakan yang modern, transparan, dan data-driven. Sistem ini memungkinkan real-time audit, pelaporan otomatis, dan pengawasan berbasis risiko.

 

Upaya reformasi ini akan diselaraskan dengan strategi pembangunan nasional jangka panjang, termasuk target tax ratio minimal 13% pada 2029.

 

Momentum Menuju Reformasi Fundamental

 

Laporan Bank Dunia seolah menjadi cermin bagi Indonesia untuk mengevaluasi secara jujur kondisi sistem perpajakannya. Meskipun kritik terhadap rendahnya tax ratio Indonesia valid, respons pemerintah menunjukkan adanya kesadaran dan kesiapan untuk melakukan perbaikan mendalam, bukan hanya sekadar mengejar angka penerimaan.

 

Ke depan, yang dibutuhkan bukan sekadar peningkatan rasio, melainkan sistem pajak yang adil, modern, inklusif, dan berkelanjutan, sehingga dapat menjadi fondasi kuat untuk pertumbuhan ekonomi yang merata dan berkeadilan.

 

Baca juga Berita dan Artikel Pajakku lainnya di Google News