Presiden dan Wakil Presiden terpilih dalam Pemilu 2024, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, telah memicu diskusi hangat dengan rencana membentuk sebuah lembaga independen yang mengurus penerimaan negara. Rencana ini dilakukan dengan memisahkan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dari Kementerian Keuangan. Pada visi-misi Prabowo-Gibran, lembaga tersebut dinamakan Badan Penerimaan Negara (BPN). Tujuannya adalah untuk memperkuat pengelolaan penerimaan negara melalui satu lembaga otonom yang lebih fokus dan efisien.
Meskipun gagasan ini bertujuan meningkatkan rasio perpajakan dan mengatasi berbagai masalah dalam pengumpulan pajak, banyak pihak mempertanyakan efektivitas dan risiko yang mungkin timbul dari pemisahan ini. Tulisan ini akan mengkaji latar belakang, tujuan, serta perbandingan dengan negara lain yang telah melakukan pemisahan serupa, sambil mempertimbangkan potensi tantangan dan dampak dari kebijakan ini.
Latar Belakang Rencana Pemisahan DJP dari Kementerian Keuangan
Ide untuk memisahkan DJP dari Kementerian Keuangan bukanlah hal baru di Indonesia. Gagasan ini pernah muncul pada masa kepemimpinan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di tahun 2005, namun ditolak karena dinilai berpotensi mengganggu koordinasi fiskal. Bahkan, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro pernah mencoba menghidupkan kembali gagasan ini melalui Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP), tetapi akhirnya juga tidak terealisasi.
Motivasi utama di balik rencana Prabowo-Gibran ini adalah rendahnya rasio perpajakan di Indonesia, yang telah stagnan pada kisaran 10% dari Produk Domestik Bruto (PDB) selama satu dekade terakhir. Idealnya, sebuah negara berkembang seperti Indonesia memiliki rasio perpajakan setidaknya 15% untuk mendukung pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Melalui BPN, diharapkan pengelolaan penerimaan negara dapat dilakukan lebih terpusat dan efektif, sehingga rasio perpajakan bisa meningkat hingga 23% dari PDB.
Menurut rencana yang telah disampaikan, BPN akan menjadi lembaga yang mengintegrasikan DJP dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) serta berfokus pada peningkatan penerimaan negara, baik dari pajak maupun non-pajak. Dengan adanya lembaga ini, Kementerian Keuangan akan tetap berfungsi, tetapi lebih terbatas pada urusan fiskal non-penerimaan, seperti pengelolaan belanja, pembiayaan, dan hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah.
Urgensi Pemisahan DJP dari Kementerian Keuangan
Rencana pemisahan ini dilandasi oleh kebutuhan mendesak untuk memperbaiki performa pengumpulan pajak dan meningkatkan rasio perpajakan. Dalam dokumen visi-misi Prabowo-Gibran yang dirilis pada Pemilu 2024, disebutkan bahwa pembentukan BPN merupakan bagian dari delapan program prioritas yang dikenal sebagai “8 Program Cepat.” Hal ini mencerminkan urgensi reformasi dalam pengelolaan penerimaan negara, terutama mengingat tantangan ekonomi global dan kebutuhan pembangunan yang terus meningkat.
Ketua Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional Prabowo-Gibran, Burhanuddin Abdullah, menyatakan bahwa pengumpulan penerimaan negara saat ini tidak optimal karena tersebar di berbagai lembaga. Pemisahan DJP dari Kementerian Keuangan diharapkan dapat mengatasi fragmentasi ini dan memungkinkan pengelolaan yang lebih efisien dan terfokus.
Namun, skeptisisme muncul dari berbagai pihak, terutama mengingat pengalaman masa lalu di mana upaya serupa pernah ditolak oleh Sri Mulyani dengan alasan potensi kesulitan koordinasi dan hilangnya integrasi dalam kebijakan fiskal. Kritik juga datang dari kalangan internal Kementerian Keuangan yang masih terpecah pendapatnya terkait pemisahan DJP. Beberapa pihak yang mendukung pemisahan ini berpendapat bahwa otonomi penuh DJP akan memungkinkan pengelolaan pajak yang lebih profesional dan bebas dari intervensi politik. Namun, mereka yang menentang khawatir bahwa pemisahan ini justru akan melemahkan Kementerian Keuangan dan menciptakan masalah baru dalam pengelolaan fiskal.
Baca juga: Rencana Pembentukan Badan Penerimaan Negara Resmi Masuk RKP 2025
Studi Kasus dari Negara Lain
Untuk memahami implikasi dari pemisahan otoritas pajak ini, kita bisa belajar dari pengalaman negara-negara lain yang telah melakukan langkah serupa. Salah satu contohnya adalah Peru, yang pada tahun 1991 memisahkan otoritas pajaknya dari Kementerian Keuangan dan membentuk National Tax Administration Superintendency (SUNAT). Pada awalnya, pemisahan ini berhasil meningkatkan rasio penerimaan negara dari 10,10% menjadi 12,69% dalam lima tahun. Namun, keberhasilan ini tidak berlangsung lama, karena kebijakan populis yang diambil oleh Presiden Alberto Fujimori pada masa itu menggerus disiplin fiskal dan melemahkan kinerja SUNAT.
Kasus lain terjadi di Tanzania, di mana pembentukan Tanzania Revenue Authority (TRA) pada tahun 1995 hanya memberikan dampak positif yang sangat terbatas. Rasio perpajakan hanya naik dari 11,31% menjadi 12,15% dalam setahun, sebelum akhirnya kembali turun. Hal ini disebabkan oleh basis pajak yang sempit dan tingginya sektor informal di Tanzania, yang menyulitkan pemungutan pajak secara efektif.
Pengalaman negara-negara tersebut menunjukkan bahwa pemisahan otoritas pajak dari Kementerian Keuangan bukanlah solusi ajaib yang otomatis akan meningkatkan rasio perpajakan. Keberhasilan pemisahan ini sangat bergantung pada kondisi ekonomi, kebijakan fiskal yang disiplin, dan dukungan politik yang kuat. Selain itu, penting untuk menjaga integritas dan mencegah korupsi dalam pengelolaan pajak, karena tanpa hal ini, pemisahan otoritas pajak justru dapat membawa lebih banyak masalah.
Belajar dari Pengalaman dalam Negeri
Di dalam negeri, kita bisa mengambil pelajaran dari pengalaman Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang berhasil menjadi lembaga yang independen dan profesional dalam mengawasi keuangan negara. Reformasi yang dilakukan BPK didukung oleh amandemen konstitusional yang memperkuat kedudukannya sebagai lembaga pemeriksa eksternal. Keberhasilan ini menunjukkan bahwa independensi dan profesionalisme lembaga negara dapat dicapai melalui dukungan konstitusional dan komitmen politik yang kuat.
Namun, perlu diingat bahwa DJP memiliki karakteristik dan tantangan yang berbeda dari BPK. DJP adalah institusi yang sangat terlibat dalam pengumpulan pendapatan negara, yang memerlukan koordinasi erat dengan berbagai lembaga lain, termasuk Kementerian Keuangan. Oleh karena itu, pemisahan DJP dari Kementerian Keuangan perlu dirancang dengan hati-hati, memastikan bahwa perubahan ini tidak hanya bersifat kosmetik, tetapi benar-benar membawa perbaikan dalam sistem perpajakan Indonesia.
Membedah Transisi Institusional: Tantangan dan Peluang
Membentuk BPN bukanlah sekadar memisahkan DJP dari Kementerian Keuangan. Proses ini melibatkan perubahan besar dalam struktur organisasi, peraturan perundang-undangan, serta budaya kerja. Salah satu tantangan utama adalah bagaimana memastikan bahwa transisi ini tidak mengganggu stabilitas penerimaan negara, mengingat pajak adalah salah satu sumber utama pendapatan bagi APBN.
Pengalaman menunjukkan bahwa reformasi institusional seperti ini memerlukan waktu, sumber daya, dan dukungan politik yang besar. Sebagai contoh, upaya modernisasi administrasi perpajakan yang dilakukan melalui Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP) pada era Presiden Joko Widodo telah dimulai dengan penerbitan Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2018. Proses ini melibatkan restrukturisasi besar-besaran dalam DJP, termasuk perubahan dalam teknologi informasi dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia.
Jika BPN dibentuk, transisi ini harus dilakukan secara paralel dengan agenda besar reformasi pajak yang sudah berjalan, seperti PSIAP. Selain itu, pemerintah perlu mempertimbangkan model organisasi yang paling sesuai dengan kondisi Indonesia. Salah satu pendekatan yang bisa diadopsi adalah model organisasi fungsional, yang telah terbukti efektif dalam meningkatkan kinerja DJP melalui skema Komite Kepatuhan.
Sebagai referensi, desain BPN juga bisa merujuk pada model Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yang meskipun independen, tetap mendapatkan pembiayaan dari APBN sesuai dengan rencana kerjanya. OJK telah menunjukkan bahwa fleksibilitas operasional dapat dicapai dengan pendekatan cost collection ratio allocation, di mana biaya operasional lembaga ditentukan berdasarkan persentase tertentu dari realisasi penerimaan negara. Model ini dapat diadaptasi oleh BPN untuk memastikan keberlanjutan pembiayaan operasional tanpa bergantung sepenuhnya pada APBN.
Mengatasi “Shadow Economy” dan Potensi Peningkatan Penerimaan Negara
Salah satu argumen yang mendukung pembentukan BPN adalah kemampuan lembaga baru ini untuk lebih fokus mengatasi “shadow economy” atau ekonomi bawah tanah yang selama ini sulit dipajaki. Ekonomi bawah tanah diperkirakan mencakup 30-40% dari total perekonomian Indonesia, yang jika dapat dipajaki, berpotensi memberikan kontribusi signifikan terhadap penerimaan negara.
Namun, untuk mencapai hal ini, BPN harus dilengkapi dengan perangkat dan sumber daya yang memadai, termasuk teknologi informasi yang canggih, akses data yang luas, dan kerjasama yang erat dengan berbagai lembaga lain, termasuk aparat penegak hukum. Pembentukan BPN melalui peraturan pemerintah pengganti undang-undang (PERPPU) mungkin bisa mempercepat proses, tetapi tetap memerlukan persiapan matang agar implementasinya tidak menimbulkan masalah baru.
Baca juga: INDEF Menilai BPN Tak Cukup untuk Naikkan Rasio Pajak ke 23 Persen, Mengapa?
Pro dan Kontra Pemisahan DJP dari Kementerian Keuangan
Proses pemisahan DJP dari Kementerian Keuangan, meskipun menjanjikan, menimbulkan pro dan kontra. Di satu sisi, pendukung pemisahan ini percaya bahwa DJP yang otonom dapat beroperasi lebih profesional dan efektif, bebas dari tekanan politik dan birokrasi yang menghambat kinerjanya selama ini. Mereka berpendapat bahwa dengan struktur yang lebih mandiri, DJP dapat meningkatkan kinerjanya dalam pengumpulan pajak dan mengurangi kebocoran penerimaan negara.
Namun, di sisi lain, para penentang khawatir bahwa pemisahan ini akan memperlemah Kementerian Keuangan, menciptakan tumpang tindih fungsi, dan memperumit koordinasi kebijakan fiskal. Mereka juga mengingatkan bahwa pemisahan otoritas pajak dari kementerian keuangan di negara lain tidak selalu berhasil meningkatkan rasio perpajakan secara signifikan. Bahkan, beberapa kasus menunjukkan bahwa pemisahan ini justru meningkatkan potensi korupsi dan penurunan disiplin fiskal.
Pemisahan DJP – Langkah Berani atau Risiko Baru?
Pemisahan otoritas pajak dari Kementerian Keuangan melalui pembentukan BPN merupakan langkah yang berani dan potensial membawa perubahan besar dalam sistem perpajakan Indonesia. Namun, keberhasilan langkah ini sangat bergantung pada bagaimana proses transisi diatur, serta dukungan politik dan publik yang kuat. Belajar dari pengalaman negara lain, keberhasilan pemisahan ini bukan hanya masalah struktur organisasi, tetapi juga integritas, komitmen politik, dan disiplin fiskal.
Dalam situasi seperti ini, penting bagi pemerintah untuk memastikan bahwa semua aspek transisi diatur dengan cermat, dan bahwa perubahan ini benar-benar membawa perbaikan yang signifikan dalam sistem perpajakan nasional. Pemisahan DJP harus dipandang bukan hanya sebagai solusi untuk meningkatkan rasio perpajakan, tetapi sebagai bagian dari reformasi yang lebih luas untuk menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil, transparan, dan efisien.
Sebagai langkah awal, inisiasi diskusi publik dan kajian mendalam perlu dilakukan untuk menakar kesiapan institusi dan masyarakat dalam menghadapi perubahan ini. Dengan pendekatan yang hati-hati dan terencana, diharapkan pembentukan BPN dapat menjadi katalisator bagi reformasi perpajakan yang lebih komprehensif di Indonesia, tanpa mengorbankan stabilitas fiskal dan koordinasi antar lembaga yang sudah ada.
Baca juga Berita dan Artikel Pajakku lainnya di Google News
Disclaimer:
Artikel ini merupakan hasil karya dan pendapat pribadi penulis.Isi tulisan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.









