Rasio pajak (tax ratio) merupakan suatu ukuran dari kinerja penerimaan pajak dalam suatu negara. Meskipun rasio pajak bukanlah satu-satunya indikator yang digunakan dalam mengukur kinerja pajak, tetapi rasio pajak hingga saat ini menjadi ukuran yang diasumsikan dapat memberi gambaran umum atas kondisi perpajakan dalam suatu negara.
Sederhananya, rasio pajak (tax ratio) adalah perbandingan antara penerimaan pajak secara kolektif pada suatu masa dengan Produk Domestik Bruto (PDB) pada masa yang sama. Dimana PDB ini merupakan total nilai barang dan jasa suatu negara dikurangi dengan nilai barang dan jasa yang digunakan dalam produksi.
Perkembangan Rasio Pajak Indonesia
Indonesia menggunakan dua paham perhitungan tax ratio, yakni dalam arti sempit dan arti luas. Dalam arti sempit adalah dengan melaksanakan perhitungan penerimaan perpajakan dari pemerintah pusat yang meliputi pajak, kepabeanan dan cukai. Sedangkan, dalam arti luas adalah menggunakan perhitungan dari Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD).
Tax Ratio Indonesia dapat dikatakan masih cukup tertinggal bila dibandingkan dengan tax ratio beberapa negara tetangga, bahkan masih tergolong rendah bila dibandingkan dengan tax ratio negara-negara maju. Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi tingkat tax ratio, yakni faktor yang bersifat makro dan faktor yang bersifat mikro. Faktor-faktor yang bersifat makro, antara lain tarif pajak, tingkat pendapatan per kapita, dan tingkat optimalisasi tata laksana pemerintahan yang baik.
Baca juga Banyak Orang Kaya di Indonesia Yang Belum Tersentuh Pajak
Sementara, faktor-faktor yang bersifat mikro yaitu tingkat kepatuhan wajib pajak suatu negara, komitmen dan koordinasi antar lembaga negara, serta tidak ada perbedaan persepsi antara wajib pajak dengan petugas pajak.
Tingkat tax ratio pada 2017 mencapai 9,89% dan meningkat pada tahun 2018 menjadi 10,24%. Kemudian, pada tahun 2019 rasio pajak kembali menurun menjadi 9,76% dan mencapai titik terendah sebesar 8,33% pada 2020 akibat pandemi. Sementara itu, tax ratio kembali meningkat pada tahun 2021 menjadi 9,12% seiring dengan pemulihan ekonomi pasca pandemi. Tax ratio (rasio pajak) kedepannya akan bergantung pada pemulihan perekonomian dalam negeri, karena penerimaan pajak suatu negara akan tumbuh apabila ekonomi kembali sehat.
Pada tahun 2022, dengan adanya implementasi Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) mulai dari kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 11%, Program Pengungkapan Sukarela (PPS), penambahan tax bracket pada PPh sebesar 35%, dan pajak karbon diperkirakan tax ratio akan kembali meningkat sampai 9,5%. Tax ratio berpotensi mengalami peningkatan akibat adanya UU HPP yang menawarkan berbagai ketentuan yang diharapkan pula dapat meningkatkan kepatuhan wajib pajak, memperluas basis pajak, dan mendorong terwujudnya sistem perpajakan yang adil, sehat, efektif, serta akuntabel.
Upaya dan Dampak Peningkatan Tax Ratio
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan bahwa masalah terbesar dari penerimaan pajak yakni basis pajak yang tidak berkembang bahkan cenderung tidak bertambah. Kendati demikian, pemerintah mengupayakan cara untuk meningkatkan tax ratio yaitu dengan cara memetakan basis pajak berdasarkan pada data kepatuhan formal dan material wajib pajak.
Baca juga Terus Meningkat, Ini Dia Jumlah Wajib Pajak di Akhir 2021
Pada tahun 2020, perluasan basis data yang dilakukan oleh otoritas pajak, yaitu pertama melakukan penambahan basis pajak baru melalui perubahan fungsi Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Madya dan KPP Pratama. Kedua, melakukan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai terhadap produk digital dalam perdagangan melalui sistem elektronik. Pemerintah berharap dengan adanya stimulus ini, dunia usaha dapat lekas membaik dan mampu memberikan pertumbuhan perekonomian negara.
Upaya yang dilakukan pemerintah tak lain dan tak bukan yaitu untuk pemulihan ekonomi Indonesia, dengan meningkatkan tax ratio, maka memberikan dampak positif terhadap perekonomian Indonesia. Secara makro ekonomi, meningkatkan penerimaan suatu negara akan membuat belanja negara menjadi lebih besar, dengan meningkatkan belanja negara akan menyebabkan jumlah Produk Domestik Bruto (PDB) meningkat melebihi belanja negara apabila peningkatan belanja pemerintah diserahkan ke sektor domestik yang akan menyebabkan multiplier effect, sehingga perekonomian tumbuh lebih besar.
Dengan kata lain, apabila belanja pemerintah meningkat karena penerimaan pajak meningkat Rp10.000, maka kenaikan PDB akan lebih dari Rp10.000 bila kenaikan belanja ini diberikan untuk belanja domestik. Maka dari itu, dengan meningkatnya rasio pajak akan memberikan dampak yang besar bagi perekonomian secara keseluruhan. Apabila kenaikan tax ratio 1% saja dari PDB Indonesia yang sekitar Rp12.000 triliun, maka dapat dilihat dampak yang akan dihasilkan untuk perekonomian Indonesia yang akan menjadikan perekonomian negara semakin besar.









