Tantangan Pajak Atas Perubahan Iklim Ekstrem Saat Ini

Dewasa ini telah terjadi perubahan iklim ekstrem. Hal ini salah satunya akibat dari emisi karbon dioksida (CO2) yang kian meningkat tiap harinya. Karbon dioksida (CO2) merupakan senyawa yang berhubungan erat dengan era industri. Selama 150 tahun terakhir, semenjak dunia industri mulai berkembang, emisi CO2 kian meningkat drastis. Penyebab utamanya adalah pembakaran fosil untuk batu bara, gas alam, dan minyak bumi. 

Hubungan Perubahan Iklim Dengan Perpajakan 

Salah satu upaya pemerintah dalam rangka menekan peningkatan emisi CO2 yaitu dengan menetapkan peraturan perpajakan, berupa “Pajak Karbon”. Pajak karbon merupakan pajak yang dikenakan terhadap pemakaian bahan bakar fosil seperti bensin, aviation turbine, gas, dan sejenisnya berdasarkan kadar karbonnya. Peraturan terkait pajak karbon tertuang dalam UU No 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). 

Tujuan utama penetapan pajak karbon tak hanya untuk menambah penerimaan APBN, melainkan turut sebagai instrumen pengendali iklim guna mencapai pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Peraturan pajak karbon ini telah sesuai dengan prinsip pencemar membayar (polluter pays principle) dimana tujuannya juga untuk mengubah perilaku para pelaku ekonomi agar beralih pada aktivitas ekonomi hijau yang rendah/minim karbon. 

Baca juga Mengenal Pajak Minimum Global

Tantangan Penerapan Pajak Karbon 

Di balik harapan yang cerah dari penerapan pajak karbon guna meminimalisir penyebaran emisi CO2 yang mengakibatkan perubahan iklim yang ekstrem dan berdampak negatif terhadap berbagai aspek kehidupan, terdapat sejumlah tantangan yang harus dihadapi. Beberapa tantangan tersebut diantaranya: 

1. Penentuan Tarif Pajak Karbon 

Penetapan tarif yang tepat tentunya wajib diperhatikan. Dalam setiap peraturan perpajakan, tarif yang ditetapkan penting guna memastikan bahwa tarif tersebut dapat menguntungkan negara maupun masyarakat, bukannya malah memberatkan. Perlu adanya pertimbangan agar tarif pajak yang ditetapkan dapat menginisiasi para pelaku usaha untuk beralih ke aktivitas ekonomi hijau. 

Sebelumnya, tarif pajak karbon oleh pemerintah ditetapkan sebesar Rp 30 per Kg atau setara dengan Rp 30.000 per ton emisi karbon dioksida ekuivalen (tCO2e). Tarif tersebut jika dibandingkan dengan negara lain tergolong masih sangat jauh lebih kecil. Jika dalam satuan mata uang (kurs) US Dollar tarif Indonesia sekitar US$2,09 sementara itu, di Swedia per tCO2e dikenakan tarif sebesar US$137 (World Bank, 2021).  

Tarif pajak karbon yang tinggi tentunya akan mendorong para pelaku usaha melakukan aksi mitigasi dan beralih pada sumber energi terbarukan. Jika tarif pajak yang dikenakan lebih murah daripada biaya yang dibutuhkan untuk mencapai target pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) pada 2030 sebesar 29%, para pelaku usaha atau masyarakat pun akan lebih memilih memilih membayar pajak daripada memitigasi atau mencari alternatif lain. Tentunya tarif dalam hal ini sangat penting agar dapat mencapai tujuan utama dari penetapan pajak karbon, yaitu sebagai instrumen pengendali iklim. 

 2. Transparansi Pelaksanaan Kebijakan 

Tantangan yang dihadapi dapat berupa lemahnya sistem administrasi perpajakan, kontribusi sektor penyumbang penerimaan yang minim, juga rendahnya tingkat kepatuhan pajak. Hal-hal terkait transparansi perpajakan yaitu berupa transparansi sistem keuangan dan kaitannya. Selain itu, pada saat transparansi keuangan hal yang terkait juga yaitu digitalisasi dengan tetap menjaga privasi dan kerahasiaan data wajib pajak. 

Baca juga Sri Mulyani Ungkap Iklim Global Dapat Kikis Basis Pajak

Implementasi transparansi pada sistem perpajakan akan menghasilkan dampak positif berupa meningkatnya kepatuhan wajib pajak dan penerimaan negara. Unsur transparansi ini relevan dengan penerapan sistem demokrasi berupa partisipasi warga. 

Pada dasarnya, kepercayaan masyarakat untuk membayar pajak didasarkan atas pertanyaan: 

  • Berapa pajak yang harus dibayar? 
  • Mengapa harus membayar pajak? 
  • Untuk apa penerimaan pajak tersebut digunakan? 

Sehingga dapat dikatakan transparansi perpajakan perlu dihadapi dan diterapkan dengan maksimal agar dapat meningkatkan rasio kepatuhan pajak. 

3. Negosiasi yang Dilakukan Para Pengusaha di Sektor Energi 

Tak dapat dipungkiri adanya sisi gelap peraturan yang dapat ditembus jika memiliki koneksi yang kuat. Dikatakan oleh Memory Machingami (Senior Economist Environmental and Fuel Taxes), sejumlah tantangan dalam penerapan pajak karbon yaitu terdapat kelompok pelaku usaha energi fosil yang memiliki lobi-lobi agar bisa mempertahankan bisnisnya tersebut. Di negaranya, Afrika Selatan, Memory mengatakan untuk menyelesaikan lobi-lobi politik untuk kebijakan pajak karbon membutuhkan waktu 10 tahun. Cara yang digunakan untuk meminimalisir hal tersebut oleh negaranya berupa pemberian insentif dan kompromi terkait penetapan tarif pajak karbon.