Surat Keterangan Bebas Pemotongan Pemungutan PPh 22 Impor Wajib Pajak

Definisi Surat Keterangan Bebas PPh Pasal 22 Impor

 

Menurut UU No. 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, “PPh 22 impor adalah bentuk pemotongan pajak terhadap Wajib Pajak yang melakukan kegiatan perdagangan barang impor”. Selain itu, Objek pajak di pasal ini adalah barang-barang yang dianggap menguntungkan baik pembeli maupun penjual barang tersebut.

 

Adapun, PPh pasal 22 impor ini juga dikenakan kepada wajib pajak badan yang memperdagangkan barang mewah. Hal ini berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 92/PMK.03/2019 tentang Perubahan Kedua atas PMK No. 253/PMK.03/2008 mengenai Wajib Pajak Tertentu sebagai Pemungut Pajak Penghasilan dari Pemberi atas Penjualan Barang Tergolong Sangat Mewah.

 

Surat Keterangan Bebas Pajak Penghasilan Pasal 22 Impor (SKB PPh Pasal 22 Impor) merupakan surat keterangan bebas yang diberikan kepada Wajib Pajak agar dapat digunakan untuk terbebas dari potongan jenis pajak atas penghasilan tertentu. Objek pajak PPh pasal 22 ini mencakup produk impor, pembelian barang belanja pemerintah, semen, baja, kertas, produk otomotif, dan juga pembelanjaan barang mewah yang sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 90/PMK.03/2016.

 

 

Siapa Saja Yang Diberikan Surat Keterangan Bebas PPh Pasal 22?

 

Kemudian, untuk Insentif pajak PPh impor Pasal 22 berupa pembebasan pemungutan PPh Pasal 22 impor ini diberikan kepada usaha tertentu sebanyak 132 KLU. Jenis usaha yang mendapatkan pembebasan PPh Pasal 22 impor adalah perusahaan KITE (Kemudahan Impor Tujuan Ekspor) atau perusahaan yang berada di kawasan berikat.

 

Proses pemungutan PPh impor Pasal 22 ini yaitu dipungut oleh Bank Devisa atau DJBC (Direktorat Jenderal Bea dan Cukai) pada saat WP melakukan impor barang. Dengan adanya insentif ini, maka kegiatan importasi perusahaan yang sesuai klasifikasi yang dapat memanfaatkan insentif ini, tidak akan dipungut atau bebas pajak penghasilan pasal 22 impor.

 

Hanya bagi orang pribadi, instansi, badan atau wajib pajak yang menyerahkan surat keterangan bebas PPh Pasal 22 (impor atau belanja negara), tidak akan dikenakan pungutan PPh Pasal 22 atas pemasukan barang impor dan penerimaan pembayaran belanja negara, APBD maupun APBN.

 

Surat Keterangan Bebas PPh Pasal 22 tersebut diberikan kepada:

 

  • Yang menerima pembayaran dari belanja negara bukan subjek pajak dari pajak penghasilan
  • Yang melakukan pemasukan barang impor bukan sebagai subjek pajak dari pajak penghasilan
  • Importir yang memasukan barang impor atas dasar memesan terlebih dahulu dari pihak lain, setelah importir tersebut melunasi PPh Pasal 25 atas handling fee yang diterima atau diperoleh sebesar 15% x handling fee tersebut
  • Importir menjual barang impor langsung kepada pemerintah, setelah importir menunjukan, bahwa atas pengimporan barang tersebut telah dibayar PPh Pasal 22
  • Yang mengimpor barang adalah badan-badan yang berdasarkan Undang-Undang No.1 Tahun 1967 tentang penanaman modal asing dan Undang-Undang nomor 6 Tahun 1968 tentang penanaman modal dalam negeri selama:
    1. Diberikan masa bebas pajak, sedangkan impor tersebut berkenaan dengan barang untuk keperluan penanaman modal yang bersangkutan
    2. Belum memulai dengan produksi dan mengimpor barang untuk keperluan penanaman modal yang bersangkutan.

 

 

Syarat Mengajukan Pembebasan Pajak PPh Pasal 22 Impor

 

Berdasarkan Pasal 9 Ayat 3 PMK Nomor 4 Tahun 2020, yaitu perusahaan yang bisa mengajukan pembebasan pajak penghasilan PPh Pasal 22 Impor adalah sebagai berikut:

 

  • Perusahaan Memiliki kode Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU) atau kode KLU NPWP Online
  • Perusahaan telah ditetapkan sebagai perusahaan KITE (Kemudahan Impor Tujuan Ekspor) yaitu yang hanya diberikan kepada perusahaan yang berorientasi ekspor
  • Perusahaan telah mendapatkan izin Penyelenggara Kawasan Berikat, izin Pengusaha Kawasan Berikat, atau izin PDKB (Peralatan Digunakan Kerja Bertegangan), pada saat pengeluaran barang dari Kawasan Berikat ke tempat lain dalam daerah pabean.

 

 

Baca juga: PBB P2: Pengertian, Objek dan Cara Hitung

 

 

Tara Cara Pengajuan Pembebasan PPH Pasal 22 Impor

 

  • Mengajukan Permohonan Surat Keterangan Bebas Pemungutan PPh Pasal 22 Impor, yang diajukan melalui situs resmi Direktorat Jenderal Pajak pada pajak.go.id
  • Menggunakan Formulir yang telah ditetapkan oleh DJP
  • Melampirkan penetapan sebagai perusahaan yang mendapatkan fasilitas KITE
  • Melampirkan penetapan sebagai perusahaan yang mengantongi izin Penyelenggara Kawasan Berikat, izin Pengusaha Kawasa Berikat, atau izin dari PDKB (Peralatan Digunakan Kerja Bertegangan).

 

 

Pengajuan Diterima atau Ditolaknya Surat Keterangan Bebas PPh Pasal 22 Impor

 

Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) akan menerbitkan Surat Keterangan Bebas Pemungutan PPh Pasal 22 Impor jika memenuhi syarat dan akan mengeluarkan Surat Penolakan apabila wajib pajak tidak memenuhi syarat dan ketentuan yang ada.

 

Setelah wajib pajak mendapatkan pembebasan PPh Pasal 22 Impor ini, maka wajib pajak harus menyampaikan laporan realisasi pembebasan PPh Pasal 22 Impor setiap bulan pada laman https://pajak.go.id yaitu paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir.

 

Jangka waktu pembebasan dari pemungutan  PPh Pasal 22 Impor berlaku terhitung sejak tanggal surat keterangan bebas diterbitkan dan jika terjadi perubahan KLU pada wajib pajak, dan kode KLU tersebut tidak memenuhi ketentuan yang tertuang dalam Pasal 2 ayat 3, surat keterangan bebas pemungutan PPh 22 Impor yang telah terbit tidak berlaku terhitung sejak tanggal perubahan kode KLU tersebut.

 

 

Badan Pemungut PPh Pasal 22 

 

Pada tanggal 31 Desember 1983 Menteri Keuangan mengeluarkan keputusan berdasarkan Pasal 22 UU Pajak Penghasilan 1984, yaitu Keputusan Nomor 965/KMK.04/1983 mengenai badan-badan tertentu yang ditetapkan sebagai pemungut pajak atas penghasilan wajib pajak yang melakukan kegiatan usaha, dasar pungutan, tarif, dan tata cara pelaksanaannya. Badan-badan yang ditetapkan sebagai pemungut PPh pasal 22 tersebut adalah :

 

  1. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
  2. Direktoran Jenderal Anggaran
  3. Bendaharawan rutin dan bendaharawan proyek, baik di tingkat pemerintah daerah maupun di tingkat pemerintah pusat
  4. Badan-badan lain yang melakukan pembayaran untuk barang dan jasa dari belanja daerah dan belanja negara.

 

Dasar Pemungutan (DPP) PPh Pasal 22 yaitu :

 

  • Penghasilan netto dari pemasukan barang impor
  • Penghasilan netto dari penyerahan barang dan/atau jasa yang pembayarannya dari belanja daerah dan belanja negara.

 

 

Baca juga: VAT on Imported Digital Products di Negara-Negara G20

 

 

Tarif PPh 22 Impor

 

Besarnya pungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 ditetapkan sebagai berikut:

  1. Atas impor yang menggunakan Angka Pengenal Importir (API) dikenakan 2,5% x nilai impor sedangkan, bagi non-API dikenakan 7,5% x nilai impor
  2. Barang yang tidak dikuasai dikenakan 7,5% x harga jual lelang
  3. Atas pembelian barang yang dilakukan oleh DJPB, Bendahara Pemerintah, BUMN/BUMD dikenakan 1,5% x harga pembelian (tidak termasuk PPN dan tidak final)
  4. Atas penjualan hasil produksi ditetapkan berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak, yaitu:
    • Kertas dikenakan 0.1% x DPP PPN (Tidak Final)
    • Semen dikenakan 0.25% x DPP PPN (Tidak Final)
    • Baja dikenakan 0.3% x DPP PPN (Tidak Final)
    • Otomotif dikenakan 0.45% x DPP PPN (Tidak Final)
  5. Atas penjualan hasil produksi atau penyerahan barang oleh produsen atau importir bahan bakar minyak,gas, dan pelumas adalah Pungutan PPh Pasal 22 kepada penyalur/agen, bersifat final, selain penyalur/agen bersifat tidak final
  6. Atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor dari pedagang pengumpul ditetapkan 0,25 % x harga pembelian (tidak termasuk PPN)
  7. Atas impor kedelai, gandum, dan tepung terigu oleh importir yang menggunakan API dikenakan 0,5% x nilai impor
  8. Atas penjualan barang berikut dikenakan 5% dari harga jual tidak termasuk PPN dan PPnBM dikenakan
    1. Pesawat udara pribadi dengan harga jual lebih dari Rp 20.000.000.000,-
    2. Kapal pesiar dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp 10.000.000.000,-
    3. Rumah beserta tanahnya dengan harga jual atau harga pengalihannya lebih dari Rp 10.000.000.000,- dan luas bangunan lebih dari 500 m2
    4. Apartemen, kondominium,dan sejenisnya dengan harga jual atau pengalihannya lebih dari Rp 10.000.000.000,- dan/atau luas bangunan lebih dari 400 m2
    5. Kendaraan bermotor roda empat pengangkutan orang kurang dari 10 orang berupa sedan, jeep, sport utility vehicle(suv), multi purpose vehicle (mpv), minibus dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) dan dengan kapasitas silinder lebih dari 3.000 cc. 

 

Nilai impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan Bea Masuk yaitu Cost Insurance and Freight (CIF) ditambah dengan Bea Masuk dan pungutan lainnya yang dikenakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan kepabeanan di bidang impor.

 

Besarnya tarif pajak yang berlaku bagi Wajib Pajak yang tidak memiliki NPWP adalah seratus persen (100%) lebih tinggi dari tarif pajak yang berlaku bagi Wajib Pajak yang memiliki NPWP. Ketentuan ini berlaku untuk pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 yang bersifat tidak final.

 

Namun demikian, melalui Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-09/PJ/2019 tentang Tata Cara  Pembatalan dan Pencabutan Surat Keterangan Pajak Penghasilan Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 yang ditetapkan tanggal 19 Juni 2019.

 

Pemerintah mencabut Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER–32/PJ/2013 tentang Tata Cara Pembebasan dari Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan Bagi Wajib Pajak Yang Dikenai Pajak Penghasilan Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan dari Usaha Yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.