Presiden terpilih Prabowo Subianto telah merencanakan berbagai langkah strategis untuk meningkatkan rasio penerimaan negara selama masa kepemimpinannya. Salah satu langkah yang disorot adalah pembentukan Kementerian Penerimaan Negara, yang akan menjadi bagian dari susunan kabinetnya. Kementerian ini dirancang untuk mengoptimalkan pendapatan negara tanpa harus menaikkan tarif pajak bagi para pelaku usaha.
Target Meningkatkan Rasio Penerimaan Negara Hingga 23%
Dalam kesempatan agenda Diskusi Ekonomi Pengusaha Internasional Senior KADIN Indonesia (07/10), Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, Hashim Djojohadikusumo, menegaskan bahwa pembentukan Kementerian Penerimaan Negara ini memiliki tujuan utama untuk meningkatkan rasio penerimaan negara. Saat ini, rasio penerimaan negara berada di angka 12% dari Produk Domestik Bruto (PDB), namun pemerintahan Prabowo menargetkan peningkatan signifikan hingga 23% dalam waktu lima tahun. Target ini akan dicapai dengan menutup kebocoran penerimaan negara, memperluas basis perpajakan, dan memperkuat penegakan aturan di bidang perpajakan.
Meskipun target peningkatan penerimaan negara cukup ambisius, Prabowo memastikan bahwa kebijakan perpajakan yang diterapkan tidak akan membebani dunia usaha. Bahkan, tarif pajak badan yang saat ini sebesar 22% akan diturunkan menjadi 20%, mendekati tarif pajak yang diberlakukan di Singapura dan Hong Kong. Langkah ini diharapkan dapat memberikan kepastian kepada pelaku usaha bahwa tidak akan ada peningkatan tarif pajak yang merugikan.
Baca juga: Mengenal Rasio Pajak C-efficiency yang Dinilai Masih Rendah di Indonesia
Fokus pada Kebocoran Penerimaan Negara
Salah satu upaya utama yang akan dilakukan oleh Prabowo untuk mencapai target penerimaan negara adalah dengan mempersempit ruang kebocoran penerimaan. Selama ini, kebocoran pajak menjadi salah satu faktor yang menghambat optimalisasi penerimaan negara. Oleh karena itu, Prabowo berencana memperluas objek perpajakan, sehingga semua wajib pajak harus memenuhi kewajibannya secara benar.
Selain itu, penegakan hukum di bidang perpajakan juga akan diperkuat, dengan dukungan teknologi seperti kecerdasan buatan (AI) dan teknologi informasi (IT). Dengan pendekatan ini, Indonesia diharapkan bisa melampaui rasio penerimaan perpajakan negara-negara tetangga, seperti Kamboja yang mencapai 18% dan Vietnam yang mencapai 23% dari PDB. Hashim optimistis, dengan penutupan kebocoran pajak dan penggunaan teknologi modern, target peningkatan rasio penerimaan negara dapat tercapai tanpa perlu menaikkan tarif pajak.
Tantangannya Kementerian Penerimaan Negara Menurut Ahli
Mengutip dari Kontan, Fajry Akbar, pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), memberikan beberapa pandangan mengenai pembentukan Kementerian Penerimaan Negara ataupun BPN. Ia menekankan pentingnya independensi lembaga ini dari intervensi politik. Jika BPN terlalu mudah diintervensi oleh pihak eksternal seperti pemerintah atau legislatif, maka efektivitasnya dalam mengoptimalkan penerimaan negara akan terganggu.
Selain independensi, Fajry juga menyoroti pentingnya fleksibilitas dalam pengelolaan sumber daya manusia (SDM) di BPN. Agar BPN dapat berfungsi secara optimal, lembaga ini harus diberikan kewenangan untuk merekrut SDM yang kompeten sesuai keahlian, serta melakukan rotasi atau mengganti SDM yang tidak berkinerja baik atau berpotensi melakukan tindakan kecurangan. Hal ini diperlukan agar BPN memiliki tim yang solid dan mampu menjalankan tugasnya dengan efektif.
Pentingnya Pendanaan yang Kuat dan Stabil
Lebih lanjut, Fajry juga menekankan bahwa BPN memerlukan pendanaan yang kuat dan stabil untuk dapat beroperasi secara efektif. Sebagai lembaga yang akan mengelola penerimaan negara, BPN perlu memiliki fleksibilitas dalam pengelolaan anggarannya. Pendanaan yang tidak memadai bisa menghambat upaya BPN dalam mencapai target-target penerimaan yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
Selain itu, BPN juga harus diatur sedemikian rupa agar dapat beroperasi dengan prinsip-prinsip bisnis yang efisien dan tidak terlalu terbebani oleh birokrasi pelayanan publik yang kaku. Dengan fleksibilitas ini, diharapkan BPN bisa menjalankan tugasnya dengan lebih cepat dan responsif terhadap perubahan situasi ekonomi yang dinamis.
Baca juga: Cegah Penghindaran Pajak Korporasi, OECD Sarankan Indonesia Pakai Pemeriksaan Silang Biaya Operasional
Dukungan Teknologi untuk Mencapai Target Penerimaan Negara
Salah satu kunci utama yang akan digunakan untuk mencapai target peningkatan penerimaan negara adalah pemanfaatan teknologi modern, termasuk kecerdasan buatan (AI) dan teknologi informasi (IT). Dengan teknologi ini, pemerintah dapat memantau dan menganalisis data perpajakan dengan lebih baik, sehingga kebocoran pajak bisa diidentifikasi dan dicegah. Teknologi juga akan memudahkan pemerintah dalam memperluas basis perpajakan dan memastikan semua wajib pajak membayar kewajibannya.
Dengan dukungan Bank Dunia, Prabowo optimistis Indonesia mampu mencapai rasio penerimaan perpajakan sebesar 23%, mengungguli beberapa negara tetangga. Namun, pencapaian ini hanya bisa terwujud jika pemerintah berhasil menutup celah-celah kebocoran penerimaan dan meningkatkan kepatuhan wajib pajak.
Langkah-langkah yang direncanakan oleh Prabowo dan Gibran dalam meningkatkan penerimaan negara tanpa menaikkan tarif pajak tampaknya merupakan upaya yang ambisius namun cukup realistis. Dengan pembentukan Kementerian Penerimaan Negara ataupun BPN yang independen, serta penggunaan teknologi modern, target rasio penerimaan sebesar 23% dari PDB dapat dicapai dalam lima tahun ke depan. Namun, tantangan seperti kebocoran penerimaan, intervensi politik, dan keterbatasan pendanaan harus diatasi untuk memastikan kebijakan ini berjalan dengan efektif.









