Transformasi ekonomi global yang semakin digital mendorong perubahan signifikan dalam tata kelola pajak di berbagai negara. Indonesia, sebagai salah satu negara berkembang dengan potensi ekonomi digital yang besar, ikut berupaya mengadopsi kebijakan pajak yang relevan untuk menghadapi tantangan ini. Salah satu langkah penting yang diambil adalah beradaptasi dengan Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) 2.0 yang dikeluarkan oleh OECD. BEPS 2.0 dirancang untuk menangani isu erosi basis pajak dan pengalihan laba, terutama dari perusahaan multinasional di sektor digital yang sering kali memanfaatkan celah hukum perpajakan di berbagai yurisdiksi.
BEPS 2.0: Pilar Utama dan Dampaknya pada Indonesia
BEPS 2.0 terdiri dari dua pilar utama yang menargetkan masalah perpajakan digital dan penghindaran pajak global. Pilar pertama mengatur hak pemajakan yang baru bagi negara sumber atas perusahaan multinasional, bahkan tanpa kehadiran fisik. Ini sangat relevan bagi Indonesia, karena banyak perusahaan digital global menghasilkan keuntungan besar dari aktivitas e-commerce dan layanan digital di Indonesia tanpa memiliki kantor fisik. Pilar kedua menetapkan pajak minimum global sebesar 15% untuk perusahaan multinasional dengan tujuan mencegah praktik pengalihan keuntungan ke negara dengan tarif pajak rendah.
Baca juga: Penguatan Tata Kelola Pajak Jadi Kunci Indonesia Gabung OECD
Adopsi BEPS 2.0 membuka peluang sekaligus tantangan bagi Indonesia. Dengan menerapkan aturan ini, Indonesia berpotensi meningkatkan pendapatan pajak dari perusahaan digital asing. Namun, di sisi lain, penerapan kebijakan ini menuntut pemerintah untuk mengatasi tantangan administratif yang tidak ringan, seperti integrasi data pajak lintas negara dan penyesuaian regulasi domestik. Kesiapan teknologi dan sumber daya manusia di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) juga menjadi faktor penting untuk memastikan implementasi yang efektif.
Langkah Konkret Indonesia dalam Mengimplementasikan BEPS 2.0
Sejak munculnya konsep BEPS 2.0, Indonesia aktif berpartisipasi dalam diskusi dan negosiasi di tingkat internasional. Sebagai bagian dari G20 dan Inclusive Framework OECD, Indonesia telah menyatakan komitmennya untuk mengadopsi kedua pilar tersebut. Untuk mendukung implementasi Pilar 1, pemerintah sedang mempersiapkan perubahan dalam peraturan pajak internasional, termasuk pengenalan pajak penghasilan berbasis significant economic presence. Pajak ini akan memastikan bahwa perusahaan digital tanpa kantor fisik tetap dikenakan pajak jika memiliki aktivitas ekonomi signifikan di Indonesia.
Sementara itu, untuk Pilar 2, Indonesia diharapkan menyesuaikan sistem pajak korporasinya agar selaras dengan pajak minimum global. Salah satu tantangan dalam hal ini adalah menciptakan keseimbangan antara menarik investasi asing dan mencegah praktik penghindaran pajak. Pemerintah juga perlu merumuskan peraturan rinci terkait pajak minimum global agar konsisten dengan kebijakan perpajakan domestik dan tidak menimbulkan ketidakpastian bagi investor.
Penguatan Sistem Pajak melalui Coretax dan Digitalisasi Administrasi Pajak
Selain reformasi kebijakan pajak, Indonesia juga mempersiapkan infrastruktur teknologi melalui implementasi Coretax, sistem baru yang dirancang untuk mendukung reformasi administrasi pajak. Coretax akan memfasilitasi pengumpulan data yang lebih akurat dan pemantauan transaksi digital secara real-time. Sistem ini memungkinkan DJP untuk lebih efektif memonitor transaksi lintas negara dan memastikan bahwa perusahaan digital asing memenuhi kewajiban pajaknya sesuai aturan BEPS 2.0.
Dengan Coretax, proses pelaporan dan kepatuhan pajak menjadi lebih transparan dan efisien. Data yang terintegrasi juga akan memudahkan DJP dalam melakukan pertukaran informasi dengan otoritas pajak internasional, terutama dalam konteks Pilar 1 dan Pilar 2 BEPS 2.0. Keberhasilan implementasi sistem ini diharapkan dapat meningkatkan rasio kepatuhan wajib pajak, sekaligus memperkuat kedaulatan fiskal Indonesia di era digital.
Baca juga: Cegah Penghindaran Pajak Korporasi, OECD Sarankan Indonesia Pakai Pemeriksaan Silang Biaya Operasional
Tantangan dan Solusi ke Depan
Meskipun komitmen Indonesia terhadap BEPS 2.0 jelas terlihat, terdapat sejumlah tantangan yang perlu diatasi. Salah satunya adalah resistensi dari beberapa perusahaan digital besar yang berpotensi menghadapi peningkatan beban pajak. Pemerintah perlu memastikan bahwa kebijakan baru ini tidak menghambat iklim investasi di sektor digital, mengingat Indonesia sedang gencar menarik investasi asing untuk memperkuat ekosistem ekonomi digitalnya. Selain itu, harmonisasi regulasi pajak domestik dan internasional harus dipastikan agar tidak menimbulkan tumpang tindih peraturan yang membingungkan.
Untuk mengatasi tantangan ini, Indonesia perlu memperkuat koordinasi dengan negara-negara lain melalui kerangka kerja OECD dan G20. Kerja sama internasional sangat penting untuk menghindari kebijakan pajak yang saling bertentangan dan memastikan kepastian hukum bagi perusahaan. Di tingkat nasional, pemerintah juga perlu meningkatkan kapasitas DJP melalui pelatihan berkelanjutan dan pengembangan infrastruktur digital yang mumpuni. Dengan langkah ini, DJP diharapkan mampu mengikuti perkembangan teknologi dan dinamika perpajakan global dengan lebih baik.
Adopsi BEPS 2.0 oleh Indonesia merupakan langkah strategis dalam menangani tantangan perpajakan di era digital. Kebijakan ini tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan pendapatan pajak, tetapi juga untuk menciptakan ekosistem perpajakan yang lebih adil dan transparan. Dengan mengintegrasikan teknologi melalui Coretax dan bekerja sama dalam kerangka internasional, Indonesia berupaya memposisikan diri sebagai negara yang siap menghadapi dinamika perpajakan global. Keberhasilan adaptasi ini akan sangat bergantung pada koordinasi yang efektif antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat luas. Dalam jangka panjang, penerapan BEPS 2.0 diharapkan dapat memperkuat stabilitas fiskal dan mendukung pertumbuhan ekonomi digital yang berkelanjutan.









