Pemerintah tengah mengkaji pengenaan cukai terhadap produk kebutuhan sehari-hari, termasuk popok bayi dan tisu basah. Wacana ini tertuang dalam PMK No. 70 Tahun 2025 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2025–2029.
Dalam beleid tersebut, pemerintah tidak hanya mengkaji popok dan tisu basah, tetapi juga cukai emisi kendaraan bermotor, produk pangan olahan bernatrium (P2OB) seperti camilan tinggi garam dan penyedap rasa, serta minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK).
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menjelaskan bahwa perluasan cukai ini merupakan bagian dari upaya untuk meningkatkan penerimaan negara secara berkelanjutan, sejalan dengan strategi fiskal jangka menengah 2025–2029.
“Penggalian potensi penerimaan melalui upaya perluasan basis pajak, kepabeanan, dan cukai dilakukan melalui penyusunan kajian potensi Barang Kena Cukai berupa diapers dan alat makan dan minum sekali pakai, serta kajian ekstensifikasi cukai tisu basah,” tertulis dalam PMK tersebut.
Selama ini, penerimaan cukai masih sangat bergantung pada sektor tembakau. Karena itu, pemerintah berupaya mendiversifikasi sumber penerimaan dengan menambah objek cukai baru di luar rokok dan minuman beralkohol.
Baca Juga: Strategi Menkeu Kejar Setoran CHT Tanpa Matikan Industri Tembakau
Cukai Sebagai Instrumen Fiskal dan Pengendali Konsumsi
Menanggapi wacana tersebut, M. Rizal Taufikurahman, Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), perluasan objek cukai ini memiliki dua tujuan utama:
- Memperluas basis penerimaan negara.
- Mengendalikan konsumsi produk yang berdampak negatif bagi lingkungan dan kesehatan.
Rizal menjelaskan, produk seperti popok sekali pakai dan tisu basah berkontribusi terhadap sampah plastik, sementara konsumsi makanan tinggi natrium berdampak buruk bagi kesehatan publik.
“Karena itu, cukai diarahkan sebagai instrumen fiskal sekaligus pengendali perilaku konsumsi masyarakat,” ujar Rizal, dikutip dari Kontan.co.id, Rabu (12/11/2025).
Di sisi lain, Rizal juga menilai kebijakan tersebut berpotensi memberatkan kelompok masyarakat rentan. Mengingat, popok dan tisu basah merupakan kebutuhan dasar keluarga muda, sedangkan alat makan sekali pakai banyak digunakan oleh pelaku UMKM kuliner.
“Tanpa tarif proporsional dan kebijakan kompensasi, beban cukai bisa bersifat regresif dan menekan daya beli,” lanjutnya.
Ia menambahkan, efektivitas kebijakan ini juga sangat bergantung pada dukungan regulasi seperti pelabelan, edukasi konsumen, dan infrastruktur daur ulang agar tidak hanya menjadi sumber penerimaan baru tanpa manfaat lingkungan yang nyata.
Baca Juga: Salah Kaprah soal Cukai Minuman Berpemanis, Benarkah Industri Bakal Merugi?
Kasus Serupa di Pakistan: Ketika Pajak Membebani Kebutuhan Dasar Perempuan
Di luar negeri, kasus serupa pernah terjadi di Pakistan, yang menuai kritik internasional lewat kebijakan yang disebut pajak menstruasi. Berdasarkan UU Pajak Penjualan Tahun 1990, pembalut lokal dikenai pajak 18%, sedangkan produk impor terkena bea masuk hingga 25%.
Kombinasi keduanya membuat total beban pajak mencapai sekitar 40%, menjadikan harga pembalut di Pakistan sekitar 450 rupee (Rp26 ribu) per bungkus isi 10 lembar. Di negara dengan pendapatan per kapita hanya Rp1,9 juta per bulan, harga ini setara dengan biaya makan satu keluarga kecil dari kalangan berpenghasilan rendah.
Menurut data UNICEF dan WaterAid, hanya 12% perempuan Pakistan yang menggunakan pembalut komersial, sementara lainnya menggunakan kain atau bahan seadanya karena harga yang tidak terjangkau.
Kebijakan yang demikian lantas membuat seorang pengacara muda, Mahnoor Omer, menggugat Pemerintah Pakistan karena mengenakan pajak tinggi terhadap produk pembalut wanita. Iamenilai kebijakan tersebut diskriminatif dan memperburuk akses perempuan terhadap kebutuhan dasar.
“Rasanya seperti perempuan melawan negara mereka sendiri,” ujarnya dalam wawancara dengan Al Jazeera.
Pelajaran bagi Indonesia: Cukai Harus Berkeadilan
Meski berbeda konteks, wacana pengenaan cukai terhadap popok di Indonesia mengandung potensi risiko serupa, yakni meningkatkan beban ekonomi masyarakat bawah.
Jika tidak dirancang secara hati-hati, kebijakan ini dapat memperburuk daya beli rumah tangga, terutama bagi keluarga muda dan pelaku usaha kecil. Oleh karena itu, desain kebijakan cukai baru perlu mempertimbangkan keadilan sosial serta memastikan tidak menambah kesenjangan.
Rizal menegaskan, perluasan cukai bisa bernilai strategis asalkan diterapkan secara bertahap dan berbasis kajian dampak sosial-ekonomi yang mendalam.
“Dengan desain, waktu, dan implementasi yang tepat, cukai baru bisa menjadi instrumen fiskal progresif yang mendorong perilaku konsumsi lebih sehat dan ramah lingkungan tanpa menimbulkan distorsi ekonomi,” tegasnya.









