Potensi Pajak Perusahaan Migas dan Batu Bara di Negara Maju Capai Rp11,6 Kuadriliun

Penerapan pajak terhadap perusahaan-perusahaan yang beroperasi dalam industri bahan bakar fosil, seperti minyak dan batu bara, di negara-negara yang kaya memiliki potensi besar dalam mengumpulkan dana sejumlah ribuan triliun rupiah. Dana tersebut dapat digunakan untuk membantu negara-negara yang paling rentan dalam menghadapi krisis iklim serta sebagai sumber pendanaan untuk mengatasi kerusakan dan kerugian yang ditimbulkan oleh fenomena tersebut.

Studi yang diberi judul “Climate Damages Tax”, yang disusun oleh sejumlah lembaga nonprofit internasional menyoroti potensi besar ini. Hasil dari studi tersebut, yang dirilis pada Senin (29/4/2024) lalu, juga mendapat dukungan dari berbagai organisasi iklim di seluruh dunia, termasuk Greenpeace, Stamp Out Poverty, Power Shift Africa, dan Christian Aid.

Menurut studi tersebut, penerapan pajak tambahan terhadap perusahaan bahan bakar fosil yang berbasis di negara-negara anggota Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) dapat menghasilkan pendapatan sebesar 720 miliar dollar AS atau dalam rupiah mencapai sekitar 11,6 kuadriliun berdasarkan hitungan hingga akhir dekade ini. Direktur kampanye dari Stamp Out Poverty, David Hillman, yang juga merupakan salah satu penulis studi ini, mengungkapkan bahwa potensi pendapatan baru dari pajak atas perusahaan-perusahaan bahan bakar fosil ini sangatlah besar.

Studi tersebut menunjukkan bahwa tanpa harus melakukan upaya yang terlalu berat, negara-negara kaya dapat mengumpulkan puluhan miliar dollar AS per tahun hanya dengan membebankan pajak kepada perusahaan-perusahaan bahan bakar fosil. Hal ini dianggap sebagai pendekatan yang adil untuk meningkatkan pendapatan yang diperlukan untuk membiayai kerugian dan kerusakan akibat krisis iklim.

Baca juga: BPS Ungkap Penyebab Impor Nonmigas Bulan Maret 2024 Anjlok 5,34%

Para penulis dalam studi tersebut turut mengemukakan bahwa penerapan pajak tambahan ini dapat diintegrasikan dengan mudah ke dalam sistem perpajakan yang sudah ada. Mereka melakukan perhitungan bahwa jika pajak diberlakukan di negara-negara OECD pada tahun 2024 dengan tarif awal sebesar 5 dollar AS per ton setara karbon dioksida, dan meningkat sebesar 5 dollar AS setiap tahunnya, maka total pajak yang terkumpul akan mencapai 900 miliar dollar AS pada tahun 2030. Dari jumlah tersebut, sekitar 720 miliar dollar AS dapat dialokasikan untuk dana kerugian dan kerusakan, sementara sisanya sebesar 180 miliar dollar AS akan dialokasikan sebagai dividen domestik untuk mendukung masyarakat di negara-negara kaya melalui transisi yang adil.

Areeba Hamid, Direktur Eksekutif Bersama Greenpeace Inggris, menyatakan bahwa pemerintah harus mengambil tindakan nyata dalam menangani krisis iklim dan tidak lagi membiarkan masyarakat menanggung beban tersebut. Hamid menyoroti bahwa industri bahan bakar fosil telah memperoleh keuntungan besar dari harga energi yang tinggi, sementara masyarakat yang memberikan kontribusi paling kecil terhadap krisis iklim malah berada di garis depan dalam menghadapi dampaknya.

Menurut Hamid, pajak atas kerusakan iklim dapat menjadi instrumen yang efektif dalam membantu mengatasi dampak kerusakan dan kerugian yang disebabkan oleh krisis iklim, serta dalam mendukung transisi energi. Hamid menekankan bahwa cuaca ekstrem yang disebabkan oleh krisis iklim telah menyebabkan banyak korban jiwa dan kerusakan yang besar di seluruh dunia. Namun, industri bahan bakar fosil terus menghasilkan keuntungan besar tanpa mengakui akuntabilitas mereka atas dampak historis dan berkelanjutan terhadap iklim global.

Baca juga: Kemenkeu Siapkan Instrumen Fiskal Untuk Dorong Pertumbuhan Ekonomi Hijau

Laporan tersebut dirilis menjelang pertemuan pertama dewan dana kerugian dan kerusakan yang baru dibentuk yang dijadwalkan berlangsung di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab untuk membahas bagaimana dana tersebut akan dibiayai. Selain itu, para menteri dari negara-negara G7 juga bertemu dalam pertemuan iklim, energi, dan lingkungan di Turin, Italia. Jika pajak tersebut hanya diterapkan di negara-negara G7, pendapatan yang dihasilkan masih sangat besar, mencapai 540 miliar dollar AS untuk mengatasi kerugian dan kerusakan akibat krisis iklim.

Baca juga Berita dan Artikel Pajakku lainnya di Google News