Semakin berkembangnya zaman dan melajunya teknologi menjadi sebuah peluang usaha bagi usahawan yang ingin mendirikan suatu entitas atau perusahaan. Baik yang bergerak di bidang pelayanan jasa, perdagangan, industri, atau manufaktur.
Sebelum mendirikan suatu perusahaan, seseorang wajib memenuhi persyaratan administrasi seperti pengajuan nama perusahaan, pembuatan AKTA pendirian, mengajukan Surat Keterangan Domisili Perusahaan (SKDP), pembuatan NPWP untuk memenuhi kewajiban perpajakan, pembuatan anggaran dasar perusahaan, mengajukan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), serta membuat Berita Acara Negara Republik Indonesia (BNRI).
Selain syarat tersebut, sebelum mendirikan suatu perusahaan wajib memperhatikan setoran modal dan harta yang akan ditanamkan pada perusahaan tersebut. Harta tersebut diklasifikasikan menjadi dua. Pertama, harta lancar terdiri dari kas bank, kas kecil atau petty cash, piutang usaha, surat-surat berharga atau marketable securities, dan harta lain yang memiliki sifat likuid atau mengalami perputaran dengan cepat. Kedua, yakni harta tetap atau sering dikenal sebagai aset tetap.
Aset tetap dikelompokkan menjadi dua yaitu aset tetap berwujud dan aset tetap tidak berwujud. Contohnya seperti tanah, bangunan, gedung, kendaraan, peralatan, hak cipta, hak paten, dan merek dagang. Harta ini dapat diperoleh dengan cara pemilik menginvestasikan secara langsung pada perusahaan, meminjam pada Lembaga keuangan bank/non-bank, modal saham, dan membeli aset tersebut dari pihak lainnya.
Uniknya ketika memperoleh harta dengan cara membeli, pemilik perusahaan wajib memperhitungkan komponen harga perolehan dari pembelian harta tersebut. Harga perolehan dihitung dengan cara harga beli ditambah biaya-biaya yang dikeluarkan sampai harta atau aset tersebut siap digunakan.
Terhadap perlakuan khusus terhadap aset tetap yang dimiliki perusahaan yakni adanya pengakuan penyusutan setiap periode. Tujuannya untuk mengetahui nilai buku dari aset tersebut. Terdapat beberapa metode penyusutan yang dipakai perusahaan atau diakui secara komersial antara lain metode penyusutan garis lurus, metode saldo menurun/saldo menurun ganda, metode jumlah angka tahun, metode jumlah jam kerja, dan metode angka produksi.
Masing-masing metode menghasilkan nilai penyusutan yang berbeda setiap periodenya. Untuk mempermudah pelaksanaan administrasi perpajakan dan melakukan sinkronisasi antara laba secara komersial dan secara fiskal dalam menentukan besaran Penghasilan Kena Pajak (PKP), ditetapkan dua metode penyusutan secara fiskal yakni metode garis lurus dan metode saldo menurun ganda.
Baca juga BPK Temukan Penerima Insentif Pajak Rp2,57 Triliun Tidak Valid!
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah digubah ke dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan Pasal 11 penyusutan dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran, kecuali harta yang masih dalam proses pengerjaan, penyusutannya dimulai pada bulan selesainya pengerjaan harta tersebut.
Apabila wajib pajak melakukan penilaian kembali aset, maka dasar penyusutan atas harta adalah nilai setelah dilakukan penilaian kembali aset tersebut. Pasal 11 ayat (6) menyebutkan penetapan besaran tarif penyusutan dan umur ekonomis untuk masing-masing golongan aset.
Dimana untuk kelompok harta berwujud
-
Bukan Bangunan
-
- Kelompok 1, dengan masa manfaat 4 tahun, tarif penyusutan garis lurus 25%, dan tarif penyusutan metode saldo menurun sebesar 50%
- Kelompok 2, dengan masa manfaat 8 tahun, tarif penyusutan garis lurus 12,5%, dan tarif penyusutan metode saldo menurun sebesar 25%
- Kelompok 3, dengan masa manfaat 16 tahun, tarif penyusutan garis lurus 6,25%, dan tarif penyusutan metode saldo menurun sebesar 12,5%
- Kelompok 4, dengan masa manfaat 20 tahun, tarif penyusutan garis lurus 5%, dan tarif penyusutan metode saldo menurun sebesar 10%.
-
Bangunan Permanen
- Permanen, dengan masa manfaat 20 tahun, tarif penyusutan garis lurus 5%
- Tidak Permanen, dengan masa manfaat 10 tahun, tarif penyusutan garis lurus 10%.
Baca juga Subsidi Berpotensi Perkecil Ruang Fiskal 2023, Ini Kata Sri Mulyani
Sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 96/PMK.03/2009 Tentang Jenis-Jenis Harta Yang Termasuk Dalam Kelompok Harta Berwujud Bukan Bangunan Untuk Keperluan Penyusutan.
Akibat dari perbedaan pengakuan penyusutan antara komersial dan fiskal menyebabkan adanya perbedaan besaran laba/rugi sebelum pajak dalam laporan keuangan. Kemungkinan yang dapat terjadi di antaranya pengakuan beban penyusutan oleh komersial lebih besar daripada perhitungan kembali penyusutan oleh fiskal ataupun sebaliknya.
Oleh karena itu, perlu adanya koreksi fiskal guna menentukan besaran laba/rugi sebelum pajak yang sesuai dengan ketentuan peraturan perpajakan yang berlaku. Tentu hal ini akan berpengaruh signifikan terhadap besaran penghasilan kena pajak akan yang menjadi dasar dalam perhitungan pajak terutang yang akan dibayarkan oleh perusahaan.
Harta yang dimiliki perusahaan terutama harta berwujud wajib dilakukan penyusutan untuk mengetahui nilai harta per periode tertentu dan mempermudah pengakuan biaya penyusutan dalam menentukan besaran penghasilan kena pajak. Adanya perbedaan pengakuan penyusutan antara komersial dan fiskal berpengaruh tersedap besaran laba rugi sebelum pajak, maka diharapkan wajib pajak menggunakan pengakuan penyusutan menurut peraturan perpajakan.









