Penerapan Artificial Intelligence Dalam Pengawasan Pajak

Perkembangan teknologi yang semakin pesat membawa berbagai dampak positif dan negatif terhadap perubahan pola kehidupan masyarakat di dunia. Banyak pekerjaan yang sulit dan membutuhkan waktu yang lama dikerjakan menjadi simple dan fleksibel untuk diselesaikan.

Dalam hal ini dibutuhkan sikap selektif terhadap penyesuaian perkembangan yang sangat cepat ini. Tujuannya agar masyarakat tidak terbawa arus perubahan dan terjerumus ke dalam kondisi yang negatif. Sebagai contoh, perubahan pelaku usaha yang mulanya bertransaksi secara manual mulai beralih menggunakan platform e-commerce. Fakta ini didukung oleh data dari Badan Pusat Statistika (BPS) dimana survei yang dilakukan menunjukkan 50,7% pelaku usaha mulai beralih ke platform e-commerce pada tahun 2021, dengan kata lain penggunaan platform e-commerce naik sebesar 18x lipat, jika dibandingkan dengan tahun 2017.  

Bain&Co melaporkan tingkat ekonomi digital di Indonesia tahun 2021 mencapai US$ 70 juta atau meningkat sebesar 49% dari tahun 2020 senilai US$ 47 juta. Jika dibandingkan dengan Kawasan Asia Tenggara, Indonesia tergolong yang terbesar dari segi pertumbuhan nilai ekonomi digital. Tingginya tingkat digital ekonomi di Indonesia diakibatkan oleh tuntutan perkembangan teknologi digital dan dampak pandemi Covid-19 yang mengharuskan segala kegiatan dilakukan secara online.

Baca juga Perkembangan Teknologi Digital Pajak di Indonesia

Meningkatnya pelaku pengguna platform e-commerce, secara logika akan berdampak positif terhadap penerimaan negara. Namun demikian, meningkatnya pelaku ekonomi menggunakan platform e-commerce cenderung berpotensi terjadinya shadow economy yang tinggi sehingga menjadi tantangan bagi fiskus, terutama dalam pengawasan kewajiban perpajakan. Oleh karena itu, diperlukan alat yang dilengkapi dengan Artificial Intelligence (AI/kecerdasan buatan). Kecerdasan buatan dikaitkan dengan alat bantu dalam menemukan sebuah permasalahan dan penyelesaian permasalahan yang terjadi. 

Saat ini Indonesia diwakili oleh Menteri Riset dan Teknologi dan Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) akan mengeluarkan strategi Artificial Intelligence. AI mengacu pada sistem dalam menunjukkan kecerdasan perilaku dengan sejumlah analisis yang diatur dalam konteks ilmiah dan dikhususkan untuk memecahkan masalah-masalah kognitif terkait kecerdasan manusia.

Kecerdasan buatan menjadi pelengkap bagi para manusia untuk dapat mengurangi tingkat pengambilan keputusan yang berdasarkan keyakinan atau prediksi pribadi. Sebuah penelitian Bullock tahun 2019 yang melakukan sebuah perbandingan antara manusia dan kecerdasan buatan dalam menyelesaikan sebuah permasalahan. Hasilnya menyatakan, kecerdasan buatan mendominasi dalam permasalahan yang membutuhkan kemampuan analisa dengan tingkat ketidakpastian dan kompleksitas yang rendah. Terlepas dari itu dengan proses deep learning, kecerdasan buatan diyakini dapat memecahkan permasalahan dengan tingkat ketidakpastian yang tinggi. 

Baca juga Pemerintah Berhasil Peroleh Rp7,1 Triliun dari Platform Digital

Selain penelitian oleh Bullock tahun 2019, penelitian Hadzeiva tahun 2016 menyebutkan digitalisasi ekonomi membawa tantangan dalam bidang perpajakan dalam hal nexus, data, dan karakteristik sektor digital. Oleh karena itu, diperlukan adanya Artificial Intelligence, sehingga diharapkan membantu fiskus dalam mengawasi kepatuhan wajib pajak. Didukung oleh penelitian Zhou tahun 2019, AI dapat membantu menyelesaikan masalah perpajakan, membuat standarisasi perilaku perpajakan, hingga meminimalkan keputusan subjektif. Penggunaan AI menjadi bagian dari reformasi perpajakan karena dapat meningkatkan tax ratio, penghindaran, dan penggelapan pajak, serta meningkatkan kepatuhan wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. 

Sistem Artificial Intelligence sangat efektif dalam pengawasan perpajakan tanpa mengurangi kepatuhan terhadap protokol kesehatan. Sistem ini dapat meminimalisir human error dan mengurangi biaya administrasi. Contoh penerapannya yakni dalam memprediksi pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan dengan menggunakan parameter riwayat pelaporan, pemotongan/pemungutan/setor sendiri serta riwayat pembayaran pajak, dengan metode Artificial Neural Network (ANN) yaitu metode bentuk algoritma yang menghubungkan faktor sebab akibat.

Hasil putusan pengadilan pajak dapat diprediksi dengan menggunakan metode ini yang mana tingkat akurasinya mencapai 94%, jelas Iwan Djuniardi Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Peraturan dan Penegakan Hukum. Berdasarkan hal tersebut Sistem Artificial Intelligence cocok diterapkan dalam pengawasan pajak terutama pada saat pandemi Covid-19 yang mengharuskan adanya pembatasan interaksi antara fiskus dan wajib pajak.  

Baca juga Kabar Baik, Pemerintah Terima Pajak Digital Rp 7,1 Triliun Hingga Juni 2022

Diharapkan dengan adanya penerapan System Artificial Intelligence dapat membantu memudahkan fiskus dalam melakukan pengawasan terhadap wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. Kemudahan ini juga didukung oleh perkembangan teknologi digital yang semakin pesat, sehingga fiskus ataupun wajib pajak cepat dalam beradaptasi dengan perubahan ini. 

Dengan adanya perkembangan teknologi digital dan perubahan perilaku masyarakat yang diakibatkan oleh pandemi Covid-19, banyak pelaku usaha yang beralih ke platform e-commerce, akibat perubahan ini yakni memicu dampak negatif yang cenderung berpotensi terjadinya shadow economy. Oleh karena itu, DJP mulai mengadopsi System Artificial Intelligence guna melakukan pengawasan terhadap wajib pajak.