Prediksi Insentif Pajak Pemerintahan Prabowo
Kementerian Keuangan memperkirakan bahwa pada tahun 2025 mendatang, di mana tahun tersebut merupakan tahun pertama pemerintahan Prabowo Subianto, belanja perpajakan atau insentif pajak akan mencapai Rp421,28 triliun. Angka ini akan menjadi yang tertinggi dalam sejarah, mengungguli estimasi tahun 2024 yang sebesar Rp374,53 triliun. Pertumbuhan insentif pajak ini juga tercatat paling signifikan sejak pandemi Covid-19 melanda.
Fokus belanja perpajakan pemerintah masih akan berkisar pada pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPN). Insentif PPh akan didominasi oleh diskon tarif, termasuk tax holiday, dan berbagai bentuk dinamisasi pajak. Untuk PPN, instrumen insentif yang digunakan mencakup PPN ditanggung pemerintah (PPN-DTP). Tiga sektor prioritas penerima insentif adalah pariwisata, manufaktur, dan pertanian.
Ajib Hamdani, Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), menekankan bahwa kebijakan belanja pemerintah harus tepat sasaran untuk memacu ekonomi nasional. Ajib menyarankan agar pemerintah memberikan insentif PPN-DTP kepada sektor-sektor yang melibatkan banyak pihak, termasuk UMKM, karena mereka memiliki potensi besar untuk meningkatkan ekonomi.
Menurut Ajib, insentif pajak yang ditanggung pemerintah harus diarahkan ke sektor padat karya yang mampu menyerap banyak tenaga kerja dan pelaku usaha. Hal ini termasuk UMKM yang berperan penting dalam menggerakkan perekonomian lokal. Selain itu, program hilirisasi yang selalu dipromosikan oleh pemerintah juga perlu melibatkan pengusaha daerah dan UMKM untuk mencapai dampak maksimal.
Guru Besar Ilmu Kebijakan Pajak UI, Haula Rosdiana, dalam kesempatan yang sama menyatakan bahwa kebijakan pemerintah yang lebih ‘ramah’ terhadap insentif pajak di bawah pemerintahan Prabowo dapat menghasilkan efek ganda. Dengan adanya insentif tersebut, industri dapat meningkatkan produksinya, yang pada gilirannya akan menyerap lebih banyak tenaga kerja. Hal ini akan meningkatkan konsumsi masyarakat dan mendorong permintaan di sektor-sektor lain.
Baca juga: Selandia Baru Siapkan Insentif Pajak Baru, Apa yang Indonesia Bisa Pelajari?
Haula juga menegaskan bahwa meskipun ada hilangnya pendapatan negara akibat pemberian insentif pajak (revenue forgone), negara tetap mendapatkan pemasukan dari PPh Pasal 21 dan Pajak Barang Jasa Tertentu. Ini menunjukkan bahwa ada timbal balik yang signifikan dari belanja perpajakan tersebut.
Data Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2023 menunjukkan bahwa insentif pajak yang disalurkan mencapai Rp352,83 triliun. Pada saat yang sama, pemerintah menerima penerimaan dari PPh nonmigas sebesar Rp983,269 triliun atau 73,78% dari total Pendapatan PPh Nonmigas. Pendapatan ini terutama berasal dari PPh Pasal 25/29 Badan sebesar Rp406,30 triliun, PPh Pasal 21 sebesar Rp200,85 triliun, dan PPh Final sebesar Rp125,09 triliun. Selain itu, pendapatan negara dari Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN/PPnBM) mencapai Rp761,53 triliun.
Insentif Pajak Pemerintahan Sebelumnya
Jika melihat ke lima tahun sebelumnya, pemerintah Indonesia telah menerapkan berbagai insentif pajak untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan mengatasi berbagai tantangan. Misalnya, pada tahun 2020 saat pandemi Covid-19 melanda, pemerintah memberikan berbagai insentif pajak untuk membantu dunia usaha bertahan. Insentif tersebut termasuk pengurangan tarif pajak penghasilan, pembebasan pajak bagi UMKM, dan PPN yang ditanggung pemerintah untuk sektor-sektor tertentu.
Pada tahun 2021, insentif pajak juga diberikan untuk mendukung pemulihan ekonomi. Pemerintah memperpanjang beberapa insentif pajak yang diberikan pada tahun sebelumnya dan menambahkan insentif baru untuk sektor-sektor yang terdampak pandemi. Fokus insentif pajak saat itu adalah untuk mendorong investasi, mempertahankan lapangan kerja, dan mendukung konsumsi domestik.
Selanjutnya, jelang tahun 2022, pemerintah terus memperkuat kebijakan insentif pajak dengan memperkenalkan program super deduction tax untuk sektor pendidikan dan pelatihan vokasi. Program ini memberikan pengurangan pajak yang lebih besar bagi perusahaan yang berinvestasi dalam pendidikan dan pelatihan tenaga kerja.
Melalui kebijakan-kebijakan insentif pajak tersebut, pemerintah berusaha untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif, menarik investasi, dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. Kebijakan ini menunjukkan komitmen pemerintah dalam menggunakan instrumen pajak sebagai alat untuk mencapai tujuan pembangunan nasional.
Dengan kebijakan insentif pajak yang lebih besar di bawah pemerintahan Prabowo, diharapkan langkah ini akan semakin memperkuat sektor-sektor kunci dan memberikan dorongan yang signifikan bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia.









