Pemerintah Raup Rp71,72 Miliar dari Pajak Fintech dan Kripto di Januari 2024

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menunjukkan performa positif dalam menghimpun pajak dari sektor baru, yaitu fintech (financial technology) dan kripto. Pada bulan Januari 2024, DJP berhasil mengumpulkan total Rp71,72 miliar dari kedua sektor ini. Capaian ini memberikan harapan besar atas kontribusi signifikan fintech dan kripto bagi pendapatan negara. 

Pendapatan dari Pajak Fintech P2P Lending 

Pajak pinjol atau fintech P2P lending menyumbang Rp32,59 miliar pada Januari 2024. Jumlah ini terdiri dari: 

  • PPh Pasal 23: Rp20,5 miliar 
  • PPh Pasal 26: Rp12,09 miliar 

PPh Pasal 23 dikenakan pada subjek pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap dengan tarif 15% dari bunga pinjaman. Sementara PPh Pasal 26 dikenakan pada subjek pajak luar negeri dengan tarif 20% dari bunga pinjaman. 

Pendapatan dari Pajak Kripto 

Pajak kripto juga menunjukkan potensi besar dengan menghasilkan Rp39,13 miliar pada Januari 2024. Rinciannya: 

  • PPh Pasal 22: Rp18,25 miliar 
  • PPN: Rp20,88 miliar 

PPh Pasal 22 dikenakan pada penghasilan neto yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak (WP) dalam negeri dari transaksi aset kripto dengan tarif 0,1%. Sedangkan PPN dikenakan atas penyerahan aset kripto di dalam daerah pabean dengan tarif 11%. 

Baca juga: Ini Dia Saran Asosiasi Kepada Pemerintah Tentang Pajak Kripto

Perkembangan Pajak Fintech dan Kripto di Indonesia 

Pajak fintech dan kripto telah diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021, tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan alias UU HPP. Pemerintah baru melakukan pemungutan pada awal tahun 2022 lalu, tepat setelah terbitnya beberapa aturan turunan yang diatur oleh Kemenkeu sebagai pelaksana teknis.

Kripto diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 68 Tahun 2022 yang terbit pada 30 Maret 2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan atas Transaksi Perdagangan Aset Kripto. Sedangkan fintech diatur dalam PMK Nomor 69 Tahun 2022 tentang Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai atas Penyelenggaraan Teknologi Finansial. Kedua aturan terbit di waktu yang sama, yaitu Mei 2022. Sejak waktu terbit itu, setiap transaksi kripto di Indonesia dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 0,11% dari nilai transaksi exchange terdaftar di Bappebti (Badan Pengawasan Perdagangan Berjangka Komoditi), ditambah dengan Pajak Penghasilan (PPh) sebesar 0,1%.  

Mengutip Antara, Ketua Asosiasi Blockchain & Pedagang Aset Kripto Indonesia (A-B-I & Aspakrindo) Robby menilai penerapan pajak terhadap aset kripto memberikan dampak positif terhadap ekonomi Indonesia. Meski begitu, pasar aset kripto disebut mengalami penurunan signifikan sepanjang tahun 2023. Beberapa faktor penyebabnya, dimulai dari momen kejatuhan FTX Trading Ltd pada tahun 2022, persoalan hukum dari U.S Securities & Exchange Commission (SEC) dengan Binance dan Coinbase, pemberhentian sementara withdraw Bitcoin dari Binance, hingga pemindahan 15 ribu Ethereum (ETH) ke Gate.io oleh Etherum Foundation.  

Baca juga: Transaksi Kripto Menurun, Ini Kata OJK

Namun, selain faktor di atas, Robby dan pihak terkait lainnya, seperti Yudhono Rawis sebagai CEO Tokocrypyo merekomendasikan perlunya penyesuaian tarif pajak aset kripto untuk memperoleh biaya yang lebih kompetitif, serta pembebasan aset keuangan digital dari pemungutan PPN. 

Di sisi pemerintah, peneliti Pusat Riset Ekonomi Makro dan Keuangan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Rusno Haji dalam Trade Policy Journal menilai pendekatan regulasi ekonomi aset kripto saat ini belum membuahkan hasil sesuai yang diharapkan karena menimbulkan regulatory arbitrage. Rusno berpendapat bahwa pendekatan yang lebih tepat adalah pendekatan komprehensif karena dapat memberikan kepastian investasi dan usaha, serta menumbuhkan inovasi.