Pahami Perbedaan PBB-P2 dan PBB-P3

Perekonomian Indonesia mendapatkan pukulan yang keras akibat efek dari pandemi Covid-19, bahkan beberapa pakar menyatakan bahwa Indonesia sempat mengalami resesi. Sebagai upaya pemulihan ekonomi, pemerintah berupaya untuk memberikan berbagai macam stimulus, termasuk pemerintah daerah. 

Insentif yang diberikan oleh pemerintah pun berbagai macam, mulai dari pembebasan denda pajak hingga diskon pokok utang pajak. Salah satu insentif yang diberikan pemerintah adalah keringan pajak bumi bangunan. Terdapat dua tipe pajak bumi bangunan itu PBB P2 dan PBB P3. Lalu, perbedaan PBB-P2 dan PBB-P3? Mari kita simak di artikel berikut. 

Perbedaan PBB-P2 dan PBB P-3

Pajak bumi dan bangunan adalah pajak yang dikenakan atas tanah dan bangunan yang muncul karena adanya kepemilikan hak, penguasaan, atau perolehan manfaat atas suatu bumi atau bangunan. Secara garis besar terdapat lima sektor PBB yang terdiri dari sektor perkotaan, sektor perdesaan, sektor perkebunan, sektor perhutanan, dan sektor pertambangan. 

Pemungutan PBB ini menjadi wewenang pemerintah pusat sebelum UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) disahkan pada tahun 2019. Pengelolaan PBB sendiri terbagi menjadi dua yaitu  pemerintah daerah untuk PBB-P2 dan pemerintah pusat untuk PBB-P3.

Baca juga Diskon PBB Diperpanjang Hingga Agustus 2022, Warga Dihimbau Manfaatkan Diskonnya

Merujuk Pasal 1 poin ‘37’ UU PDRD, PBB-P2 adalah pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan. Objek pajak dari PBB-P2 sesuai dengan namanya, yaitu bumi dan bangunan yang ada di wilayah perkotaan dan perdesaan, seperti apartemen, rumah susun, hotel, pabrik, tanah kosong, dan sawah. Sedangkan objek pajak PBB-P3 adalah perkebunan, perhutanan, pertambangan dan sektor lainnya.

Sektor lain yang dimaksud berdasarkan Pasal 2 ayat ‘1’ Peraturan Direktur Pajak No. PER-20/PJ/2015 meliputi perikanan tangkap, budidaya ikan, jaringan pipa, kabel telekomunikasi, kabel listrik dan jalan tol.

Tarif maksimal yang ditetapkan untuk PBB-P2 adalah 0.3% dan tarifnya bervariasi tergantung kebijakan pemerintah daerah setempat. Sedangkan untuk PBB-P3 mempunyai tarif tunggal 0.5%. Terdapat batas nilai PBB yang tidak dikenakan pajak yang disebut nilai jual objek pajak tidak kena pajak (NJOPTKP). Nilai NJOPTKP untuk PBB-P2 ditetapkan paling rendah RP 10 juta bagi setiap Wajib Pajak. Sedangkan untuk PBB-P3, NJOPTKP dikenakan sebesar Rp 12 juta.

Pada saat perhitungan PBB-P2 tidak terdapat nilai jual kena pajak (NJKP) yang merupakan suatu persentase tertentu dari nilai jual objek pajak (NJOP). Sedangkan dalam perhitungan dasar PBB-P3 terdapat NJKP. NJKP untuk PBB-P3 ditentukan serendah-rendahnya 20% dan setinggi-tingginya 100% dari NJOP.

Baca juga Berkat Komoditas dan Low Base Effect, Penerimaan Pajak Tumbuh 51,49 Persen

Menurut Pasal 1 PP No. 25 Tahun 2002, objek pajak PBB sektor perkebunan, pertambangan besar, dan kehutanan sebesar 40 % dari NJOP. Untuk sektor lainnya, sebesar 40% dari NJOP apabila NJOP-nya mencapai Rp 1 miliar atau lebih. Sementara itu, untuk sektor dengan NJOP dibawah 1 miliar, NJKP ditetapkan 20%.

Melalui Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Anatara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU HKPD), pemerintah resmi menaikkan tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan Perkotaan (PBB-P2).

Merujuk pada Pasal 41 UU HKPD, tarif PBB-P2 paling tinggi sebesar 0,5% atau naik dari aturan sebelunya, yakni 0,1% – 0,3%. Selain itu, perubahan tarif PBB-P2, UU HKPD juga mengatur dasar pengenaan PBB-P2 adalah nilai jual objek pajak (NJOP). Sementara, NJOP tidak kena pajak ditetapkan paling sedikit Rp 10 juta untuk setiap Wajib Pajak.