Nilai Tukar Rupiah Berpengaruh ke Penerimaan Pajak? Simak Penjelasannya!

Menguatnya dolar Amerika Serikat (AS) berhasil menundukkan nilai tukar rupiah yang melemah sebesar 2,53% sepanjang bulan April tahun 2024. Penurunan ini dipicu oleh sikap The Fed yang menahan kebijakan penurunan suku bunga dalam waktu dekat dan ketegangan geopolitik global yang meningkat. Sebagai akibatnya, dolar AS menjadi daya tarik bagi para investor yang mencari tempat berlindung di tengah ketidakpastian pasar. Sementara itu, pasar ekonomi berkembang, termasuk Indonesia, mengalami arus keluar investasi karena investor beralih ke aset yang dianggap lebih aman.

Menurut data Bloomberg yang dirilis pada Selasa, 7 Mei 2024, nilai tukar rupiah tercatat mengalami pelemahan sebesar 20,50 poin atau 0,13%, menuju ke level Rp16.046 per dolar AS. Sementara itu, indeks dolar AS menguat sebesar 0,14% menjadi 105,19. Di sisi lain, kurs rupiah yang dipatok oleh Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia (BI) juga mengalami penurunan sebesar 0,18%, mencapai Rp16.054 per dolar AS.

Direktur PT Laba Forexindo Berjangka, Ibrahim Assuaibi, mengungkapkan bahwa fokus investor pada minggu ini terpusat pada pernyataan pejabat The Fed mengenai kebijakan suku bunga, terutama setelah data nonfarm payrolls (NFP) yang dirilis menunjukkan hasil yang lebih lemah dari perkiraan. Menurutnya, pasar sedang mengantisipasi kemungkinan penurunan suku bunga oleh bank sentral AS. Namun, dia menegaskan bahwa gagasan tersebut tidak memberikan banyak dukungan bagi mata uang Asia secara umum, mengingat masih ada perkiraan bahwa The Fed baru akan mulai menurunkan suku bunga pada bulan September mendatang.

Ibrahim juga mengamati bahwa saat ini pasar sedang menunggu data terkait inflasi di Jepang dan pertumbuhan upah, yang akan digunakan untuk mengevaluasi langkah Bank of Japan (BOJ) dalam menetapkan kebijakan suku bunga. Keputusan BOJ diharapkan dapat memberikan sedikit kelonggaran bagi mata uang yen Jepang. Sementara dari dalam negeri, Ibrahim menyoroti laporan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang mengungkapkan bahwa posisi utang pemerintah Indonesia mencapai Rp8.262,10 triliun hingga akhir Maret 2024. Angka ini setara dengan 38,79% dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia.

Baca juga: Dampak Penguatan Dolar AS Terhadap Perekonomian Indonesia

Menurut Ibrahim, meskipun posisi utang tersebut mengalami penurunan jika dibandingkan dengan bulan Februari 2024 yang tercatat sebesar Rp8.319,2 triliun atau setara dengan 39,06% dari PDB, namun rasio utang pada Maret 2024 tetap berada di bawah batas aman sebesar 60% dari PDB sesuai dengan UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Posisi utang yang terjaga di bawah batas aman tersebut juga menunjukkan perbaikan dari penerapan Strategi Pengelolaan Utang Jangka Menengah tahun 2024-2027 yang menargetkan rasio utang di kisaran 40%. Hal ini menunjukkan langkah-langkah yang diambil oleh pemerintah dalam mengelola utang negara dengan lebih efisien dan bertanggung jawab.

Kenaikan nilai dolar terhadap rupiah turut direspon dengan sentimen positif oleh sejumlah pihak, salah satunya adalah Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Lantas, bagaimana penjelasannya?

Pengaruh Nilai Tukar Rupiah Terhadap Penerimaan Pajak

Theresa Agatha Sirait, seorang pegawai Direktorat Jenderal Pajak (DJP), menjelaskan bahwa pada dasarnya penerimaan pajak dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal, termasuk nilai tukar mata uang. Kenaikan atau penguatan dolar AS dapat berdampak signifikan dan positif terhadap realisasi penerimaan pajak.

Pertama, kenaikan nilai dolar AS dapat meningkatkan penerimaan pajak melalui peningkatan pendapatan dan laba perusahaan. Ini terjadi karena kenaikan nilai dolar AS dapat menghasilkan keuntungan tambahan bagi perusahaan yang bertransaksi dalam mata uang tersebut. Dengan asumsi bahwa biaya tambahan yang timbul dari kenaikan nilai dolar AS tidak melebihi keuntungan dari peningkatan nilai ekspor barang, maka perusahaan dapat memperoleh pendapatan dan laba yang lebih besar. Dengan demikian, hal ini berpotensi meningkatkan jumlah pajak penghasilan (PPh) yang harus dibayarkan oleh perusahaan kepada negara.

Kedua, nilai dolar AS yang menguat juga dapat memberikan keuntungan atau laba lebih bagi perusahaan dalam bentuk selisih kurs. Transaksi perusahaan yang melibatkan mata uang dolar AS akan menghasilkan keuntungan selisih kurs ketika terjadi perubahan nilai tukar. Keuntungan ini dapat menjadi tambahan pendapatan bagi perusahaan, yang kemudian menjadi objek pajak penghasilan.

Ketiga, dari sisi impor, kenaikan nilai dolar AS akan meningkatkan nilai impor karena barang-barang yang diimpor menggunakan mata uang dolar AS. Peningkatan nilai impor akan meningkatkan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) dalam penghitungan pajak pertambahan nilai (PPN), yang pada akhirnya akan meningkatkan jumlah PPN yang dibayarkan kepada negara. Selain itu, jika barang yang diimpor termasuk dalam kategori barang mewah, maka peningkatan nilai impor juga akan meningkatkan jumlah PPNBM yang harus dibayarkan kepada negara.

Disamping meningkatkan penerimaan pajak, depresiasi nilai tukar rupiah juga dapat memberikan dampak positif dalam hal investasi asing langsung (foreign direct investment). Arus masuk modal asing dalam bentuk mata uang dolar AS akan bertambah, baik untuk disimpan di lembaga perbankan dalam negeri maupun untuk digunakan dalam pembangunan industri. Di sisi lain, depresiasi nilai tukar rupiah juga dapat mendorong peningkatan ekspor non-migas karena harga barang ekspor menjadi lebih murah di pasar internasional. Hal ini dapat meningkatkan daya saing komoditas ekspor non-migas Indonesia di pasar internasional.

Baca juga Berita dan Artikel Pajakku lainnya di Google News