Wacana penurunan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) kembali mencuat setelah Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyebut adanya kemungkinan penyesuaian tarif pada tahun depan.
“Kita akan lihat seperti apa di akhir tahun, ekonominya, uang yang saya dapat di akhir tahun karena sampai sekarang belum terlalu jelas. Nanti akan kita lihat, bisa atau tidak kita turunkan PPN,” kata Purbaya, dikutip Selasa (15/10/2025).
Ia menegaskan bahwa Kementerian Keuangan masih perlu mengkaji dampak ekonomi dan fiskal sebelum memutuskan penurunan tarif PPN. Menurutnya, setiap kebijakan yang memengaruhi penerimaan pajak negara harus direncanakan secara hati-hati agar tidak menimbulkan ketidakseimbangan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
“Akan kita lihat bisa tidak kita turunkan PPN, ini untuk mendorong daya beli masyarakat ke depan. Tapi kita pelajari dulu hati-hati,” ujarnya.
Baca Juga: Kinerja PPN 2025 Tertekan, Kemenkeu: Bukan Pertanda Ekonomi Melemah!
Penerapan Tarif PPN Saat Ini
Sebagaimana diketahui, tarif PPN saat ini sebenarnya resmi ditetapkan sebesar 12%. Namun, pemerintah masih menerapkan tarif efektif 11% untuk sebagian besar barang dan jasa, agar tidak membebani konsumen.
Perubahan tarif PPN diatur dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Dalam aturan tersebut, tarif PPN naik dari 10% menjadi 11% pada 1 April 2022, dan dijadwalkan meningkat menjadi 12% paling lambat pada 1 Januari 2025.
Meski demikian, pemerintah menetapkan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 131 Tahun 2024 bahwa tarif efektif tetap 11%. Artinya, meski secara hukum tarif PPN sudah 12%, perhitungannya menggunakan dasar pengenaan pajak (DPP) sebesar 11/12 dari nilai impor, harga jual, atau penggantian untuk barang dan jasa nonmewah.
Tarif efektif 11% hanya berlaku untuk penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP) nonmewah. Sementara itu, barang-barang yang tergolong mewah tetap dikenai tarif PPN sebesar 12% sesuai dengan ketentuan UU PPN.
Kategori barang mewah ini mencakup kendaraan bermotor, hunian mewah, balon udara, peluru senjata api, pesawat udara, dan kapal pesiar. Barang-barang tersebut sebelumnya juga menjadi objek Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).
Baca Juga: Jejak Sejarah Pajak di Indonesia, dari Sistem Kolonial Hingga Era Coretax
Perkembangan Tarif dan Penerapan PPN di Indonesia
Kebijakan PPN di Indonesia sendiri telah mengalami sejumlah perubahan sejak pertama kali diterapkan pada 1 April 1985 melalui UU PPN 1984. Berikut perkembangannya:
1985–1994: Awal Pemberlakuan PPN
Pada masa ini, pajak hanya dikenakan pada barang hasil proses pabrikasi dan impor. Perlakuan pajak juga mencakup pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa dengan pabrikan atau importir, serta pedagang besar dan eceran.
Jenis jasa yang dikenai pajak saat itu masih terbatas pada jasa pemborongan atau kontraktor, terutama di sektor pembangunan dan perbaikan bangunan. Beberapa sektor seperti kesehatan, pendidikan, dan perbankan dikecualikan dari PPN.
1995–2000: Cakupan PPN Diperluas
Melalui UU No. 11 Tahun 1994, cakupan PPN diperluas hingga mencakup pedagang eceran dan barang tidak berwujud. Pengenaannya menggunakan negative list, artinya hanya barang tertentu yang dikecualikan dari PPN.
Barang yang dikecualikan itu mencakup hasil pertanian, pertambangan, dan kebutuhan pokok. Pada masa ini pula, kegiatan membangun sendiri juga mulai dikenai PPN jika memenuhi syarat tertentu, seperti bangunan permanen dengan luas lebih dari 400 m².
2001–2010: Barang Strategis Dikecualikan
Perubahan berikutnya hadir melalui UU No. 18 Tahun 2000, yang memperluas objek pajak termasuk hasil pertanian dan perikanan. Namun, PP No. 12 Tahun 2001 kemudian memberikan pembebasan PPN untuk barang-barang strategis dari sektor pertanian, disusul perluasan melalui PP No. 7 Tahun 2007.
Pada periode ini, pemerintah juga kembali menetapkan daftar jasa yang tidak kena PPN, seperti layanan kesehatan, pendidikan, perbankan, dan keagamaan.
2010–2022: Penegasan Barang dan Jasa Tidak Kena PPN
Melalui UU No. 42 Tahun 2009, pemerintah menegaskan kembali kelompok barang dan jasa yang tidak dikenai PPN, terutama kebutuhan pokok yang penting bagi masyarakat.
Terdapat 17 jenis jasa yang dikecualikan, termasuk kesehatan, sosial, pendidikan, dan penyiaran non-iklan.
2022–2024: Kenaikan Tarif dan Penyesuaian Melalui UU HPP
Perubahan besar terjadi saat diberlakukannya UU No. 7 Tahun 2021 (UU HPP). Dalam beleid ini, tarif PPN resmi naik menjadi 11% pada 1 April 2022, dan ditetapkan naik menjadi 12% paling lambat 1 Januari 2025.
UU HPP juga menetapkan batas fleksibilitas tarif PPN yang dapat diubah pemerintah menjadi paling rendah 5% dan paling tinggi 15%, sesuai dengan Pasal 7 ayat (3).
Namun, untuk menjaga kestabilan ekonomi, PMK No. 131 Tahun 2024 memastikan tarif efektif PPN tetap di level 11% melalui mekanisme penghitungan dasar pengenaan pajak (DPP) sebesar 11/12 dari harga jual atau nilai impor.









