Jejak Sejarah Pajak di Indonesia, dari Sistem Kolonial Hingga Era Coretax

Tahun 2025 menjadi penanda 80 tahun Indonesia berdiri sebagai negara merdeka. Setiap peringatan 17 Agustus mengingatkan kita pada perjuangan fisik melawan penjajah, tetapi jangan pula melupakan perjalanan panjang bangsa ini dalam membangun kedaulatan di berbagai bidang, termasuk dalam pengelolaan pajak. Sebagai sumber utama pembiayaan negara, pajak memiliki sejarah yang erat kaitannya dengan dinamika kemerdekaan, mulai dari masa penindasan di era kolonial hingga transformasi menuju sistem yang dikelola bangsa sendiri.

Pada era kolonial Belanda, sistem pajak di Nusantara diterapkan secara represif dan berat bagi penduduk lokal. Pemerintah kolonial memperkenalkan berbagai pungutan seperti pajak rumah, pajak usaha, dan pajak kepala yang dikenakan pada komunitas pedagang Tionghoa maupun penduduk pribumi. Di masa Gubernur Jenderal Daendels bahkan diterapkan pajak bazar (bazarregten) untuk transaksi di pasar, serta bea gerbang bagi orang dan barang yang keluar-masuk kota.

Selama pendudukan Inggris (masa Raffles), dikenal sistem landrent stelsel yaitu pajak sewa tanah langsung kepada petani, meniru praktik di India. Inilah cikal bakal Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Indonesia, di mana petani dianggap menyewa tanah raja kepada pemerintah kolonial dan dikenai pajak sekitar 2% dari pendapatan tahunan mereka. Kebijakan pajak kolonial semacam ini sangat membebani dan dilakukan secara official assessment, artinya penentuan pajak sepenuhnya ditetapkan oleh petugas kolonial tanpa partisipasi wajib pajak. Akibatnya, pajak pada masa kolonial dipandang sebagai lambang penindasan, bahkan sampai muncul ungkapan di kalangan rakyat: “Apa gunanya merdeka kalau masih disuruh bayar belasting (pajak)?”. Stigma ini menciptakan resistensi mendalam, karena pajak dianggap hanya menguntungkan penjajah dan diwarnai banyak penyelewengan tanpa pengawasan.

Awal Kemerdekaan, Upaya Indonesia Membangun Sistem Pajak Nasional

Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 membuka babak baru kebijakan pajak Indonesia. Para pendiri bangsa menyadari bahwa negara merdeka membutuhkan sumber pembiayaan mandiri; oleh karena itu, mereka mencantumkan ketentuan pajak dalam UUD 1945 Pasal 23, berbunyi “Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan Undang-Undang”. Prinsip konstitusional ini menegaskan peran pajak sebagai tulang punggung pembangunan nasional sejak awal kemerdekaan. Namun, realitas pasca-1945 tidaklah mudah. Pemerintah Republik Indonesia yang baru berdiri belum sempat menerbitkan undang-undang pajak baru karena fokus pada revolusi fisik dan konsolidasi negara. Alhasil, aturan pajak peninggalan kolonial seperti Ordonansi Pajak Pendapatan 1944 terpaksa diadopsi sementara. Struktur administrasi perpajakan pun mulai dibentuk dengan mendirikan Jawatan Pajak, Jawatan Bea dan Cukai, serta Jawatan Pajak Hasil Bumi di bawah Kementerian Keuangan.

Di masa awal kemerdekaan ini, sistem official assessment tetap dipertahankan, dimana dalam sistem ini petugas fiskus menentukan besarnya pajak dan wajib pajak bersifat pasif menunggu surat ketetapan pajak. Kebijakan ini dipandang sesuai situasi saat itu mengingat kapasitas administrasi yang terbatas dan masyarakat belum terbiasa menghitung pajaknya sendiri. Meski pajak menjadi salah satu sumber penerimaan negara yang penting, kontribusinya masih belum mampu mengangkat ekonomi negara yang porak-poranda akibat perang. Pemerintah harus berhati-hati karena trauma pajak di era kolonial membuat rakyat sensitif; bahkan, tekanan politik mendorong penghapusan pajak-pajak tertentu. Contohnya, pada 1951 pajak atas tanah pertanian (pajak bumi) dihapus menyusul Mosi Tauchid di parlemen yang menolak pungutan itu karena membebani petani. Akibat sumber pajak yang minim, pemerintah Orde Lama sering menutup defisit dengan cara lain seperti mencetak uang dan pinjaman, yang berujung hiperinflasi. Pada awal 1960-an, misalnya, inflasi meroket hingga lebih dari 500% akibat pembiayaan proyek mercusuar dan kampanye konfrontasi politik yang tidak didukung penerimaan pajak memadai. Krisis ekonomi ini menunjukkan betapa rentannya keuangan negara tanpa sistem pajak yang kuat.

Baca juga: Apa itu Tax Reform?

Pergantian rezim ke Orde Baru tahun 1966 membawa perubahan bertahap dalam kebijakan pajak. Pemerintahan Presiden Soeharto awalnya mengatasi inflasi dengan pinjaman luar negeri alih-alih segera mereformasi pajak. Namun, pada 1965-1967 mulai muncul terobosan desentralisasi pajak, kebijakan yang dilakukan dengan menyerahkan Pajak Hasil Bumi kepada daerah dalam bentuk Iuran Pembangunan Daerah (IPEDA). Langkah ini menandai pembagian wewenang pajak pusat-daerah pertama kali, sekaligus mengisyaratkan peran pajak sebagai instrumen pembangunan daerah. Selain itu, pemerintah Orde Baru mulai memperkenalkan cikal bakal self-assessment system. UU No. 8 Tahun 1967 dan PP No. 11 Tahun 1967 diterbitkan untuk mengubah tata cara pemungutan Pajak Pendapatan 1944, Pajak Kekayaan 1932, dan Pajak Perseroan 1925, dengan memberikan kesempatan wajib pajak menghitung pajaknya sendiri. Sistem baru ini dikenal sebagai MPS (Menghitung Pajak Sendiri) dan MPO (Menghitung Pajak Orang Lain), sebuah kombinasi di mana sebagian besar perhitungan pajak dilakukan oleh wajib pajak sendiri, sementara fiskus berperan menetapkan pajak bagi pihak yang tidak mampu menghitungnya. Konsep self-assessment parsial ini diadopsi meniru praktik di Amerika Serikat dan Eropa yang dinilai lebih efektif. Kebijakan tersebut membawa angin segar dan mulai meningkatkan arah pengelolaan ekonomi yang lebih baik dibanding era sebelumnya. Meski demikian, memasuki akhir 1970-an, sistem perpajakan warisan kolonial yang hanya sedikit dipoles ini kembali dianggap usang. Apalagi, di tahun 1980-an Indonesia menghadapi tantangan baru, yakni anjloknya harga minyak dunia yang selama dekade sebelumnya menjadi andalan penerimaan negara. Kondisi itu memaksa pemerintah mencari sumber pendapatan alternatif dan menyiapkan reformasi pajak besar-besaran.

Reformasi Pajak 1980-an, Catatan Transisi ke Self-Assessment

Tahun 1983 menandai tonggak sejarah reformasi perpajakan nasional. Dipimpin Menteri Keuangan saat itu, Ali Wardhana, pemerintah bekerjasama dengan Harvard Institute for International Development merancang pembaruan sistem pajak demi mengurangi ketergantungan pada minyak dan meningkatkan rasio pajak terhadap PDB. Reformasi ini bertujuan menyederhanakan administrasi pajak serta memperluas basis pajak agar penerimaan pajak non-migas meningkat signifikan. Hasilnya, dalam kurun 1983-1985 disahkan lima undang-undang perpajakan baru yang menjadi fondasi hingga kini, diantaranya UU No. 6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), UU No. 7/1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh), UU No. 8/1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN/PPnBM), UU No. 12/1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), serta UU No. 13/1985 tentang Bea Meterai. Paket regulasi ini menggantikan ordonansi kolonial yang usang dan secara resmi mengubah sistem pemungutan pajak dari official assessment menjadi self-assessment. Artinya, mulai 1984 wajib pajak diberi kepercayaan penuh untuk menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri pajaknya, sedangkan fiskus berperan dalam pengawasan dan penegakan hukum.

Peralihan ke sistem self-assessment membawa beberapa dampak positif. Pertama, kontak langsung antara wajib pajak dan petugas pajak berkurang drastis, sehingga menutup celah praktek suap atau negosiasi under-the-table yang kerap terjadi pada sistem lama. Kedua, wajib pajak kini memiliki kewenangan dan tanggung jawab menghitung pajaknya sesuai aturan, mendorong kesadaran dan partisipasi sukarela yang lebih besar. Meskipun menambah beban administratif bagi wajib pajak, langkah ini meningkatkan efisiensi pemungutan dan menekan biaya birokrasi, karena petugas pajak dapat dialihkan fokusnya pada pelayanan, pengawasan, dan pemeriksaan saja. Reformasi 1983 terbukti sukses meningkatkan penerimaan pajak secara signifikan; dalam beberapa tahun, pajak menjadi kontributor utama APBN menggantikan minyak bumi. Hingga kini, sektor perpajakan konsisten menyumbang porsi dominan pendapatan negara, sekitar dua pertiga lebih dari total penerimaan pemerintah. Sebagai gambaran, pada APBN 2023 penerimaan pajak ditargetkan Rp1.718 triliun atau sekitar 70% dari total pendapatan negara. Hal ini menunjukkan peran pajak yang kian vital dalam pembiayaan pembangunan nasional, mulai dari infrastruktur, pendidikan, kesehatan hingga program sosial, semuanya sangat bergantung pada keberhasilan pemungutan pajak.

Pasca reformasi 1980-an, pemerintah terus menyesuaikan kebijakan pajak seiring perkembangan ekonomi. Sejumlah amendemen undang-undang PPh dan PPN dilakukan pada 1990-an dan 2000-an untuk meningkatkan keadilan dan daya saing, misalnya penurunan tarif pajak penghasilan dan perluasan objek PPN. Selain itu, otoritas pajak berupaya meningkatkan kepatuhan melalui penyederhanaan prosedur dan penegakan hukum yang lebih tegas. Tantangan di era 1990-an termasuk upaya mengurangi tax evasion (penghindaran pajak) oleh wajib pajak besar dan memperbaiki administrasi yang masih lemah. Periode krisis ekonomi 1997-1998 sempat menekan penerimaan pajak, namun juga memicu kesadaran akan perlunya sistem pajak yang lebih andal. Memasuki era Reformasi (pasca 1998), transparansi dan akuntabilitas perpajakan menjadi sorotan. Pemerintah membentuk lembaga peradilan pajak tersendiri dan meningkatkan pengawasan internal untuk memberantas korupsi petugas pajak. Secara garis besar, pondasi sistem pajak modern yang diletakkan pada 1983 tetap dipertahankan hingga kini, dengan penyesuaian regulasi seperti UU No. 28/2007 dan terakhir UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan No. 7/2021 yang mengintegrasikan berbagai perubahan terbaru. UU HPP 2021, misalnya, selain mengubah tarif PPh dan PPN, juga menegaskan prinsip self-assessment bahwa laporan pajak dianggap benar sepanjang belum diperiksa oleh fiskus. Ini memberikan kepastian hukum bagi wajib pajak di tengah sistem yang semakin kompleks.

Era Digitalisasi Perpajakan, Modernisasi yang Diselimuti Berbagai Tantangan

Memasuki abad ke-21, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menggulirkan modernisasi administrasi perpajakan yang ditopang kemajuan teknologi digital. Program modernisasi dimulai awal 2000-an dengan tujuan meningkatkan efisiensi, transparansi, dan kemudahan layanan bagi wajib pajak. Tonggak pentingnya adalah peluncuran aplikasi e-SPT pada tahun 2002, yang memungkinkan pelaporan Surat Pemberitahuan secara elektronik. Sejak itu, berbagai inovasi digital terus diimplementasikan, mulai dari e-Registration (2007) untuk pendaftaran NPWP online, e-Filing (2012) untuk pelaporan SPT melalui internet, e-Billing (2014) untuk pembayaran pajak via kode billing, e-Faktur (2015) untuk pelaporan PPN berbasis faktur elektronik, hingga e-Bupot (2018) untuk bukti potong elektronik. Berkat digitalisasi ini, interaksi wajib pajak dengan kantor pajak bergeser dari tatap muka ke platform online. Proses yang dulunya rumit, seperti mengisi formulir kertas, antre di loket pembayaran, dsb, kini dipangkas menjadi beberapa klik lewat sistem DJP Online. Transformasi ini meningkatkan kepatuhan formal karena wajib pajak dimudahkan dalam memenuhi kewajibannya di manapun mereka berada.

Digitalisasi perpajakan juga berperan menutup celah penghindaran pajak dan memperkuat pengawasan. Misalnya, dengan e-Faktur yang terintegrasi, transaksi PPN tercatat real-time sehingga sulit bagi Pengusaha Kena Pajak menyembunyikan penjualannya. DJP pun mulai memanfaatkan Automatic Exchange of Information (AEoI) sejak 2018 untuk menerima data keuangan warga negara Indonesia di luar negeri, sebagai upaya mengurangi praktik pengemplangan pajak lintas negara. Inovasi lain adalah penerapan sistem Compliance Risk Management (CRM) berbasis big data untuk menganalisis risiko ketidakpatuhan pajak secara otomatis, membantu petugas fokus pada wajib pajak berisiko tinggi. Upaya ini menunjukkan bahwa era digital dimanfaatkan otoritas pajak tidak hanya untuk pelayanan, tapi juga pengawasan cerdas.

Di sisi wajib pajak, digitalisasi membawa kenyamanan sekaligus tantangan. Generasi muda dan pelaku UMKM yang melek digital merasakan kemudahan dalam administrasi pajak, namun sebagian kelompok masyarakat lain masih gagap teknologi. Kesenjangan literasi digital ini menjadi PR pemerintah, yakni bagaimana memastikan seluruh wajib pajak mampu beradaptasi, agar transformasi digital benar-benar inklusif. 

DJP telah mengantisipasi dengan gencar melakukan sosialisasi dan edukasi perpajakan berbasis digital, termasuk melalui media sosial dan webinar. Selain itu, pemerintah mengintegrasikan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dengan NPWP untuk memperluas basis pajak dan mempermudah layanan satu pintu. Integrasi NIK-NPWP ini diharapkan mengurangi shadow economy dan mempermudah identifikasi wajib pajak, tanpa menambah beban bagi masyarakat yang belum berpenghasilan kena pajak. Mulai 2024, NIK dicanangkan secara resmi menjadi identitas tunggal administrasi pajak, sejalan dengan upaya pemerintah menyongsong Single Identity Number. Langkah ini merupakan bagian dari strategi digital untuk meningkatkan kepatuhan material secara bertahap.

Tidak kalah penting, kebijakan pajak pun bertransformasi menghadapi era ekonomi digital. Pemerintah menyadari munculnya model bisnis digital lintas yurisdiksi yang menantang aturan perpajakan konvensional. Salah satu responnya adalah menerapkan PPN Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) sejak 1 Juli 2020, dimana PPN 10% dikenakan atas penjualan produk dan jasa digital dari luar negeri kepada konsumen Indonesia. Layanan seperti streaming musik/film, aplikasi, dan platform digital asing kini diwajibkan memungut PPN seolah-olah mereka entitas lokal. Kebijakan ini memastikan kesetaraan level playing field antara pelaku usaha konvensional dan digital, sekaligus menambah penerimaan negara di tengah meningkatnya ekonomi digital. Pada saat yang sama, pemerintah terus mengikuti konsensus global terkait pajak ekonomi digital (seperti rencana global minimum tax untuk perusahaan teknologi multinasional) agar Indonesia tidak kehilangan potensi penerimaan dari sektor tersebut. Bahkan, baru-baru ini pemerintah mengatur pemajakan atas inovasi keuangan digital seperti aset kripto, menunjukkan adaptabilitas kebijakan pajak terhadap perkembangan zaman.

Baca juga: RUU Pengampunan Pajak Jadi Prioritas Prolegnas 2025, Apa Dampaknya?

Menuju tahun 2025 dan seterusnya, Indonesia memasuki fase lanjutan digitalisasi perpajakan dengan penerapan Core Tax Administration System (Coretax). Coretax adalah sistem inti administrasi pajak berbasis teknologi terkini (termasuk cloud computing dan kecerdasan buatan) yang mulai diimplementasikan secara bertahap pada tahun 2025. Tujuannya adalah meningkatkan otomasi layanan, integrasi data perpajakan yang menyeluruh, dan analitik canggih untuk pengambilan keputusan kebijakan. Berbeda dari sistem DJP Online sebelumnya, Coretax dirancang dengan arsitektur modern yang lebih fleksibel, keamanan data berlapis, serta fitur seperti dashboard real-time bagi petugas dan wajib pajak. Diharapkan, inisiatif ini akan mengurangi kesalahan administrasi, mempercepat proses pelayanan (misalnya restitusi pajak yang lebih cepat), dan memungkinkan penegakan hukum pajak yang lebih tepat sasaran melalui analisis risiko otomatis. Tentu, proyek besar ini juga diiringi tantangan berupa migrasi data lama, pelatihan SDM, serta penyesuaian regulasi teknis. Namun, pemerintah berkomitmen menyempurnakan sistem pajak secara dinamis mengikuti perkembangan zaman.

Refleksi Akhir

Menilik perjalanan sejarah kebijakan pajak Indonesia dari masa kolonial hingga era digital saat ini, tampak jelas bahwa pajak selalu menjadi elemen krusial dalam kehidupan bernegara. Di masa kolonial, pajak digunakan sebagai alat eksploitasi, menorehkan luka sejarah yang membuat rakyat alergi terhadap pajak. Pasca kemerdekaan, tantangan terbesar adalah membangun kepercayaan dan sistem yang adil, tentunya ini merupakan tugas yang memakan waktu puluhan tahun. 

Reformasi pajak 1983 muncul sebagai titik balik, mengubah paradigma pemungutan pajak dan menegaskan pajak sebagai instrumen pembangunan nasional. Hasilnya bisa kita rasakan: sekarang pajak menyumbang mayoritas pendapatan negara dan membiayai berbagai program pembangunan dari kota hingga pelosok. Memasuki era digital, kebijakan pajak Indonesia kembali beradaptasi, memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan kepatuhan dan layanan, serta merespon fenomena ekonomi baru. Tentu saja, proses transformasi ini belum selesai. Tantangan ke depan meliputi meningkatkan literasi pajak masyarakat, menyeimbangkan kemudahan digital dengan keamanan data, serta terus memperbarui regulasi agar sejalan dengan dinamika ekonomi global. 

Dengan belajar dari sejarah, baik sukses maupun kegagalannya, Indonesia dapat merancang kebijakan pajak yang lebih edukatif, berkeadilan, dan berkelanjutan. Melalui pajak yang dikelola dengan baik, cita-cita pembangunan untuk kesejahteraan rakyat dapat terwujud, sesuai semangat konstitusi bahwa pajak dipungut untuk sebesar-besarnya keperluan negara dan kemakmuran rakyat

Baca juga Berita dan Artikel Pajakku lainnya di Google News