Mengenal Perpajakan JKK, JKm, dan JHT

Salah satu jenis pajak yang umum didengar tentunya adalah PPh Pasal 21. PPh 21 ini dikenakan atas penghasilan dalam bentuk apapun yang sehubungan dengan pekerjaan, jabatan, jasa, serta kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi sebagai Subjek Pajak Dalam Negeri. Hal ini tentunya membuat perhitungan PPh 21 terdiri atas berbagai macam komponen.

Sejumlah komponen yang sering muncul dalam perhitungan PPh Pasal 21 adalah premi Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), premi Jaminan Kematian (JKm), serta Jaminan Hari Tua (JHT). Untuk JKK dan JKm merupakan salah satu komponen dari program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) yang diadakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan. 

 

Apa Itu Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK)?

Program JKK merupakan program yang memberikan perlindungan terhadap risiko-risiko kecelakaan yang terjadi dalam hubungan kerja. Definisi JKK berdasarkan pada Peraturan Pemerintah (PP) No. 44 tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program JKK dan JKm, JKK yaitu manfaat yang berupa santunan uang tunai maupun pelayanan kesehatan yang diberikan pada saat peserta atau pekerja mengalami kecelakaan kerja ataupun penyakit yang mana disebabkan oleh lingkungan kerja.

Program JKK ini memiliki tujuan untuk memberikan jaminan kepada peserta agar memperoleh manfaat yang berupa pelayanan kesehatan dan santunan uang tunai apabila pekerja tersebut mengalami kecelakaan kerja ataupun menderita penyakit akibat dari lingkungan kerja.

Dalam hal ini, termasuk juga kecelakaan yang terjadi ketika peserta dalam perjalanan dari rumah menuju ke tempat kerja maupun sebaliknya dan juga termasuk penyakit yang disebabkan oleh lingkungan kerja. Iuran jenis ini dibayarkan seluruhnya oleh pemberi kerja. Iuran program JKK ini merupakan iuran yang persentasenya lebih kecil jika dibanding iuran BPJS Ketenagakerjaan lainnya.

 

Jenis Iuran JKK

Secara lengkap, rincian untuk iuran JKK bagi peserta BPJS Ketenagakerjaan dibagi menjadi 4 jenis. Adapun, iuran yang dibayarkan pun berbeda-beda tergantung dari jenis penghasilan yang diterima. Jenis-jenis JKK tersebut antara lain:

  • Peserta Penerima Upah

Besarnya iuran JKK untuk peserta penerima upah berkisar antara 0,24% hingga 1,74% dari upah karyawan, yang mana persentasenya bergantung pada tingkat risiko pada lingkungan kerjanya, dimana tingkat besarannya untuk menentukan persentase iuran ini akan dievaluasi paling lama 2 tahun sekali. Adapun, tingkat risiko lingkungan kerja terbagi menjadi 5 bagian, yaitu:

  1. Tingkat risiko sangat rendah, dengan persentase tarif 0,24 % dari upah per bulan
  2. Tingkat risiko rendah, dengan persentase tarif 0,54 % dari upah per bulan
  3. Tingkat risiko sedang, dengan persentase tarif 0,89 % dari upah per bulan
  4. Tingkat risiko tinggi, dengan persentase tarif 1,27 % dari upah per bulan
  5. Tingkat risiko sangat tinggi, dengan persentase tarif 1,74 % dari upah per bulan.
  • Peserta Bukan Penerima Upah

Besaran iuran bagi peserta yang bukan merupakan penerima upah ditentukan berdasarkan pada penghasilan mereka. Adapun, iuran JKK ini berkisar mulai dari Rp10.000 untuk peserta yang menerima penghasilan sampai dengan Rp 1.099.000 sebulan, hingga iuran maksimal sebesar Rp207.000 bagi peserta yang menerima penghasilan Rp20,2 juta atau lebih dalam sebulannya.

  • Peserta yang Bekerja di Jasa Konstruksi

Besaran nominal iuran bagi peserta yang bekerja di jasa konstruksi yang mana iuran JKK akan dibayarkan oleh penyedia jasa secara bertahap ataupun sekaligus. Jika dibayarkan secara bertahap, iuran tahap pertama dibayarkan sebesar 50%, kemudian untuk iuran tahap kedua dan ketiga masing-masing akan dibayarkan sebesar 25%.

  • Peserta Migran

Iuran sebelum bekerja bagi peserta migran yaitu sebesar Rp37.500. Kemudian selama bekerja dan setelah bekerja, besaran iuran yang dibayarkan yaitu senilai Rp332.500 yang mana harus dibayar paling cepat 1 bulan sebelum keberangkatan. Total nominal sebesar Rp370.000 yang dibayarkan ini merupakan iuran untuk 31 bulan perlindungan JKK dan JKm.

Baca juga Pajak Sebelum dan Sesudah Menikah

 

Apa Itu Jaminan Kematian (JKm)?

Berdasarkan pada PP 44/2015, program Jaminan Kematian (JKm) merupakan program yang memberi manfaat berupa uang tunai, yang mana uang tunai ini nantinya akan diberikan kepada ahli waris ketika peserta program JKm meninggal dunia yang bukan diakibatkan dari kecelakaan kerja saat peserta masih dalam masa kerja maupun belum memasuki masa pensiun. Besaran iuran program JKm adalah yaitu sebesar 0,3% dari upah yang diterima karyawan per bulan.

JKm memberikan banyak manfaat kepada pekerja yang terdaftar, misalnya seperti santunan kematian yang berupa manfaat uang tunai kepada ahli waris ketika peserta meninggal dunia yang bukan karena kecelakaan kerja, termasuk juga biaya pemakaman, santunan berkala selama 24 bulan yang dibayar sekaligus, bantuan beasiswa pendidikan.

Untuk nilai manfaat yang didapatkan oleh peserta program JKm secara keseluruhan yaitu peserta akan memperoleh santunan senilai Rp42.000.000, yang diterima oleh ahli waris dengan rincian santunan berupa uang tunai yang dibayar sekaligus langsung sebesar Rp20.000.000; santunan berkala dalam kurun waktu 24 bulan sebesar Rp500.000 per bulannya yang dibayar sekaligus sehingga dengan total Rp12.000.000, kemudian untuk biaya pemakaman sebesar Rp10.000.000.

Selain itu, untuk bantuan berupa beasiswa pendidikan diberikan kepada dua orang anak dari peserta JKm yang meninggal dunia dengan masa iuran minimal selama 3 tahun, dimana nilai bantuan beasiswa pendidikan ini maksimal sebesar Rp174.000.000

 

Jenis Iuran JKm

Untuk iuran program JKm ini dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu:

  1. Iuran oleh Pekerja Penerima Upah, yaitu sebesar 0,3 % dari upah yang dilaporkan atau diterima karyawan
  2. Iuran oleh Pekerja Bukan Penerima Upah, yaitu sebesar Rp6.800.

Dari nilai iuran ini, dapat diketahui jika besaran iuran program JKK dan JKm berbeda, dimana nilai iuran untuk JKm adalah flat dan tidak dibeda-bedakan berdasarkan pada tingkatan risiko seperti pada JKK.

 

Perlakuan Pajak atas JKK dan JKm

Perlakuan pajak atas premi JKK serta JKm ini dapat berbeda-beda tergantung dari siapa yang menanggungnya, apakah pemberi kerja atau pegawai. Adapun, berdasarkan pada Pasal 4 ayat (1) huruf n dalam UU PPh, premi asuransi termasuk dalam objek pajak. Kemudian, dalam lampiran PER-16/2016 yang terkait dengan petunjuk umum perhitungan PPh 21 atas penghasilan, diatur bahwa bagi pegawai tetap yang premi JKK dan JKm dibayar oleh pemberi kerja, maka merupakan penghasilan bagi pegawai. 

Ketentuan ini juga sama berlaku terhadap asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan kerja, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, serta asuransi beasiswa yang mana dibayarkan oleh pemberi kerja untuk pegawainya kepada perusahaan-perusahaan asuransi lainnya. Dalam perhitungan PPh 21, premi JKK dan JKm yang dibayarkan pemberi kerja termasuk digabungkan dalam penghasilan bruto pegawai. Hal ini didukung sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 9 ayat (1) huruf d UU PPh, dimana pembayaran premi sebagaimana yang disebutkan di atas jika dibayarkan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi itu sendiri maka tidak boleh dibiayakan.

Namun, terdapat pengecualian apabila premi-premi tersebut dibayarkan oleh pemberi kerja dan atas premi yang didapat tersebut akan menambah penghasilan yang diterima Wajib Pajak. Hal ini termasuk premi JKK dan JKm yang dibayar pemberi kerja atau ditanggung perusahaan merupakan tambahan penghasilan bagi Wajib Pajak tersebut. Dengan kata lain, premi yang dibayar oleh perusahaan akan menambah penghasilan bruto pegawai dan dapat diperhitungkan menjadi biaya fiskal perusahaan.

Kemudian pada Pasal 4 ayat (3) huruf e UU PPh, dijelaskan bahwa pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi yang merupakan sehubungan dengan asuransi kecelakaan, asuransi kesehatan, asuransi dwiguna, asuransi jiwa, dan asuransi beasiswa dikecualikan dari objek pajak. Maka dari itu, jika seorang pegawai mengklaim serta menerima manfaat dari premi-premi tersebut, maka penerimaan manfaat tersebut bukan merupakan objek PPh Pasal 21.

Baca juga Mengenal Faktur Pajak Prepopulated

 

Apa Itu JHT? 

Ketentuan yang menjadi dasar hukum terkait JHT yaitu tercantum dalam PP 46/2015 yang mana terbaru diubah dalam PP 60/2015 serta Permenaker 2/2022. Kemudian atas kewajiban perpajakan dari JHT yaitu PMK No. 16/2010. Sesuai dengan Permenaker 2/2022, yang dimaksud dengan Jaminan Hari Tua (JHT) yaitu manfaat atas uang tunai yang mana dibayarkan secara sekaligus saat peserta JHT memasuki masa pensiun, meninggal dunia, ataupun ketika peserta mengalami cacat total tetap.

Peserta yang dimaksud disini yaitu setiap orang termasuk juga orang asing yang bekerja pada perusahaan di Indonesia paling singkat 6 bulan yang telah membayar iuran. JHT ini berbeda dengan JKK dan JKm, dimana jika JKK dan JKm dibayar oleh perusahaan dianggap sebagai penambah penghasilan bruto sebulan, JHT justru sebaliknya yang mana merupakan pengurang dari penghasilan bruto sebulan.

Sementara itu dalam PMK 16/2010, JHT disebut sebagai penghasilan yang dibayarkan sekaligus oleh BPJS Ketenagakerjaan kepada orang pribadi yang memiliki hak dalam jangka waktu yang telah ditentukan maupun atas keadaan lainnya yang telah ditentukan. Adapun, BPJS ketenagakerjaan merupakan suatu badan hukum publik yang pembentukannya berdasarkan pada UU No. 24 Tahun 2011.

Manfaat dari JHT ini akan diberikan kepada peserta pada ketika peserta mencapai usia pensiun, saat mengalami cacat total tetap, ataupun ketika meninggal dunia. Untuk usia pensiun berdasarkan pada Permenaker 2/2022 yaitu ketika peserta berusia 56 tahun. Untuk manfaat JHT bagi peserta JHT yang mengalami cacat total yaitu manfaat JHT akan diberikan kepada peserta yang bersangkutan sebelum mencapai usia pensiun, yang mana mekanisme atas penetapan cacat total tetap ini dilakukan dengan berdasarkan pada peraturan perundang-undangan.

Kemudian, untuk manfaat JHT bagi peserta yang meninggal dunia, atas pencairan manfaat JHT akan diberikan kepada ahli warisnya. Ahli waris yang dimaksud disini meliputi duda, janda, maupun anak dari peserta. Akan tetap jika tidak terdapat duda, janda, maupun anak peserta, maka atas manfaat JGT akan diberikan sesuai dengan urutan yaitu keturunan sedarah dari peserta berdasarkan pada garis lurus ke atas serta kebawah hingga derajat kedua, saudara kandung, mertua, serta pihak lain yang oleh peserta ditunjuk dalam wasiatnya.

 

Perlakuan Pajak atas JHT

Secara umum, ketentuan PPh atas JHT yang diterima peserta terbagi menjadi 2 hal, yaitu:

  • Pajak atas JHT yang Dibayarkan Sekaligus 

Merujuk pada PMK 16/2010, penghasilan yang berupa uang JHT dianggap akan dibayarkan sekaligus jika sebagian ataupun seluruh pembayaran dilakukan dalam kurun waktu paling lama yaitu selama 2 tahun kalender. JHT yang dibayarkan sekaligus ini terutang PPh 21 yang sifatnya final. Adapun, tarif PPh 21 yang dikenakan yaitu sebesar 0% terhadap penghasilan bruto hingga Rp50.000.000, dan akan dikenakan tarif sebesar 5% untuk yang mendapatkan penghasilan bruto di atas Rp50.000.000.

  • Pajak atas JHT yang Dibayarkan Bertahap

Berdasarkan pada PMK 16/2010, pembayaran bertahap dalam JHT merupakan bagian dari penghasilan JHT yang terutang atau yang dibayarkan pada tahun ketiga serta tahun-tahun berikutnya. Adapun, atas JHT yang dibayarkan pada tahun ketiga dan tahun seterusnya (secara bertahap) tersebut akan dikenakan dan terutang PPh 21 yang sifatnya tidak final, dimana tarifnya menggunakan tarif progresif pada Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh dimana pembaharuannya telah diatur dalam Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).