Industri Hasil Tembakau (IHT) adalah sektor padat karya dengan rantai nilai dari tembakau, cengkeh, hingga manufaktur rokok. Pelemahan permintaan dan penyesuaian produksi berdampak langsung pada tenaga linting dan pekerja di hilir, tercermin dari isu pemutusan hubungan kerja (PHK) yang sedang terjadi.
Data & Tren Kinerja 2025
- Output industri: kontraksi -3,77% yoy (Q1/2025), berbalik dari +7,63% yoy (Q1/2024).
- Produksi: 142,6 miliar batang (H1/2025; -2,5% yoy). Juni 2025: 24,8 miliar batang (-5,7% mom; -3,2% yoy).
- Pita cukai: pembelian melemah -14,6% yoy (2023), -13,8% yoy (Jan 2024); indikasi lesu berlanjut 2025.
- Penerimaan Cukai Hasil Tembakau (CHT): target Rp230,9 T (2025) berisiko tidak tercapai; realisasi Rp87 T per Mei 2025 (37,8%). Tren shortfall juga terjadi 2023–2024.
Implikasi fiskal: Bila tren berlanjut, ketergantungan APBN pada cukai melemah, mendorong pemerintah mengevaluasi kebijakan tarif dan penegakan hukum rokok ilegal.
Mengapa Industri Rokok Terus Menurun?
Untuk memahami akar masalah, berikut rangkaian faktor yang saling terkait dan menekan volume serta tenaga kerja.
1) Kenaikan Tarif CHT Beruntun
Kenaikan cukai hasil tembakau beberapa tahun terakhir menekan biaya produksi dan harga jual. Beban harga mendorong turunnya permintaan, terutama pada segmen price-sensitive (SKT/produk menengah-bawah). Isu kenaikan yang berulang setiap tahun menciptakan ketidakpastian sehingga pabrikan menahan ekspansi dan merapikan lini produksi.
2) Maraknya Rokok Ilegal
Pelaku industri menilai perdagangan rokok ilegal meningkat ketika tarif cukai naik tajam. Produk ilegal menghindari pungutan, sehingga harga jauh lebih murah dan memicu persaingan tidak sehat. Akibatnya, pabrikan legal kehilangan pangsa pasar meski harus tetap menanggung biaya kepatuhan.
Baca Juga: Mengapa Penerapan Cukai Minuman Manis (MBDK) Terus Ditunda?
3) Daya Beli Melemah
Pelemahan ekonomi lokal dan tekanan biaya hidup menggerus daya beli. Konsumen mengurangi frekuensi atau beralih ke kelas harga lebih murah, menekan volume dan margins perusahaan. Di lapangan, dampaknya terlihat pada penyesuaian tenaga kerja (PHK/kontrak tidak diperpanjang/efisiensi shift).
4) Produktivitas & Penyesuaian Kapasitas
Seiring permintaan melemah, pabrik menormalisasi output, merelokasi lini, dan mengefisienkan unit padat karya. Pabrik yang dulu menyerap ribuan pekerja kini bertahan dengan ratusan; sebagian menutup operasi karena biaya produksi tak lagi tertutup arus kas.
Dampak Tenaga Kerja & Rantai Pasok
- PHK & pengurangan jam kerja pada unit linting/packaging.
- UMKM pemasok (kertas, filter, kemasan) ikut terdampak.
- Petani tembakau/cengkeh menghadapi harga lelang yang lebih fluktuatif akibat permintaan pabrikan menurun.
Konsekuensi Fiskal & Persaingan Usaha
Dari perspektif negara dan pasar, muncul efek domino pada ruang fiskal serta struktur persaingan, salah satunya
- Shortfall CHT mengurangi ruang fiskal dan menekan target APBN. Pemerintah perlu menjaga keseimbangan antara tujuan kesehatan publik dan keberlanjutan industri.
- Rokok ilegal memperlebar kesenjangan penerimaan dan merusak level playing field. Tanpa penegakan tegas, produsen patuh semakin tertekan.
Opsi Solusi Kebijakan (Policy Mix)
Sebagai respons yang berimbang, opsi berikut menyasar sisi tarif, penegakan, dan transisi tenaga kerja agar guncangan sosial dapat diminimalkan.
- Roadmap kenaikan cukai yang terstruktur: kenaikan bertahap & terukur, memberi kepastian bagi industri/tenaga kerja.
- Penegakan rokok ilegal end‑to‑end: operasi gabungan, tracking pita cukai berbasis digital, sanksi tegas terhadap produsen/distributor ilegal.
- Dukungan transisi tenaga kerja: reskilling/upskilling pekerja linting, insentif diversifikasi produk (misal perluasan lini legal yang patuh regulasi), dan padat karya alternatif di industri rokok.
- Manajemen pasokan tembakau: kemitraan pabrikan dan petani untuk stabilisasi serap dan kualitas bahan baku.
- Transparansi data produksi, pita cukai, realisasi CHT untuk akuntabilitas publik dan pengambilan kebijakan berbasis bukti.
Baca Juga: Pajak Pejabat Negara Ditanggung Pemerintah (DTP), Dari Mana Sumbernya?
Ringkasan Utama
- Industri rokok atau industri hasil tembakau (IHT) sedang tertekan. Isu PHK ribuan buruh di salah satu pabrik besar di Tuban, Jawa Timur memicu kekhawatiran publik, dengan alasan berakhirnya kontrak outsourcing hingga efisiensi operasi.
- Data 2025 menunjukkan pelemahan: BPS mencatat kontraksi -3,77% yoy di kuartal I/2025 pada industri pengolahan tembakau (kontras dengan +7,63% pada periode sama tahun lalu). Produksi semester I/2025 turun ke 142,6 miliar batang (-2,5% yoy), level terendah sejak 2018 (kecuali 2023). Juni 2025 hanya 24,8 miliar batang (-5,7% mom; -3,2% yoy).
- Target Cukai Hasil Tembakau (CHT) 2025 Rp230,9 triliun terancam meleset: realisasi per Mei 2025 Rp87 triliun (37,8%). Tren sebelumnya juga meleset: 2023 realisasi Rp213,48 T (91,78%) dari target Rp232,5 T; 2024 realisasi Rp216,9 T (94,1%) dari target Rp230,4 T.
- Faktor penekan: kenaikan tarif cukai berturut-turut, maraknya rokok ilegal, daya beli melemah, dan ketidakpastian kebijakan (isu kenaikan tahunan) yang menahan produksi serta pembelian pita cukai (turun 14,6% yoy di 2023; -13,8% yoy pada Jan 2024; berpotensi melemah lagi 2025).
FAQ
- Apakah PHK hanya terjadi di pabrik besar? Tidak. Pabrik menengah hingga kecil dan pemasok juga terdampak ketika volume turun.
- Apakah menurunnya produksi selalu karena cukai? Bukan faktor tunggal. Kombinasi tarif, rokok ilegal, dan daya beli berperan besar pada 2023–2025.
- Apakah solusi utama adalah menurunkan cukai? Fokusnya penegakan ilegal dan roadmap tarif yang stabil agar industri dapat menyesuaikan tanpa gejolak besar pada tenaga kerja.
Penurunan berkelanjutan di IHT 2025 tercermin pada kontraksi output, turunnya produksi, dan shortfall CHT, yang berujung pada PHK di berbagai daerah sentra rokok. Jalan keluarnya menuntut kebijakan cukai yang berimbang, pemberantasan rokok ilegal, serta program transisi tenaga kerja agar stabilitas sosial‑ekonomi daerah tetap terjaga.









