Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menegaskan bahwa Indonesia mendukung Konvensi Kerja Sama Perpajakan Global dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau United Nations Framework Convention on International Tax Cooperation (UNFCITC) yang kini tengah dibahas.
Dalam forum tersebut, disepakati tiga alur kerja (workstream). Pertama, membahas kerangka konvensi yang menitikberatkan pada isu penghindaran pajak, aliran keuangan gelap (illicit financial flows), dan pertukaran informasi.
Kedua, menyangkut pemajakan aktivitas ekonomi jasa. Ketiga, terkait pencegahan serta penyelesaian sengketa pajak antarnegara. Dari keseluruhan workstream, Direktur Perpajakan Internasional DJP, Mekar Satria Utama, menjelaskan bahwa salah satu isu penting berada pada Workstream 2.
Isu penting yang dimaksud menyangkut pemajakan perusahaan jasa multinasional. Menurut Mekar, terdapat perbedaan pendekatan pengenaan pajak antara negara maju dan negara berkembang.
Negara-negara maju cenderung memilih dasar pemajakan dari laba bersih (net income). Sedangkan, Indonesia dan sejumlah negara berkembang lebih memilih pungutan dari omzet atau pendapatan kotor (gross income).
“[Perbedaan] itu kami sampaikan. Ini masih sirkulasi, pembahasan-pembahasan saja,” ujar Mekar, dikutip dari Bisnis.com, Rabu (1/10/2025).
Perbedaan ini mencerminkan bukan hanya soal teknis, melainkan juga perbedaan kapasitas fiskal dan kelembagaan antara negara maju dan berkembang. Berikut pembahasan selengkapnya yang dilansir dari studi berjudul Comparative Analysis of Tax System Effectiveness in Developed and Developing Countries (2023):
Baca Juga: Kerja di Luar Negeri Tetap Kena PPh atau Tidak? Begini Penjelasannya
Pajak Neto di Negara Maju
Negara maju mengandalkan pajak penghasilan berdasarkan laba bersih yang sudah dikurangi biaya operasional, penyusutan, dan pengeluaran lain. Sistem ini dinilai lebih adil karena perusahaan hanya membayar pajak ketika benar-benar mencatat keuntungan.
Faktor yang mendukung penerapan pajak neto di negara maju, antara lain:
- Administrasi pajak yang kuat dan modern.
- Tingkat transparansi laporan keuangan yang tinggi.
- Sistem audit dan pengawasan yang ketat.
- Tujuan untuk menjaga keadilan sosial melalui sistem progresif.
Pajak Bruto di Negara Berkembang
Di sisi lain, negara berkembang seperti Indonesia lebih sering menggunakan dasar pungutan dari bruto atau omzet. Artinya, pajak dikenakan langsung pada total pendapatan perusahaan, tanpa mempertimbangkan biaya operasional atau laba bersih.
Ada beberapa alasan mengapa pilihan ini diambil:
- Kapasitas administrasi pajak masih terbatas.
- Banyak pelaku usaha, khususnya UMKM, tidak memiliki laporan keuangan yang rapi.
- Risiko manipulasi laba bersih cukup tinggi karena pengawasan lemah.
- Negara membutuhkan kepastian penerimaan pajak meskipun perusahaan belum tentu untung.
Dampak Perbedaan Sistem
Perbedaan basis pungutan pajak ini memperlihatkan dua orientasi yang berbeda. Negara maju lebih menekankan keadilan dan proporsionalitas, sementara negara berkembang lebih mengutamakan kepastian penerimaan dan kemudahan administrasi.
Pengenaan pajak dari laba bersih memberi ruang bagi dunia usaha untuk bertumbuh tanpa beban berlebihan, tetapi membutuhkan sistem administrasi dan pengawasan yang canggih.
Sebaliknya, pajak dari omzet memang lebih praktis dan memberikan kepastian penerimaan negara, namun berpotensi tidak adil bagi usaha kecil yang marginnya tipis atau sedang merugi.
Baca Juga: Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN): Kriteria dan Perlakuan Pajak
FAQ Seputar Perbedaan Pengenaan Pajak
1. Apa bedanya pajak neto dan pajak bruto?
Pajak neto dikenakan berdasarkan laba bersih setelah dikurangi biaya operasional, sedangkan pajak bruto dikenakan langsung dari total pendapatan tanpa memperhitungkan biaya.
2. Mengapa negara berkembang lebih sering menggunakan pajak bruto?
Karena kapasitas administrasi pajak terbatas, banyak UMKM belum memiliki laporan keuangan rapi, dan negara membutuhkan kepastian penerimaan pajak.
3. Apakah pajak neto lebih adil dibanding pajak bruto?
Secara prinsip, pajak neto lebih adil karena perusahaan hanya membayar pajak saat memperoleh laba. Pajak bruto bisa memberatkan usaha kecil atau perusahaan yang sedang merugi.
4. Bagaimana Indonesia menyesuaikan diri dengan standar internasional?
Indonesia mendukung UNFCITC dan berupaya memperkuat administrasi pajak, meningkatkan transparansi, dan memperluas basis pajak agar bisa mengadopsi sistem pajak neto secara lebih luas.
5. Apa dampak pajak bruto bagi UMKM?
UMKM dengan margin tipis atau sedang merugi tetap harus membayar pajak dari omzet, sehingga beban pajak bisa terasa lebih berat dibanding pajak neto.









