Kebijakan Global yang Diinisiasi oleh OECD/G20
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) terus mematangkan persiapan untuk menerapkan kebijakan pajak minimum global yang diinisiasi oleh OECD/G20 Inclusive Framework. Dua skema utama yang menjadi fokus adalah Pilar 1 dan Pilar 2. Kepala Seksi Perjanjian dan Kerjasama Perpajakan Internasional III DJP, Ibnu Wijaya, memaparkan rencana penerapan aturan ini pada sebuah forum yang diadakan pada Sabtu, 16 November 2024.
Menurut Ibnu, aturan Qualified Domestic Minimum Top-up Tax (QDMTT) dan Income Inclusion Rule (IRR) di bawah Pilar 2, direncanakan mulai berlaku pada 1 Januari 2025. Sementara itu, skema Undertaxed Payment Rule (UTPR) diproyeksikan baru akan diimplementasikan pada 2026. Namun, ia menekankan bahwa rencana tersebut masih berada pada tahap penyusunan dan penerbitan draft. Sehingga, meskipun pemerintah menargetkan implementasi awal 2025, potensi penundaan masih bisa terjadi bergantung pada perkembangan yang ada.
Baca juga: Strategi Penanganan Pajak di Sektor Digital: Bagaimana Indonesia Beradaptasi dengan OECD’s BEPS 2.0?
Tantangan Implementasi Skema STTR
Selain Pilar 1 dan Pilar 2, pemerintah Indonesia juga berencana untuk meratifikasi Subject to Tax Rule Multilateral Convention (STTR MLC) pada tahun depan. Ibnu menjelaskan bahwa aturan ini memerlukan persiapan matang sebelum pelaksanaannya. Salah satu tantangan yang dihadapi adalah minimnya negara yang telah menandatangani kesepakatan STTR. Hingga saat ini, baru sembilan negara yang ikut menandatangani, jauh lebih rendah dibandingkan Multilateral Instrument (MLI) BEPS yang pada 2017 telah disetujui oleh 69 negara. Kondisi ini menimbulkan ketidakpastian terkait efektivitas penerapan STTR di masa mendatang.
Mekanisme QDMTT dan IRR dalam Pilar 2
QDMTT merupakan aturan pajak minimum domestik yang bertujuan agar yurisdiksi di mana penghasilan tersebut diperoleh dapat mengenakan pajak terlebih dahulu sebelum negara domisili perusahaan multinasional tersebut menerapkan pajak tambahan (top-up tax). Hal ini diharapkan dapat mencegah penghindaran pajak oleh perusahaan yang memanfaatkan perbedaan tarif pajak antar negara. Dengan penerapan QDMTT, Indonesia sebagai negara sumber memiliki hak untuk menarik pajak penghasilan (PPh) dari entitas yang kurang dipajaki sebelum negara asal perusahaan melakukan penarikan pajak tambahan.
Sementara itu, IRR bertujuan untuk memastikan bahwa perusahaan multinasional harus menarik penghasilan yang dihasilkan dari anak perusahaan di luar negeri ke negara domisili mereka, guna memastikan penghasilan tersebut dikenakan pajak yang sesuai dengan tarif pajak minimum global.
Pilar 1: Menjawab Tantangan Ekonomi Digital
Selain Pilar 2, pemerintah Indonesia juga sedang mempertimbangkan kebijakan terkait Pilar 1. Pilar ini terutama ditujukan untuk mengatur pengenaan pajak atas aktivitas ekonomi digital yang semakin berkembang, termasuk layanan elektronik dan platform digital. Dalam Pilar 1, dua konsep yang menjadi sorotan adalah Amount A dan Amount B, yang masing-masing mengatur alokasi hak pemajakan dan standardisasi penghasilan yang diperoleh melalui kegiatan digital lintas negara.
Ibnu juga menyinggung kemungkinan penerapan Digital Services Tax (DST) sebagai langkah tambahan untuk mengoptimalkan penerimaan pajak dari aktivitas ekonomi digital yang terus berkembang pesat di Indonesia. Namun, hal ini masih berada pada tahap kajian dan belum dipastikan kapan akan diimplementasikan.
Dampak Kebijakan Pajak Minimum Global Bagi Indonesia
Implementasi dua skema pajak minimum global ini diyakini dapat memberikan dampak signifikan bagi Indonesia, baik dari sisi peningkatan penerimaan negara maupun dalam mencegah penghindaran pajak oleh perusahaan multinasional. Dengan menerapkan QDMTT dan IRR, Indonesia diharapkan dapat memanfaatkan potensi pajak yang selama ini hilang karena praktik pengalihan keuntungan (profit shifting) oleh perusahaan-perusahaan besar.
Penerapan kebijakan ini juga mencerminkan komitmen Indonesia untuk turut serta dalam inisiatif global yang bertujuan menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil dan berkelanjutan. Namun, tantangan implementasi tetap ada, terutama dalam hal persiapan regulasi dan kesiapan sistem administrasi perpajakan domestik.
Baca juga: Cegah Penghindaran Pajak Korporasi, OECD Sarankan Indonesia Pakai Pemeriksaan Silang Biaya Operasional
Prospek dan Tantangan ke Depan
Di sisi lain, meskipun ada potensi manfaat yang besar, Ibnu mengingatkan bahwa penerapan aturan ini bukan tanpa tantangan. Proses penyusunan regulasi yang masih berjalan dan dinamika kerja sama internasional yang belum sepenuhnya solid, menjadi faktor yang dapat memengaruhi kelancaran implementasi kebijakan pajak minimum global ini.
Dalam konteks STTR, misalnya, rendahnya jumlah negara yang menandatangani perjanjian menjadi salah satu indikator bahwa masih ada keraguan dari berbagai yurisdiksi mengenai efektivitas aturan ini. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia perlu bekerja lebih keras dalam diplomasi pajak internasional untuk mendorong lebih banyak negara bergabung dalam kesepakatan ini.
Menuju Sistem Pajak yang Lebih Adil
Secara keseluruhan, langkah Indonesia untuk menerapkan skema QDMTT, IRR, dan STTR merupakan upaya penting dalam meningkatkan keadilan sistem perpajakan global. Namun, keberhasilan implementasi akan sangat tergantung pada persiapan regulasi, infrastruktur pajak, serta dukungan dari para pemangku kepentingan baik di tingkat nasional maupun internasional.
Pemerintah diharapkan terus melakukan sosialisasi dan persiapan teknis yang memadai agar kebijakan ini dapat berjalan dengan lancar dan efektif. Dengan demikian, Indonesia tidak hanya mampu meningkatkan penerimaan pajak, tetapi juga memperkuat posisinya dalam tatanan perpajakan internasional.









