Pajak merupakan suatu iuran wajib kepada negara oleh warga negara dalam hal kepentingan umum yang bersifat memaksa. Warga negara memang tidak bisa merasakan secara langsung manfaat dari membayar pajak, namun salah satunya bisa kita rasakan dalam rangka pembangunan yang dilakukan oleh negara dimana hal tersebut salah satunya merupakan hasil dari penerimaan negara dari sector pajak.
Jenis pajak yang dikenal di Indonesia antara lain yaitu Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Penghasilan yang diterima dan diperoleh oleh orang pribadi atau badan dalam suatu tahun pajak akan dikenakan pajak yang disebut dengan Pajak Penghasilan atau disebut dengan PPh.
Penghasilan tersebut dapat berbentuk gaji, hadiah, keuntungan usaha, honorarium, ataupun penghasilan lainnya. Jenis-jenis Pajak Penghasilan (PPh) yang dikenal di Indonesia antara lain yaitu PPh Pasal 23, PPh Pasal 21, PPh Pasal 4 ayat 2, PPh Pasal 15, PPh Pasal 26, PPh Pasal 24, PPh Pasal 4 ayat 2 dan PPh Pasal 29.
Transaksi yang dilakukan antara pihak yang memberikan penghasilan dengan pihak yang menerima penghasilan akan mengakibatkan adanya Pajak Penghasilah yang akan dikenakan kepada penerima penghasilan sedangkan yang akan memotong dan melaporkannya adalah pihak yang memberikan penghasilan. Pajak Penghasilan yang dikenakan atas royalty, sewa, jasa, hadiah, dan bunga selain yang sudah dipotong PPh Pasal 21 disebut dengan PPh Pasal 23.
Dalam hal melakukan pelaporan tersebut pihak yang memberikan penghasilan perlu membuat bukti pemotongan (bupot). Bukti Pemotongan atau biasa disebut Bupot yaitu formulir atau dokumen lain yang dibuat serta digunakan oleh pemotong pajak sebagai bukti bahwa telah melakukan pemotongan pajak penghasilan. Berkat kemajuan teknologi, kini bukti potong tidak lagi berbentuk kertas, namun sudah beralih menjadi bukti potong elektronik yg dikenal dengan e-Bupot.
Baca juga Apa Itu Pemungut Pajak?
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menyediakan aplikasi e-Bupot PPh Pasal 23/26 dalam rangka mendukung wajib pajak untuk digunakan membuat bukti potong dan memudahkan pelaporan pajak untuk SPT Masa PPh 23/26 dengan wujud dokumen elektronik dan tersimpan pada sistem Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
e-Bupot bisa digunakan untuk membuat Bukti Pemotongan, membuat dan melaporkan SPT Masa PPh Pasal 23/26 dalam bentuk dokumen elektronik. Aplikasi e-Bupot disediakan pada situs resmi Direktorat Jenderal Pajak atau aplikasi penyedia jasa yang telah ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
Sejak diterbitkannya Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-04/PJ/2017 Tentang Bentuk, Isi, Tata Cara Pengisian dan Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 23 dan/atau Pasal 26 serta Bentuk Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 dan/atau Pasal 26, Direktorat Jenderal Pajak mengatur tentang wajib pajak bagi WP PKP dan Non-PKP wajib menggunakan e-Bupot. Dimulai dari diterbitkannya peraturan tersebut, e-Bupot sudah mengalami beberapa tahapan implementasi, yaitu:
- Tahap I : Dimulai masa pajak September 2017 terbatas pada 15 perusahaaan
- Tahap II : Dimulai dari masa pajak Juli 2018 dengan jumlah PKP sebanyak 153 perusahaan
- Tahap III : Dimulai dari masa pajak Mei 2019 dengan jumlah PKP 1.745
- Tahap IV : Dimulai dari masa pajak Oktober 2019 yang berlaku bagi PKP yang terdaftar di beberapa KPP sesuai KEP-599/PJ/2019
- Tahap V : Dimulai dari masa pajak Desember 2019 yang berlaku bagi PKP yang terdaftar di beberapa KPP sesuai KEP-652/PJ/2019
- Tahap VI : Dimulai dari masa pajak Agustus 2020 untuk semua wajib pajak yang berstatus pengusaha kena pajak (PKP)
- Tahap VII : Dimulai dari masa pajak September 2020 untuk semua wajib pajak
Pada tahap VII, semua wajib pajak yang melakukan pemotongan atas PPh Pasal 23 dan/atau 26 mulai masa pajak September 2020 wajib menggunakan aplikasi e-Bupot dalam hal melakukan pembuatan bukti pemotongan dan pelaporan SPT Masa PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26 yang diatur pada Keputusan Dirjen Pajak (Kepdirjen) Nomor KEP-368/PJ/2020.
Wajib pajak yang wajib menggunakan e-Bupot PPh Pasal 23/26 harus memenuhi beberapa syarat sebelum dapat menggunakan e-Bupot. Adapun, syarat yang harus dimiliki wajib pajak dalam menggunakan e-Bupot antara lain:
- Dalam 1 (satu) masa pajak, wajib pajak tersebut menerbitkan lebih dari 20 (dua puluh) Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26
- Dasar pengenaan Pajak Penghasilan yang berupa jumlah penghasilan bruto lebih dari Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dalam satu Bukti Pemotongan
- Wajib pajak sudah pernah melakukan pelaporan SPT dalam bentuk elektronik
- Memiliki sertifikat elektronik yang masih berlaku.
Baca juga Apa Itu PPh Pasal 22?
Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-04/PJ/2017, pembuatan bukti potong harus memenuhi kriteria bukti potong yang benar, yaitu:
- Nomor bukti pemotongan terdiri dari 10 digit, untuk 2 digit pertama berisi kode bukti pemotongan dan 8 digit kedua berisi Nomor Urut Bukti Pemotongan yang diterbitkan
- Nomor Bukti Pemotongan sudah dibuat dan dihasilkan oleh sistem
- Nomor tidak berubah apabila terjadi pembetulan/pembatalan
- Nomor bukti pemotongan dibuat untuk per NPWP.
Dalam hal membuat bukti potong, ada sejumlah informasi yang harus tercantum dalam bukti potong yang dibuat, antara lain:
- Berisi NPWP atau NIK (Nomor Induk Kependudukan) apabila pihak yang dipotong tidak mempunyai NPWP
- Surat Keterangan Domisili memiliki keterangan yang jelas di tanggal pengesahannya
- Surat Keterangan Bebas harus berisi nomor dan tanggal yang jelas
- Terdapat tanda tangan elektronik yang ada pada Digital Certificate (DC) saat sudah resmi menggunakan e-Bupot
- Setiap satu Bukti Pemotongan berlaku untuk satu wajib pajak, satu kode objek pajak, dan satu Masa Pajak.
Apabila bukti pemotongan sudah terbentuk, maka selanjutnya yaitu membuat kode billing atas jumlah terutang dari bukti potong tersebut yang dibayarkan paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir. Pembayaran dapat dilakukan melalui Bank Persepsi yang di telah ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
Setelah pembayaran berhasil dilakukan maka selanjutnya Bukti Peyetoran yang diperoleh harus di input pada Aplikasi e-Bupot PPh Pasal 23/26. Setelah semua data terinput pastikan sudah mencantumkan data penandatangan pada SPT Induk sebelum melakukan pelaporan pada e-Bupot PPh Pasal 23/26. Apabila pelaporan telah selesai, maka akan mendapat Bukti Penerimaan Elektronik (BPE) sebagai bukti bahwa pelaporan tersebut sudah terlapor dan tersampaikan ke DJP.
Dalam hal meningkatkan kepatuhan perpajakan di Indonesia, mulai tahun 2022 melalui Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2021 Tentang Bentuk dan Tata Cara Pembuatan Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi Serta Bentuk, Isi, Tata Cara Pengisian, dan Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
Dimana diwajibkan seluruh wajib pajak melaporkan kewajiban perpajakannya menggunakan SPT Unifikasi dimana SPT Unifikasi tidak hanya untuk pelaporan SPT Masa PPh Pasal 23/26 saja, namun mencakup PPh Pasal 23/26, Pasal 4 Ayat 2, Pasal 15 dan Pasal 22, dimana kemudian e-Bupot Unifikasi menggantikan aplikasi e-Bupot PPh Pasal 23/26 yang mulai wajib untuk semua wajib pajak sejak pelaporan SPT Masa April tahun 2022.









