Kemenkeu Longgarkan Aturan Pajak Merger BUMN, Pembayaran Bisa Diangsur

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menegaskan upaya pemerintah untuk mengurangi hambatan fiskal dalam aksi korporasi badan usaha milik negara (BUMN), khususnya pada proses merger dan konsolidasi. Salah satu langkah yang ditempuh adalah memberikan fleksibilitas dalam pemenuhan kewajiban pajak atas capital gain yang timbul akibat penggabungan usaha. 

Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal Kemenkeu, Febrio Nathan Kacaribu, menyebutkan bahwa kewajiban pajak yang muncul dari selisih nilai aset kerap menjadi tantangan utama dalam proses merger BUMN. 

Capital Gain Jadi Tantangan Merger BUMN 

Dalam merger, aset perusahaan yang digabungkan umumnya mengalami penyesuaian nilai. Selisih antara nilai buku dan nilai pasar tersebut akan memicu capital gain yang menjadi objek Pajak Penghasilan (PPh). 

Beberapa tantangan yang kerap dihadapi BUMN, antara lain: 

  • Kenaikan nilai aset yang signifikan saat merger 
  • Kewajiban PPh yang harus dibayar sekaligus dalam satu tahun pajak 
  • Risiko terganggunya arus kas perusahaan 

“Yang sering menjadi hambatan itu capital gain tax-nya,” ujar Febrio, dikutip dari Kontan.co.id, Jumat (19/12/2025). 

Skema Pembayaran Pajak Lebih Fleksibel 

Untuk mengurangi beban tersebut, pemerintah pun menyediakan pengaturan melalui beleid terkait penggunaan nilai buku dalam merger, yakni PMK 52/2017 yang diperbarui melalui PMK 81/2024.  

Kebijakan ini bukan merupakan insentif pajak, melainkan pengaturan teknis agar pajak tetap dibayar sesuai ketentuan. Melalui pengaturan ini: 

  • Perusahaan dapat menggunakan nilai buku atas pengalihan aset 
  • Pajak tidak harus dibayar sekaligus pada tahun transaksi 
  • Pembayaran dapat dilakukan secara bertahap sesuai depresiasi aset 

Skema ini diharapkan dapat membantu perusahaan menjaga likuiditas pasca-merger tanpa mengabaikan kewajiban perpajakan. 

Baca Juga: Ramai Isu Merger GOTO dan Grab, Bagaimana Aspek Perpajakannya?

Pajak Merger di Era Coretax 

Implementasi sistem administrasi perpajakan terintegrasi Coretax membawa perubahan penting dalam pengawasan pajak merger. Seluruh proses pengalihan aset dan kewajiban perpajakan kini dapat dipantau secara lebih transparan dan akurat. 

Secara umum, pengalihan aset dalam merger menggunakan nilai pasar. Namun, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk menggunakan nilai buku, dengan ketentuan sebagai berikut: 

  • Merger dilakukan dengan tujuan bisnis yang jelas dan rasional 
  • Terdapat hubungan kepemilikan antara pihak yang mengalihkan dan menerima aset 
  • Perusahaan yang digabungkan tidak dalam kondisi pailit 

Penggunaan nilai buku memungkinkan penundaan pengenaan PPh atas selisih nilai aset, sehingga beban pajak tidak langsung menekan arus kas perusahaan. 

Perlakuan Rugi Fiskal dalam Merger 

Dalam merger, sisa rugi fiskal perusahaan yang digabungkan tidak otomatis dapat dimanfaatkan oleh perusahaan penerima. 

Ketentuan yang perlu diperhatikan: 

  • Rugi fiskal hanya dapat dikompensasikan jika DJP menyetujui penggunaan nilai buku 
  • Tanpa persetujuan tersebut, sisa rugi fiskal akan gugur 
  • Data kompensasi rugi fiskal akan diawasi melalui sistem Coretax 

Ketentuan PPN atas Pengalihan Aset 

Dari sisi Pajak Pertambahan Nilai (PPN), pengalihan aset dalam rangka merger dapat dikecualikan dari objek PPN dengan syarat tertentu, antara lain: 

  • Pengalihan dilakukan atas seluruh atau hampir seluruh aktiva 
  • Aktiva tersebut digunakan untuk menghasilkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak 
  • Pengalihan dilakukan dalam rangka penggabungan usaha 

Jika seluruh syarat terpenuhi, pengalihan aset tidak terutang PPN. 

Kewajiban Pajak Pasca-Merger 

Setelah proses merger selesai, perusahaan tetap harus menyelesaikan sejumlah kewajiban perpajakan administratif, di antaranya: 

  • Menyampaikan SPT Tahunan PPh dan SPT Masa PPN terakhir 
  • Mengajukan penghapusan NPWP dan status Pengusaha Kena Pajak (PKP) perusahaan yang digabungkan 
  • Mencatat aset hasil merger sesuai nilai yang disetujui DJP 

Di era Coretax, ketidaksesuaian data administratif akan lebih mudah terdeteksi sehingga kepatuhan menjadi kunci utama. 

Baca Juga: Pertamina Bubarkan Anak Perusahaan, Begini Kewajiban Perpajakan yang Harus Dijalankan

Perlakuan Pajak BUMN Tetap Setara 

Kemenkeu menegaskan bahwa tidak ada perlakuan pajak khusus bagi BUMN. Seluruh perusahaan, baik milik negara maupun swasta, diperlakukan setara sesuai ketentuan perpajakan yang berlaku. 

Pemerintah menyatakan siap mendukung proses konsolidasi sepanjang dilakukan untuk memperkuat kinerja dan menghasilkan nilai tambah yang lebih besar bagi perekonomian. 

FAQ Seputar Kelonggaran Pajak Merger BUMN 

1. Apa yang dimaksud kelonggaran pajak merger BUMN? 

Kelonggaran pajak merger BUMN adalah kebijakan pemerintah yang memberikan fleksibilitas pemenuhan kewajiban pajak, khususnya Pajak Penghasilan (PPh) atas capital gain, agar tidak dibayar sekaligus pada saat merger. 

2. Bagaimana skema pembayaran pajak merger BUMN yang dilonggarkan? 

Pajak merger BUMN dapat dibayarkan secara bertahap, seiring dengan proses depresiasi aset, sehingga tidak langsung membebani arus kas perusahaan pada tahun transaksi. 

3. Kapan perusahaan boleh menggunakan nilai buku dalam merger? 

Perusahaan dapat menggunakan nilai buku jika merger memiliki tujuan bisnis yang jelas, terdapat hubungan kepemilikan, dan mendapat persetujuan dari Direktorat Jenderal Pajak. 

4. Apakah pengalihan aset dalam merger dikenakan PPN? 

Pengalihan aset dalam merger dapat dikecualikan dari PPN jika dilakukan atas seluruh atau hampir seluruh aktiva yang digunakan untuk kegiatan usaha kena pajak. 

Baca Juga Berita dan Artikel Pajakku Lainnya di Google News