Isu merger antara PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO) dan Grab tengah ramai dibicarakan publik. Kabar penggabungan dua raksasa digital ini mencuat setelah Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi menyebut adanya pembahasan mengenai potensi merger antara keduanya.
Menurut Prasetyo, pemerintah juga membuka kemungkinan keterlibatan Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara (Danantara) dalam rencana tersebut. Meski begitu, belum ada penjelasan lebih lanjut mengenai bentuk peran Danantara maupun waktu pelaksanaan merger tersebut.
Pemerintah menegaskan, wacana merger ini tidak akan menciptakan monopoli. Justru, tujuannya untuk memastikan persaingan tetap sehat di industri transportasi digital yang telah menjadi tulang punggung ekonomi rakyat.
“Kita sadar bahwa para pengemudi ojek online adalah pahlawan ekonomi yang menggerakkan roda ekonomi nasional,” ujar Prasetyo.
Menanggapi kabar yang beredar, Direktur Legal dan Group Corporate Secretary GOTO, R. A. Koesoemohadiani, menegaskan bahwa hingga kini belum ada keputusan ataupun kesepakatan resmi terkait merger dengan Grab.
“Setiap langkah yang diambil GoTo akan senantiasa patuh terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi perusahaan publik,” jelasnya dalam keterangan resmi, dikutip Rabu (12/11/2025).
Ia juga menyampaikan bahwa GOTO mendukung langkah pemerintah memperkuat ekosistem digital nasional dan berkomitmen untuk menjalankan bisnis yang efisien, adil, dan berkelanjutan.
Meski masih sebatas wacana, isu merger dua perusahaan besar ini menimbulkan berbagai pertanyaan, termasuk soal implikasi perpajakan yang akan timbul jika proses tersebut benar-benar dilakukan.
Baca Juga: Bagaimana perlakuan pajak dalam Merger dan Akuisisi ?
Mengapa Aspek Pajak Penting Diperhatikan?
Dalam proses merger, aspek pajak menjadi faktor strategis yang menentukan efisiensi restrukturisasi. Tanpa perencanaan pajak yang tepat, merger bisa menimbulkan beban fiskal besar yang justru menghambat tujuan penggabungan usaha.
Oleh karena itu, perusahaan biasanya melakukan tax due diligence sebelum merger. Langkah ini bertujuan memastikan bahwa semua kewajiban pajak telah terpenuhi dan tidak menimbulkan risiko hukum atau administrasi di kemudian hari.
Aspek Perpajakan dalam Merger Perusahaan
Merger bukan hanya berdampak pada struktur bisnis dan kepemilikan perusahaan, tetapi juga menimbulkan konsekuensi di bidang perpajakan. Berdasarkan Undang-Undang Perseroan Terbatas (UU PT), merger berarti penggabungan satu atau lebih perusahaan ke dalam entitas lain.
Dalam proses ini, seluruh aset, kewajiban, dan hak hukum perusahaan yang melebur akan beralih kepada perusahaan penerima merger. Berikut beberapa aspek perpajakan yang perlu diperhatikan dalam proses merger:
1. Pajak Penghasilan (PPh)
Mengacu pada Pasal 10 ayat (3) UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, pengalihan harta akibat merger dinilai berdasarkan nilai pasar, kecuali jika Menteri Keuangan menetapkan lain. Artinya, selisih antara nilai pasar dan nilai buku dapat dikenakan PPh.
Namun, apabila perusahaan memenuhi syarat tertentu dan sesuai ketentuan SE-23/PJ.42/1999, pengalihan aset dapat dilakukan berdasarkan nilai buku fiskal, sehingga tidak menimbulkan pengenaan PPh.
2. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Sesuai Pasal 1A ayat (2) huruf d UU No. 42 Tahun 2009, pengalihan Barang Kena Pajak (BKP) dalam rangka merger atau restrukturisasi tidak dikenai PPN, asalkan dilakukan antara sesama Pengusaha Kena Pajak (PKP).
Namun, jika salah satu pihak bukan PKP, maka pengalihan tersebut tetap menjadi objek PPN. Selain itu, Pasal 9 ayat (14) UU yang sama mengatur bahwa Pajak Masukan yang belum dikreditkan oleh pihak pengalihan dapat dikreditkan oleh pihak penerima pengalihan, dengan catatan Pajak Masukan tersebut belum dibebankan sebagai biaya atau dikapitalisasi.
3. PPh Final dan BPHTB
Apabila pengalihan aset dalam merger mencakup tanah dan/atau bangunan, maka akan dikenakan:
- PPh Final sebesar 2,5%–5% atas nilai pengalihan (berdasarkan ketentuan terbaru), dan
- BPHTB sebesar 5% dari Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) setelah dikurangi NPOP Tidak Kena Pajak.
Perhitungan BPHTB dilakukan berdasarkan nilai tertinggi antara harga transaksi dan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).
Metode Pencatatan Transaksi Merger: Nilai Buku vs Harga Pasar
Dari perspektif perpajakan, terdapat dua metode pencatatan atas transaksi merger, yaitu berdasarkan nilai buku (book value) dan harga pasar (market value). Nilai buku sendiri bisa lebih menguntungkan jika ingin menunda atau menghindari pengenaan PPh atas revaluasi aset.
Hal ini diatur dalam Pasal 10 Ayat (3) UU PPh yang menyatakan bahwa nilai perolehan atau pengalihan harta dalam rangka penggabungan, peleburan, atau pengambilalihan usaha ditentukan berdasarkan harga pasar, kecuali jika ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan.
Dengan demikian, Menteri Keuangan memiliki kewenangan untuk mengizinkan penggunaan nilai buku sebagai dasar pencatatan, asalkan wajib pajak memenuhi syarat-syarat tertentu.
Baca Juga: Pemerintah akan Kaji Ulang Pajak Merger & Akuisisi, Ini Tanggapan BEI
Syarat Penggunaan Nilai Buku Berdasarkan PMK 81/2024
Menurut Pasal 392 dan Pasal 393 PMK No. 81 Tahun 2024, perusahaan yang ingin menggunakan metode nilai buku saat melakukan merger atau akuisisi harus memenuhi beberapa ketentuan, antara lain:
- Mengajukan permohonan ke Direktur Jenderal Pajak (DJP) paling lambat enam bulan setelah tanggal efektif merger atau akuisisi.
- Memenuhi persyaratan tujuan bisnis (business purpose test), yaitu bahwa penggabungan dilakukan untuk menciptakan sinergi usaha dan bukan untuk penghindaran pajak.
- Memenuhi persyaratan Surat Keterangan Fiskal (SKF), yang antara lain mencakup kepatuhan pelaporan SPT dan tidak memiliki tunggakan pajak yang belum diselesaikan.
Selain itu, terdapat beberapa ketentuan tambahan terkait kelanjutan kegiatan usaha dan kepemilikan aset:
- Kegiatan usaha pihak yang mengalihkan harta harus tetap berjalan hingga tanggal efektif merger.
- Kegiatan usaha penerima harta wajib berlanjut paling singkat 5 tahun setelah merger.
- Aset tetap hasil merger tidak boleh dialihkan selama 2 tahun, kecuali untuk alasan efisiensi perusahaan.
Ketentuan ini dibuat agar fasilitas penggunaan nilai buku hanya diberikan kepada perusahaan yang benar-benar melakukan penggabungan usaha untuk memperkuat kinerja, bukan sekadar untuk menghindari kewajiban pajak.
Wacana Revisi Aturan Pajak Merger
Di tengah meningkatnya aktivitas restrukturisasi dan merger perusahaan, Kementerian Keuangan sebelumnya sempat menyatakan rencana untuk menyesuaikan ketentuan perpajakan agar proses merger dan akuisisi dapat berjalan lebih mudah dan efisien.
Wacana tersebut dilontarkan oleh mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani pada April 2025 lalu. Kala itu, ia mengakui bahwa selama ini proses merger dan akuisisi kerap terkendala oleh konsekuensi pajak yang timbul setelah aksi korporasi dilakukan.
“Kami sangat terbuka untuk melihat aspek perpajakan agar perusahaan-perusahaan yang perlu melakukan merger dan akuisisi bisa lebih agile, karena situasi memang mengharuskan begitu,” ujar Sri Mulyani dalam Sarasehan Ekonomi Bersama Presiden RI, Rabu (9/4/2025) lalu.
Sebagai informasi, sesuai UU Pajak Penghasilan, keuntungan dari pengalihan harta karena adanya likuidasi, penggabungan, peleburan, pemecahan, atau pengambilalihan usaha merupakan objek pajak. Keuntungan tersebut dihitung dari selisih antara harga pasar dan nilai sisa buku dari aset yang dialihkan.
Namun, pemerintah telah memberikan ruang fleksibilitas melalui PMK No. 81 Tahun 2024, yang memberi kewenangan kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk mengizinkan penggunaan nilai buku bagi Wajib Pajak tertentu dalam rangka merger atau akuisisi.









