Bagaimana perlakuan pajak dalam Merger dan Akuisisi ?

Mengenal Aspek Pajak dalam Merger dan Akuisisi: Ketentuan, Risiko, dan Strategi Optimal

Merger dan akuisisi (M&A) merupakan strategi korporasi yang kerap digunakan oleh perusahaan untuk meningkatkan daya saing, memperluas pasar, atau menyelamatkan kinerja bisnis yang sedang menurun. Namun, di balik potensi sinergi dan efisiensi, proses ini juga melibatkan tantangan administratif dan konsekuensi perpajakan yang tidak sedikit. Maka, memahami aspek pajak dalam merger dan akuisisi menjadi hal krusial, terutama untuk menghindari risiko fiskal di kemudian hari.

Apa Itu Merger dan Akuisisi?

Menurut Undang-Undang Perseroan Terbatas (UU PT), merger adalah tindakan hukum di mana satu atau lebih Perseroan meleburkan diri ke dalam entitas lain yang telah ada. Dalam proses ini, seluruh aset (aktiva) dan kewajiban (pasiva) Perseroan yang melebur akan beralih ke Perseroan penerima merger, dan status hukum Perseroan yang melebur akan berakhir secara otomatis.

Sementara itu, akuisisi adalah proses di mana suatu entitas mengambil alih kendali atas entitas lain, baik dengan membeli saham maupun aset perusahaan target. Transaksi akuisisi umumnya dimotivasi oleh keinginan untuk memperluas lini bisnis, mendapatkan akses bahan baku, teknologi, atau memperkuat rantai pasok.

Tax Due Diligence: Kunci Merger yang Aman Pajak

Sebelum proses merger atau akuisisi berlangsung, perusahaan idealnya melakukan Tax Due Diligence — yakni evaluasi menyeluruh terhadap kepatuhan pajak perusahaan target. Proses ini mencakup penilaian terhadap potensi kewajiban pajak tersembunyi, koreksi fiskal, piutang atau utang pajak, serta dokumen pendukung seperti faktur pajak, SPT, dan bukti setor.

Tax Due Diligence penting dilakukan untuk:

  • Mengidentifikasi risiko pajak yang akan diwariskan ke entitas hasil merger;
  • Menentukan strategi akuisisi yang paling efisien dari sisi pajak;
  • Meningkatkan posisi negosiasi pembeli terhadap harga atau struktur transaksi.

Baca juga: Aturan Baru Pemeriksaan Pajak dalam PMK 15/2025

Metode Akuntansi Merger: Pooling vs Purchase

Dalam praktik akuntansi, merger dapat dicatat dengan dua metode:

1. Pooling of Interest Method

Merupakan metode penyatuan entitas, di mana tidak terjadi transaksi jual beli. Nilai aktiva dan pasiva dicatat berdasarkan nilai buku tanpa adanya pengakuan goodwill atau kenaikan nilai aset. Metode ini cenderung menghindarkan entitas dari pengenaan pajak penghasilan atas selisih nilai pasar dan nilai buku aset.

2. Purchase Method

Metode ini memperlakukan merger sebagai transaksi bisnis. Perusahaan pengakuisisi mencatat aktiva dan pasiva perusahaan target berdasarkan nilai wajarnya. Metode ini biasanya memunculkan goodwill, yang nantinya bisa diamortisasi dan menjadi pengurang pajak, tetapi juga dapat menimbulkan kewajiban PPh atas selisih nilai aset.

Aspek Perpajakan dalam Merger dan Akuisisi

1. Pajak Penghasilan (PPh)

Berdasarkan Pasal 10 ayat (3) UU No. 36 Tahun 2008 tentang PPh, dalam hal pengalihan harta karena merger atau akuisisi, nilai yang digunakan adalah nilai pasar kecuali ditentukan lain oleh Menteri Keuangan. Artinya, selisih antara nilai pasar dan nilai buku aset yang dialihkan bisa dikenai PPh.

Namun, melalui pengaturan yang tepat dan jika memenuhi syarat tertentu, pengalihan aset dalam merger dapat dilakukan dengan nilai buku fiskal tanpa pengenaan PPh, sebagaimana dijelaskan dalam SE-23/PJ.42/1999.

2. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Dalam Pasal 1A ayat (2) huruf d UU No. 42 Tahun 2009, disebutkan bahwa pengalihan Barang Kena Pajak (BKP) dalam rangka merger atau restrukturisasi tidak dikenai PPN, asalkan dilakukan antara sesama Pengusaha Kena Pajak (PKP). Jika salah satu pihak bukan PKP, maka transaksi tersebut menjadi objek PPN.

Ketentuan lanjutannya diatur dalam Pasal 9 ayat (14) UU yang sama, di mana Pajak Masukan atas pengalihan aset tersebut dapat dikreditkan oleh PKP penerima, selama belum dibebankan sebagai biaya atau dikapitalisasi.

Baca juga: Tax Due Diligence, Definisi, Manfaat, dan Prosesnya

3. PPh Final dan BPHTB

Jika pengalihan aset dalam merger melibatkan tanah dan/atau bangunan, maka akan dikenakan:

  • PPh Final sebesar 2,5% – 5% tergantung ketentuan terbaru, atas nilai pengalihan;
  • BPHTB sebesar 5% dari Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) dikurangi NPOP Tidak Kena Pajak.

Perlu dicatat bahwa perhitungan BPHTB mengacu pada nilai tertinggi antara harga transaksi dan NJOP.

Strategi Optimal untuk Efisiensi Pajak dalam Merger

Agar proses merger dan akuisisi tidak menimbulkan beban pajak yang tinggi, berikut strategi yang dapat diterapkan:

  • Gunakan metode pencatatan dengan nilai buku (book value) jika ingin menunda atau menghindari pengenaan PPh atas revaluasi aset;
  • Pastikan seluruh entitas yang terlibat berstatus PKP untuk menghindari PPN;
  • Lakukan pengajuan ke Direktorat Jenderal Pajak jika ingin menggunakan nilai buku dalam pengalihan aset (restrukturisasi non-objek pajak);
  • Pertimbangkan struktur akuisisi: apakah melalui pembelian saham (tidak menimbulkan PPN dan BPHTB) atau pembelian aset (berpotensi menimbulkan pajak);
  • Pastikan kelengkapan dokumentasi dan transparansi dalam due diligence.

Kesimpulan

Proses merger dan akuisisi tidak hanya berdampak pada strategi bisnis dan operasional, tetapi juga memunculkan berbagai konsekuensi perpajakan yang signifikan. Oleh karena itu, penting bagi setiap entitas yang hendak melakukan penggabungan atau pengambilalihan untuk memahami secara menyeluruh ketentuan pajak yang berlaku.

Melalui strategi yang tepat, metode pencatatan yang sesuai, dan pelaksanaan tax due diligence secara menyeluruh, perusahaan tidak hanya dapat menghindari risiko fiskal, tetapi juga memaksimalkan efisiensi pajak dalam proses konsolidasi usahanya. Dalam konteks reformasi perpajakan dan pengawasan fiskal yang makin ketat, langkah preventif seperti ini menjadi semakin relevan dan krusial.

Baca juga Berita dan Artikel Pajakku lainnya di Google News