Seiring meningkatnya arus investasi asing ke Indonesia, banyak perusahaan luar negeri yang mulai menjalankan usahanya di dalam negeri. Kegiatan usaha tersebut tidak selalu dilakukan melalui badan hukum lokal, tetapi bisa saja hanya melalui kehadiran usaha yang bersifat tetap dan berkelanjutan. Di sinilah konsep Bentuk Usaha Tetap (BUT) menjadi penting untuk dikenali, terutama dalam konteks perpajakan. BUT merupakan landasan hukum yang digunakan oleh pemerintah Indonesia untuk menetapkan kewajiban pajak bagi perusahaan asing yang menjalankan kegiatan usahanya di wilayah Indonesia.
Pengertian Bentuk Usaha Tetap (BUT)
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 35 Tahun 2019, Bentuk Usaha Tetap (BUT) adalah bentuk usaha yang digunakan oleh individu asing atau badan hukum luar negeri untuk menjalankan kegiatan usaha di wilayah Indonesia.
Artinya, perusahaan yang termasuk BUT adalah perusahaan yang dibentuk oleh orang pribadi maupun badan dan diakui secara hukum di luar negeri, tetapi beroperasi di Indonesia dan karenanya harus menaati seluruh peraturan hukum serta perpajakan yang berlaku di Indonesia.
Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan badan usaha asing di Indonesia, meski tanpa bentuk hukum lokal, tetap dikenakan ketentuan hukum dan pajak yang berlaku karena aktivitas usahanya dilakukan di wilayah Indonesia.
Dasar Hukum Bentuk Usaha Tetap (BUT)
Keberadaan Bentuk Usaha Tetap (BUT) sebagai subjek pajak di Indonesia tidak muncul begitu saja, melainkan telah diatur secara jelas dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Salah satu regulasi utama yang menjadi dasar pengenaan pajak atas BUT adalah Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh). Dalam undang-undang tersebut, BUT secara tegas dikategorikan sebagai subjek pajak luar negeri yang memperoleh penghasilan dari Indonesia, dan oleh karena itu, memiliki kewajiban perpajakan yang setara dengan wajib pajak dalam negeri.
Untuk memperjelas penerapan ketentuan tersebut di lapangan, pemerintah kemudian menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 35 Tahun 2019. PMK ini hadir sebagai regulasi turunan yang memberikan penjabaran lebih rinci mengenai kriteria, bentuk, dan jenis kegiatan usaha yang dianggap membentuk BUT di wilayah Indonesia. Dengan demikian, peraturan ini memberikan kepastian hukum bagi pihak-pihak luar negeri yang menjalankan usaha di Indonesia, sekaligus menjadi acuan penting bagi otoritas pajak dalam melakukan pengawasan dan penegakan aturan.
Melalui kombinasi antara UU PPh dan PMK 35/2019, pemerintah memastikan bahwa subjek pajak luar negeri yang menjalankan kegiatan usaha secara berkelanjutan di Indonesia tetap berkontribusi secara adil terhadap penerimaan negara melalui kewajiban perpajakan yang jelas dan terukur.
Baca Juga: Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN): Kriteria dan Perlakuan Pajak
Kapan Perusahaan Asing Wajib Membentuk Bentuk Usaha Tetap (BUT)?
Ketentuan mengenai kapan subjek pajak luar negeri wajib membentuk Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia dijelaskan dalam PMK 35/2019 tentang Penentuan Bentuk Usaha Tetap. Dalam regulasi tersebut, dijabarkan beberapa kondisi yang menyebabkan perusahaan asing dianggap telah memiliki BUT di Indonesia, antara lain:
- Memiliki kehadiran fisik di Indonesia, seperti kantor, cabang, gudang, ruang kerja, atau tempat lainnya yang digunakan untuk menjalankan usaha.
- Menjalankan kegiatan penyediaan jasa di Indonesia yang berlangsung lebih dari 60 hari dalam kurun waktu satu tahun
- Melaksanakan proyek konstruksi, instalasi, atau perakitan yang berlangsung lebih dari 183 hari.
- Menggunakan agen atau perwakilan di Indonesia yang memiliki kewenangan untuk menandatangani kontrak atas nama perusahaan asing.
- Menguasai atau menggunakan aset tetap di Indonesia untuk menjalankan kegiatan usaha.
Sementara itu, menurut Pasal 1 dalam PMK 35/2019, yang dimaksud dengan subjek pajak luar negeri bisa berupa orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, atau yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, serta badan usaha yang tidak didirikan dan tidak berkedudukan di Indonesia.Dengan kata lain, jika subjek pajak luar negeri memenuhi salah satu kriteria di atas, maka mereka dianggap memiliki BUT dan wajib memenuhi kewajiban perpajakan sesuai peraturan yang berlaku.
Kewajiban Perpajakan Bentuk Usaha Tetap (BUT)
Setelah dianggap memenuhi kriteria sebagai Bentuk Usaha Tetap (BUT), subjek pajak luar negeri otomatis dikenakan kewajiban perpajakan di Indonesia sebagaimana halnya wajib pajak dalam negeri. Besarnya pajak yang dikenakan kepada BUT didasarkan pada penghasilan kena pajak, yaitu penghasilan bruto yang diperoleh di Indonesia, dikurangi dengan biaya-biaya operasional yang berkaitan langsung dengan kegiatan usaha tersebut.
Salah satu jenis pajak utama yang wajib dibayarkan oleh BUT adalah Pajak Penghasilan Badan (PPh Badan). Berdasarkan ketentuan dalam UU 7/2021 (UU HPP), tarif PPh Badan yang berlaku saat ini adalah sebesar 22% dari penghasilan kena pajak.
Selain PPh Badan, BUT juga dikenakan Branch Profit Tax (BPT), yaitu pajak atas laba setelah pajak yang ditransfer ke kantor pusat atau pihak afiliasi di luar negeri. Tarif Branch Profit Tax ditetapkan sebesar 20% dari laba setelah pajak, kecuali terdapat perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) yang memberikan tarif lebih rendah.
Dengan kata lain, BUT tidak hanya dikenakan pajak atas pendapatan yang dihasilkan di Indonesia, tetapi juga atas potensi repatriasi keuntungan ke luar negeri. Hal ini dilakukan untuk menjaga keadilan dalam sistem perpajakan serta memastikan bahwa kontribusi terhadap penerimaan negara tetap optimal.
Baca Juga: Bentuk Usaha Tetap: Tarif Pajak, Jenis, dan Contohnya
Kesimpulan
Bentuk Usaha Tetap (BUT) merupakan bentuk entitas usaha yang dimiliki oleh subjek pajak luar negeri dan menjalankan kegiatan usaha secara tetap di wilayah Indonesia. Keberadaan BUT memiliki implikasi perpajakan yang signifikan, sehingga penting bagi setiap perusahaan asing memahami ketentuan yang berlaku agar tidak menyalahi aturan yang telah ditetapkan pemerintah Indonesia.
Pengaturan mengenai BUT telah dijelaskan dalam berbagai regulasi, mulai dari Undang-Undang Pajak Penghasilan hingga Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35 Tahun 2019. Melalui regulasi tersebut, dapat diketahui kapan suatu perusahaan atau individu asing wajib membentuk BUT, seperti saat memiliki kehadiran fisik, menjalankan proyek, atau menyediakan jasa dalam jangka waktu tertentu di Indonesia.
Selain itu, BUT juga memiliki kewajiban perpajakan yang serupa dengan wajib pajak dalam negeri, termasuk membayar Pajak Penghasilan Badan serta Branch Profit Tax atas laba yang dikirimkan ke luar negeri. Dengan memahami pengertian, ketentuan pembentukan, dan kewajiban perpajakan BUT, diharapkan perusahaan asing dapat menjalankan usahanya di Indonesia dengan patuh terhadap hukum serta mendukung terciptanya sistem perpajakan yang adil dan transparan.
*) Penulis merupakan penerima beasiswa dari Pajakku. Seluruh isi tulisan ini disusun secara mandiri oleh penulis dan sepenuhnya merupakan opini pribadi.









