Bentuk Usaha Tetap (BUT) merupakan entitas usaha yang dimiliki oleh subjek pajak luar negeri, baik orang pribadi maupun badan, yang menjalankan kegiatan usaha atau memperoleh penghasilan di Indonesia, namun tidak membentuk badan hukum berdasarkan hukum Indonesia. Dalam sistem perpajakan, BUT dianggap sebagai subjek pajak badan dan memiliki perlakuan yang setara dengan Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN) dalam hal penghitungan pajak penghasilan (PPh), dengan karakteristik dan kewajiban yang unik.
Dasar Hukum dan Ketentuan BUT
Ketentuan mengenai BUT diatur dalam:
- Pasal 2 Ayat (5) UU Pajak Penghasilan (IU) No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh)
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP)
- Peraturan Menteri Keuangan No. 35/PMK.03/2019
- PER-10/PJ/2017 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B)
Menurut regulasi tersebut, BUT mencakup kegiatan usaha yang dilakukan oleh subjek pajak luar negeri dengan:
- Tempat usaha tetap di Indonesia
- Bersifat permanen
- Digunakan untuk menjalankan usaha atau kegiatan yang menghasilkan penghasilan
BUT diperlakukan sebagai entitas pajak tersendiri dan wajib mendaftarkan diri ke DJP untuk memperoleh NPWP serta memenuhi seluruh kewajiban perpajakan seperti pelaporan SPT dan pemungutan PPh.
Baca juga: Mengenal Perbedaan PU PMSE dan BUT dalam Pajak Digital Indonesia
Jenis-jenis Bentuk Usaha Tetap
1. BUT Tipe Aset
Merupakan bentuk usaha tetap yang menggunakan tempat tetap sebagai sarana menjalankan usaha:
- Place of Business: Tempat usaha baik milik sendiri atau sewa.
- Fixed: Memiliki kesinambungan waktu dan lokasi.
- Business Activity: Dijalankan secara reguler di tempat tersebut.
Contoh: kantor cabang, kantor perwakilan, gedung pabrik, gudang logistik.
2. BUT Tipe Aktivitas
Mengacu pada durasi aktivitas usaha tertentu:
- Proyek konstruksi, instalasi, atau perakitan yang berlangsung lebih dari 6 bulan (UN Model) atau 12 bulan (OECD Model).
- Kegiatan jasa termasuk jasa konsultasi yang dilakukan secara langsung lebih dari 60 hari dalam 12 bulan (berdasarkan P3B negara asal).
3. BUT Tipe Agen
Dibentuk melalui kehadiran agen yang tidak bebas:
- Agen tersebut bertindak atas nama perusahaan luar negeri.
- Memiliki kuasa menandatangani kontrak atau melakukan pengiriman barang secara reguler.
4. BUT Tipe Asuransi
Sesuai UN Model, perusahaan asuransi asing dianggap memiliki BUT jika:
- Mengumpulkan premi di Indonesia melalui agen tidak bebas.
- Menanggung risiko yang terjadi di Indonesia.
Baca juga: Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN), Kriteria dan Perlakuan Pajak
Kriteria Subjek Pajak BUT
Menurut PMK No. 35/2019, dua kategori subjek pajak diklasifikasikan sebagai BUT:
- Orang Pribadi Asing: Tidak berdomisili di Indonesia tetapi menjalankan usaha di wilayah RI.
- Badan Usaha Asing: Entitas asing yang tidak berkedudukan di Indonesia namun memperoleh penghasilan dari kegiatan di Indonesia.
Non-BUT: Entitas Asing Tanpa Kewajiban BUT
Entitas yang tidak memenuhi kriteria BUT namun memperoleh penghasilan dari Indonesia disebut Non-BUT. Contohnya:
- Penyedia layanan digital yang tidak memiliki kehadiran fisik.
- Penyimpanan data (data storage) di server Indonesia tanpa aktivitas operasional.
Mereka tetap terutang PPh Pasal 26 atas penghasilan bruto yang diterima.
Ketentuan PPh atas BUT
Tarif Pajak BUT
Berdasarkan UU HPP No. 7 Tahun 2021, tarif pajak penghasilan badan untuk BUT disamakan dengan Wajib Pajak Dalam Negeri, yaitu:
- PPh Badan: 22% dari penghasilan kena pajak.
- Branch Profit Tax (BPT): 20% dari laba setelah pajak yang tidak ditanamkan kembali di Indonesia (Pasal 26 Ayat 4 UU PPh).
Catatan: Jika laba setelah pajak reinvestasi di Indonesia, maka BPT tidak dikenakan.
Contoh Perhitungan Pajak BUT
PT XYZ adalah BUT dari perusahaan luar negeri. Dalam 2025, perusahaan memperoleh:
- Penghasilan Bruto: Rp60.000.000.000
- Biaya Operasional: Rp25.000.000.000
- Penghasilan Kena Pajak: Rp35.000.000.000
Perhitungan:
- PPh Badan: 22% × Rp35.000.000.000 = Rp7.700.000.000
- Laba Setelah Pajak: Rp27.300.000.000
- BPT: 20% × Rp27.300.000.000 = Rp5.460.000.000
- Total Pajak BUT: Rp13.160.000.000
Ketentuan Pajak Berganda (P3B) dan Pengecualian BUT
BUT bisa dikenai pengecualian pajak jika ada Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Indonesia dan negara domisili perusahaan luar negeri.
Sesuai PER-10/PJ/2017, BUT tidak dikenai pajak jika hanya melakukan:
- Kegiatan persiapan
- Kegiatan penunjang (preparatory/auxiliary)
Berdasarkan Pasal 6 PMK 53/2019, kegiatan tersebut tidak dianggap sebagai pembentukan BUT.
Baca juga: Attributable Principle dalam Pajak Internasional, Apa Itu?
Biaya yang Dapat Dikurangkan oleh BUT
BUT dapat mengurangkan penghasilan bruto dengan biaya-biaya berikut:
- Biaya Operasional Usaha
- Pembelian bahan baku, gaji, bunga pinjaman, biaya sewa, perjalanan dinas, premi asuransi, promosi, dll.
- Biaya Penyusutan dan Amortisasi
- Iuran Dana Pensiun
- Kerugian Penjualan Aset
- Kerugian Kurs
- Biaya Litbang dan Pelatihan
- Piutang Tak Tertagih (dengan syarat dokumentasi lengkap)
- Sumbangan Tertentu (penanggulangan bencana nasional, pendidikan, riset, infrastruktur sosial)
Perbedaan BUT vs Wajib Pajak Dalam Negeri
|
Aspek |
BUT |
WPDN |
|---|---|---|
| Status hukum | Tidak berbadan hukum di Indonesia | Didirikan menurut hukum Indonesia |
| Entitas pajak | Terpisah dari perusahaan induk di luar negeri | Berdiri sendiri |
| Tarif PPh | Sama (22%) | Sama (22%) |
| Branch Profit Tax | Ya (20%) | Tidak |
| P3B | Berlaku terbatas sesuai tax treaty | Tidak berlaku |
| Pengurangan laba reinvestasi | Dapat mengecualikan BPT | Tidak relevan |
Kesimpulan
Bentuk Usaha Tetap (BUT) merupakan entitas pajak yang penting dalam sistem perpajakan Indonesia, khususnya bagi perusahaan asing yang melakukan kegiatan usaha di Indonesia. Dengan perlakuan pajak yang menyerupai WPDN namun tetap memiliki ketentuan khusus seperti BPT dan ketentuan P3B, pemahaman tentang ketentuan terbaru sangat penting.
Perusahaan asing yang ingin beroperasi di Indonesia harus secara proaktif memahami regulasi terbaru terkait BUT, baik dalam aspek kewajiban perpajakan, hak pengurangan, maupun penghindaran pajak berganda, agar terhindar dari sanksi dan mendukung iklim investasi yang sehat.









