Flexing Dulu, Lapor SPT Belakangan:  Saatnya Negara Serius Urus Pajak Influencer

Ekonomi digital berkembang pesat selama beberapa tahun terakhir, di tengah era digitalisasi muncul banyak lapangan pekerjaan baru, salah satunya ialah Influencer. Influencer merupakan pekerjaan di dunia digital, dengan membuat konten dan dipublikasikan pada platform sosial seperti TikTok, Instagram, Youtube dan sebagainya. Pekerjaan sebagai influencer cukup menjanjikan di masa kini, dengan peluang besar dan siapapun berkesempatan menjadi bintang tanpa perlu syarat khusus berupa gelar ataupun pelatihan membuat bidang kerja ini menjadi sangat meningkat selama beberapa tahun terakhir. 

Peran influencer memberikan dampak yang cukup signifikan dalam perekonomian global, termasuk Indonesia. Banyak sekali produk-produk yang berhasil dipasarkan dan mendapatkan omzet fantastis melalui strategi pemasaran digital yang menggandeng para influencer kondang. Bahkan kini beberapa perusahaan memiliki anggaran khusus untuk marketing yang menggaet influencer yang dianggap sangat efektif dalam meningkatkan audiens, popularitas, hingga pendapatan perusahaan. 

Gambar 1. Data Rata-rata gaji Influencer Indonesia 2024. Indeed 

Gaji yang diberikan kepada para influencer pun sangat fantastis, Jennifer Coppen atau yang biasa disapa sebagai “Mamari” sempat membocorkan kepada publik bahwa biaya untuk endorsement tiktoknya mencapai 180 Juta Rupiah untuk 1 konten. Jumlah penghasilan yang sangat fantastis tersebut juga menjadi peluang besar dalam peningkatan pendapatan negara, karena menurut Undang-Undang Harmonisasi Perpajakan Nomor 7 Tahun 2021 mengatur bahwa yang menjadi objek pajak adalah penghasilan. Pengertian penghasilan dalam hal ini adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun. 

 

Baca Juga: Pajak Digital – Strategi Pemerintah Mengincar Pajak Dari Konten Kreator

 

Faktor Pemungutan Pajak Influencer Kurang Efektif 

Namun sayangnya potensi ini belum dapat dieksekusi secara optimal oleh pemerintah akibat pemungutan pajak terhadap kekayaan influencer masih memiliki banyak celah. Celah yang terlihat kecil namun ternyata dapat mencederai penerimaan negara, berikut beberapa faktor yang menyebabkan pemungutan pajak atas penghasilan influencer masih kurang efektif:

 

1. Tidak Menggunakan Sistem Pemotongan Pajak Otomatis

Withholding system atau yang kita kenal sebagai pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak ketiga (pemberi kerja) tak diterapkan pada pendapatan influencer. Di mana influencer sendiri masih termasuk ke dalam pekerjaan bebas dan bukan pegawai. Influencer mengandalkan sistem self-assessment di mana wajib pajak harus hitung sendiri, bayar sendiri bahkan lapor sendiri atas semua penghasilannya selama tahun tersebut. Masalah lanjutannya dari penggunaan sistem ini adalah banyak wajib pajak yang tidak paham bagaimana caranya menghitung pajakterutangnya, bahkan ada juga yang sengaja tidak melapor karena merasa tidak akan ketahuan. 

 

2. Lemahnya Pengawasan Akibat Sistem Pembayaran Terdesentralisasi 

Pendapatan dari platform seperti tiktok, instagram, gift live streaming bahkan sampai endorsement di transfer langsung dari luar negeri dan langsung masuk ke rekening pribadi influencer sehingga sulit diawasi oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Bahkan tak jarang sistem pembayaran yang digunakan berupa barter produk, kripto, hingga langsung masuk ke e-wallet sang influencer sehingga jumlah pastinya tak dapat terdeteksi sama sekali, padahal telah ditegaskan dalam UU HPP 2021 bahwa penghasilan dalam bentuk apapun termasuk pendapatan yang harus dilaporkan. 

 

Influencer juga kerap kali menggunakan rekening pribadi yang menggabungkan antara keuangan pribadi dan pekerjaan sehingga mempersulit DJP untuk mengidentifikasi yang mana jumlah penghasilan usaha dan pribadi. 

 

3. Belum Terdapat Regulasi Khusus yang Mengikat Profesi Digital

Sampai saat ini tidak ada pasal yang secara eksplisit mengatur “Influencer” atau “Content Creator” dalam Undang-Undang Perpajakan. Profesi mereka masih disamarkan dengan penyebutan lain seperti “Usaha jasa lain” atau “Pekerjaan Bebas” yang mengakibatkan banyak celah untuk para influencer lari dari tanggung jawab perpajakannya. Tidak adanya penarikan otomatis, tarif khusus, hingga sistem pelaporan terintegrasi khusus influencer membuat kepatuhan pajak para influencer masih rendah, hal ini sangat disayangkan padahal sektor profesi digital memiliki potensi besar dalam meningkatkan pendapatan negara.

 

4. Maraknya Penggunaan Rekening Orang Lain sebagai Pihak Ketiga 

Beberapa konten kreator menggunakan rekening atas nama manajemen, admin, atau bahkan anggota keluarga dan kerabat dalam transaksi keuangan demi menghindari kewajiban pajak. Karena uang yang masuk bukan atas nama mereka, penghasilan tersebut sulit dilacak oleh sistem perpajakan. Praktik ini biasanya digunakan dengan dalih “Manajemen Keuangan Bisnis”, padahal tujuan dibalik itu adalah memecah penghasilan agar terhindar dari kewajiban pajak yang besar, karena sistem pajak penghasilan itu sendiri memiliki layer dimana semakin besar pendapatan maka akan semakin besar pula pajak terutangnya. 

 

5. Kurangnya Kolaborasi antara DJP dan Platform Digital 

Perlu kita sadari bersama bahwa kita membutuhkan sistem kolaborasi terpadu antara DJP dan platform digital dalam menjangkau penghasilan para influencer. Jika terdapat kerja sama sinergis dalam merancang sistem yang menyasar influencer secara terintegrasi, maka akan lebih mudah untuk DJP memverifikasi total pendapatan para pelaku ekonomi digital. 

Baca Juga: Pajak Bagi Konten Kreator

 

Solusi Peningkatan Pajak Digital

Sudah saatnya pemerintah kita mencanangkan solusi inovatif untuk problematika yang terpampang dihadapan kita secara nyata. Berikut inovasi yang dapat diadopsi oleh DJP dalam meningkatkan basis pajak terhadap pelaku ekonomi digital: 

 

1. Kerja Sama dengan Platform Internasional 

Negara seperti India dan Uni Eropa mewajibkan perusahaan digital asing (Overseas Digital Service Provider) untuk mendaftarkan diri secara resmi terlebih dahulu ke otoritas pajak lokal sebelum beroperasi, kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan penerimaan pajaknegaranya atas layanan yang platform tersebut lakukan pada negaranya. Dalam tahap lebih lanjut, DJP bisa saja mewajibkan platform digital asing untuk melakukan Withholding system alias pemotongan langsung atas penghasilan WNI yang berkecimpung dalam dunia digital.

 

2. Penciptaan Kode Akun Profesi Digital dalam Pendataan DJP 

Profesi seperti “Influencer”, “Content Creator”, “Steamer”, atau “Affiliate Marketer” belum diakui secara spesifik dalam sistem pendataan atau kode akun pajak (KLU) DJP. Akibatnya, mereka masih dapat mengelak atas kewajiban pajaknya karena tidak merepresentasikan pekerjaan mereka yang sebenarnya.

Maka kita dapat membuat Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU) baru untuk profesi digital, misalnya: 

  1. KLU 2603.25 – Content Creator 
  2. KLU 0510.24 – Affiliate Marketer
  3. KLU 2905.25 – Streamer dan Live Host 

Dengan transformasi ini maka DJP akan lebih mudah dalam profiling wajib pajak digital dan juga mendukung skema perumusan tarif atau intensif khusus bagi profesi digital. 

 

3. Aturan Baru yang Lebih Mengikat untuk Pelaku Ekonomi Digital 

Kita membutuhkan aturan yang secara eksplisit menjelaskan mengenai perlakuan pajak untuk berbagai profesi digital, dari mulai kewajiban platform asing sebagai pemotong sekaligus pelapor pajak, hingga bagaimana proses pelaporan SPT untuk influencer dengan skema yang lebih kuat pengawasannya. Pemerintah dapat menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) atau Peraturan Dirjen Pajak (PER) yang mengatur: 

  1. Standar pelaporan penghasilan digital termasuk non-tunai 
  2. Mekanisme estimasi penghasilan digital berdasarkan data terbuka apabila wajib pajak tidak melapor 
  3. Mewajibkan platform digital mengenakan pajak atas transaksi tertentu 
  4. Penguatan pengawasan DJP dalam melakukan profiling otomatis dari sosial media sebagai sumber data terbuka sebagai pembanding apabila terdapat kejanggalan dalam laporan pajak 

Tentunya, masih terdapat celah yang perlu disempurnakan agar dapat menunjang tujuan kita memaksimalkan potensi penerimaan pajak dari sektor ekonomi digital. Maka dari itu, solusi inovatif yang digagaskan pada tulisan ini bertujuan untuk mendukung kemudahan DJP untuk memungut pajak dan memperluas wewenang pengawas dan pembuat regulasi pajak dalam menjalankan tugasnya. Kolaborasi sinergis dan terintegrasi sangat diperlukan dalam menurunkan tingkat Penghindaran Pajak akibat kurang jelasnya sistem dan regulasi yang ada.

 

Penulis: 
Intan Rizky Amalia  
Mahasiswa Akuntansi Perpajakan Universitas Padjadjaran 

 

Disclaimer: Artikel ini merupakan hasil karya dan pendapat pribadi penulis. Isi tulisan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.