Pengusaha di sektor telekomunikasi meminta pemerintah meninjau ulang kebijakan pajak internet guna mempercepat pembangunan jaringan generasi kelima (5G) di Indonesia. Beban fiskal yang masih tinggi dinilai menghambat investasi operator, padahal 5G dibutuhkan untuk menopang pertumbuhan ekonomi digital nasional.
Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) menegaskan bahwa pengembangan 5G merupakan bagian dari peta jalan jaringan nasional yang tidak dapat ditunda. Seiring meningkatnya peran internet dalam kehidupan masyarakat, keberlanjutan pembangunan infrastruktur telekomunikasi menjadi kebutuhan yang tidak terelakkan.
Direktur Eksekutif ATSI, Marwan O. Baasir, menyampaikan bahwa percepatan 5G saat ini menghadapi sejumlah tantangan, khususnya dari sisi biaya. Selain harga spektrum frekuensi, beban pajak dan pungutan masih menjadi tekanan utama bagi operator.
“Internet itu sangat penting. Masa masih dipajaki? Pajak masih tinggi, gitu. Cukuplah ambil kemewahan pajak dari kuota-kuota internet ini,” ujar Marwan, dikutip dari Bisnis Indonesia, Kamis (18/12/2025).
Menurut ATSI, kondisi tersebut menimbulkan ketidaksesuaian kebijakan. Sebab di satu sisi, internet didorong sebagai kebutuhan dasar masyarakat, namun di sisi lain masih dibebani pajak yang relatif tinggi.
Dua Tantangan Utama Pengembangan Jaringan 5G
ATSI mengidentifikasi dua faktor utama yang memengaruhi kecepatan pengembangan jaringan 5G di Indonesia, yaitu:
- Model bisnis, yang masih membutuhkan penyesuaian agar investasi 5G dapat berkelanjutan.
- Struktur biaya, terutama harga spektrum frekuensi serta pajak dan pungutan yang masih tinggi.
Beban biaya tersebut berpotensi menekan kemampuan operator dalam memperluas jaringan dan meningkatkan kualitas layanan.
Usulan Penurunan PNBP Telekomunikasi
Untuk mendorong percepatan 5G, ATSI mengusulkan agar kontribusi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor telekomunikasi diturunkan ke tingkat yang lebih rasional. Saat ini, PNBP telekomunikasi berada di kisaran 12,4 persen.
Penurunan PNBP dinilai dapat memberikan beberapa dampak positif, antara lain:
- memperluas ruang investasi bagi operator telekomunikasi,
- mempercepat pembangunan dan pemerataan jaringan 5G, serta
- meningkatkan keterjangkauan layanan internet bagi masyarakat.
Baca Juga: Harga Internet Rakyat Hanya Rp100.000 per Bulan, Apakah Masih Kena Pajak?
Aturan Pajak Telekomunikasi Saat Ini Berdasarkan PMK 6/2021
Di tengah dorongan pengurangan pajak internet untuk mempercepat jaringan 5G, perlu dipahami bahwa saat ini sektor telekomunikasi telah diatur secara khusus dalam PMK No. 6 Tahun 2021.
Aturan tersebut mengatur mekanisme pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) atas penjualan produk telekomunikasi. PMK 6/2021 mencakup transaksi atas:
- pulsa prabayar,
- kartu perdana,
- token listrik prabayar, serta
- berbagai jenis voucer (fisik maupun elektronik).
Ketentuan PPN Telekomunikasi
Berdasarkan PMK 6/2021 yang telah diperbarui dalam PMK 11/2025, perlakuan PPN atas produk telekomunikasi antara lain sebagai berikut:
- PPN dikenakan atas penyerahan pulsa dan kartu perdana, baik oleh operator telekomunikasi maupun distributor.
- Tarif PPN efektif sebesar 11% dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP).
- PPN dipungut satu kali dalam rantai distribusi, umumnya oleh distributor tingkat kedua (server pulsa).
- Dasar pengenaan PPN berupa:
- harga jual, atau
- nilai yang ditagih dalam transaksi distribusi.
Selain itu, PMK ini juga mengatur bahwa:
- jasa terkait distribusi pulsa, token, dan voucer,
- jasa transaksi pembayaran,
- serta program loyalitas pelanggan
juga merupakan objek PPN, sepanjang memenuhi ketentuan sebagai Jasa Kena Pajak.
Ketentuan PPh dalam Penjualan Pulsa
Selain PPN, PMK 6/2021 juga mengatur pemungutan Pajak Penghasilan (PPh), khususnya:
- PPh Pasal 22 sebesar 0,5% atas penjualan pulsa dan kartu perdana oleh distributor tingkat kedua.
- PPh Pasal 22 dipungut dari:
- nilai yang ditagih ke distributor selanjutnya, atau
- harga jual ke pelanggan langsung.
- Pemungutan PPh Pasal 22 ini bersifat tidak final dan dapat dikreditkan dalam SPT Tahunan.
Selain itu, penghasilan berupa imbalan jasa distribusi, pemasaran, dan transaksi pembayaran juga dikenakan PPh Pasal 23 sebesar 2% dari jumlah bruto, tidak termasuk PPN.
Baca Juga: Siap Hingga 2045, Pemerintah Rancang 3 Fase Transformasi Digital Nasional
Praktik di Negara Lain: Nigeria Hapus Pajak Telekomunikasi
Dorongan pengusaha agar pajak internet diturunkan juga sejalan dengan praktik di sejumlah negara lain. Salah satu contoh terbaru datang dari Nigeria, yang memutuskan menghapus pajak layanan telekomunikasi secara permanen demi menjaga keterjangkauan akses digital.
Presiden Nigeria Bola Ahmed Tinubu secara resmi mencabut pajak layanan telekomunikasi sebesar 5% yang sebelumnya sempat direncanakan diberlakukan atas layanan suara dan data seluler.
Wakil Ketua Eksekutif Komisi Komunikasi Nigeria, Aminu Maida, menyampaikan bahwa kebijakan tersebut diambil setelah pemerintah mendengar aspirasi publik dan mempertimbangkan dampak ekonomi yang ditimbulkan.
Alasan Penghapusan Pajak Telekomunikasi di Nigeria
Pemerintah Nigeria menilai pajak layanan telekomunikasi berpotensi menambah beban masyarakat dan menghambat pertumbuhan ekonomi digital. Beberapa pertimbangan utama di balik kebijakan ini antara lain:
- Menjaga keterjangkauan layanan suara dan data seluler bagi masyarakat.
- Tidak menambah beban ekonomi konsumen, terutama di tengah tekanan biaya hidup.
- Melindungi industri telekomunikasi yang menghadapi biaya operasional tinggi.
- Mendorong pertumbuhan ekonomi digital, seiring meningkatnya kebutuhan internet dalam aktivitas ekonomi.
Pajak layanan telekomunikasi di Nigeria sebenarnya telah diwacanakan sejak 2016 dan direncanakan berlaku pada 2023. Namun, kebijakan tersebut berulang kali ditangguhkan karena mendapat penolakan luas dari masyarakat dan pelaku industri.
Sempat Diusulkan Kembali, Ditolak Publik
Pada Oktober 2024, Majelis Nasional Nigeria sempat mengusulkan agar pajak layanan telekomunikasi diberlakukan kembali sebagai bagian dari upaya memperluas basis pajak, bersamaan dengan pajak atas judi dan lotere. Usulan ini kembali menuai penolakan keras dari publik.
Untuk meredam gejolak dan menjaga stabilitas sektor digital, Presiden Tinubu akhirnya memutuskan menghapus pajak layanan telekomunikasi secara permanen.
Asosiasi Perusahaan Telekomunikasi Nigeria juga menilai bahwa pengenaan pajak atas layanan telekomunikasi berisiko:
- menurunkan keterjangkauan layanan,
- menghambat ekspansi jaringan, dan
- memperlambat pertumbuhan sektor telekomunikasi.









