Direktorat Jenderal Pajak (DJP) resmi memberi relaksasi pembayaran dan pelaporan pajak bagi Wajib Pajak yang bertempat tinggal atau berkedudukan di Provinsi Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat.
Relaksasi tersebut ditetapkan melalui KEP-251/PJ/2025 yang diberlakukan mulai 15 Desember 2025. Kebijakan ini diberikan menyusul terjadinya force majeure berupa bencana alam yang berdampak pada pemenuhan kewajiban perpajakan.
Bentuk Relaksasi yang Diberikan DJP
Merujuk Diktum Kedua KEP-251/PJ/2025, DJP memberikan penghapusan sanksi administrasi atas sejumlah kewajiban perpajakan, meliputi:
- Keterlambatan penyampaian SPT Masa dan SPT Tahunan yang jatuh tempo pada 30 November–31 Desember 2025.
- Keterlambatan pembayaran atau penyetoran pajak yang jatuh tempo pada 25 November–31 Desember 2025.
- Keterlambatan pembuatan faktur pajak atas penyerahan yang terutang PPN dan PPnBM untuk masa pajak November dan Desember 2025.
Batas Waktu Pemenuhan Kewajiban Pajak
DJP memberikan perpanjangan waktu bagi Wajib Pajak terdampak bencana untuk memenuhi kewajiban perpajakan. Penyampaian SPT, pembayaran pajak, dan pembuatan faktur pajak dapat dilakukan paling lambat hingga 30 Januari 2026.
Jenis Sanksi yang Dihapuskan
Penghapusan sanksi administrasi dilakukan dengan cara tidak menerbitkan Surat Tagihan Pajak (STP) maupun STP Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Adapun sanksi yang dihapuskan, antara lain:
Denda dan bunga sebagaimana diatur dalam:
- Pasal 7 ayat (1) UU KUP
- Pasal 9 ayat (2a) dan ayat (2b) UU KUP
- Pasal 14 ayat (4) UU KUP
- Pasal 19 ayat (1) UU KUP
- Denda Pasal 11 ayat (3) UU PBB
Bagaimana jika STP Terlanjur Terbit?
Sebagaimana ditegaskan dalam Diktum Ketujuh KEP-251/PJ/2025, jika STP atau STP PBB telah diterbitkan, maka kepala kantor wilayah DJP akan menghapuskan sanksi administrasi tersebut secara jabatan.
Baca Juga: Warga Terdampak Bencana Alam Bisa Tunda Bayar Pajak, Ini Ketentuannya
Ketentuan Serupa Juga Diatur dalam PMK 81/2024
Selain relaksasi berupa penghapusan sanksi administrasi, pemerintah sejatinya juga telah menetapkan kebijakan keringanan perpajakan melalui PMK No. 81 Tahun 2024. Beleid ini memberikan ruang penundaan dan pengangsuran pembayaran pajak bagi Wajib Pajak yang terdampak bencana alam atau mengalami keadaan di luar kendali.
PMK 81/2024 hadir untuk merespons kondisi Wajib Pajak yang mengalami kesulitan keuangan sehingga tidak mampu memenuhi kewajiban perpajakannya tepat waktu.
Jenis Permohonan dalam PMK 81/2024
Berdasarkan PMK 81/2024, terdapat dua jenis permohonan keringanan yang dapat diajukan Wajib Pajak, yaitu:
- Penundaan pembayaran pajak, dan
- Pengangsuran pembayaran pajak.
Permohonan tersebut dapat diajukan untuk:
- PPh Pasal 29;
- Pajak yang masih harus dibayar atau kewajiban pelunasan lainnya.
Perbedaan Keringanan Pajak dalam KEP-251/PJ/2025 dan PMK 81/2024
Meski sama-sama diterbitkan untuk merespons kondisi force majeure akibat bencana alam, KEP-251/PJ/2025 dan PMK 81/2024 mengatur bentuk keringanan pajak yang berbeda, baik dari sisi jenis fasilitas maupun mekanisme penerapannya.
KEP-251/PJ/2025: Penghapusan Sanksi Administrasi
KEP-251/PJ/2025 memberikan keringanan berupa penghapusan sanksi administrasi, tanpa menghapus pokok pajaknya. Karakteristik kebijakan ini, antara lain:
- Berlaku khusus bagi Wajib Pajak yang bertempat tinggal atau berkedudukan di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.
- Diberikan atas keterlambatan penyampaian SPT, pembayaran pajak, dan pembuatan faktur pajak pada periode tertentu.
- Penghapusan dilakukan dengan tidak menerbitkan STP atau STP PBB, atau dihapus secara jabatan jika STP telah terbit.
- Wajib Pajak tetap harus memenuhi kewajiban pajak pokok, dengan batas waktu pelaksanaan hingga 30 Januari 2026.
- Tidak memerlukan permohonan khusus dari Wajib Pajak.
PMK 81/2024: Penundaan dan Pengangsuran Pembayaran Pajak
Sementara itu, PMK 81/2024 mengatur keringanan berupa penundaan atau pengangsuran pembayaran pajak, yang ditujukan bagi Wajib Pajak yang mengalami kesulitan likuiditas akibat force majeure. Ciri utamanya meliputi:
- Berlaku secara nasional bagi Wajib Pajak yang dapat membuktikan terdampak bencana alam atau kondisi di luar kendali.
- Fasilitas diberikan atas pokok pajak yang masih harus dibayar, seperti PPh Pasal 29 dan kewajiban pelunasan pajak lainnya.
- Harus diajukan melalui permohonan resmi kepada DJP dan memenuhi persyaratan administratif.
- Dapat mensyaratkan jaminan aset berwujud.
- Penundaan atau pengangsuran dapat diberikan hingga maksimal 24 bulan, tergantung jenis pajaknya.
Ringkasan Perbedaan Aturan
|
Aspek Perbandingan |
KEP-251/PJ/2025 |
PMK 81/2024 |
| Dasar Hukum | Keputusan Dirjen Pajak No. KEP-251/PJ/2025 | Peraturan Menteri Keuangan No. 81 Tahun 2024 |
| Latar Belakang | Bencana alam sebagai keadaan kahar (force majeure) | Kondisi di luar kendali Wajib Pajak, termasuk bencana alam |
| Bentuk Keringanan | Penghapusan sanksi administrasi | Penundaan atau pengangsuran pembayaran pajak |
| Objek Keringanan | Sanksi denda dan bunga | Pokok pajak yang masih harus dibayar |
| Jenis Pajak | SPT Masa dan Tahunan, pembayaran pajak, faktur PPN/PPnBM, PBB | PPh Pasal 29 dan kewajiban pelunasan pajak lainnya |
| Wilayah Berlaku | Terbatas di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat | Berlaku secara nasional |
| Perlu Permohonan WP | Tidak perlu permohonan khusus | Wajib mengajukan permohonan resmi |
| Syarat Administratif | Otomatis sepanjang memenuhi kriteria wilayah dan periode | Memenuhi persyaratan SPT, dokumen force majeure, dan jaminan aset |
| Jangka Waktu Fasilitas | Pemenuhan kewajiban hingga 30 Januari 2026 | Hingga maksimal 24 bulan sejak persetujuan |
| Risiko Jika Tidak Dipenuhi | Tidak diatur khusus | Fasilitas gugur dan DJP dapat melakukan penagihan |
| Tujuan Utama | Meringankan beban sanksi akibat keterlambatan | Menjaga likuiditas dan kemampuan bayar Wajib Pajak |
Baca Juga: Apakah Bantuan dari Luar Negeri untuk Korban Bencana Kena Pajak?
FAQ Seputar Relaksasi Pajak DJP untuk Aceh, Sumut, dan Sumbar
1. Apa itu relaksasi pajak DJP untuk Aceh, Sumut, dan Sumbar?
Relaksasi pajak adalah kebijakan DJP berupa penghapusan sanksi administrasi pajak bagi Wajib Pajak di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat yang terdampak bencana alam, sebagaimana diatur dalam KEP-251/PJ/2025.
2. Kewajiban pajak apa saja yang mendapatkan relaksasi?
Relaksasi mencakup keterlambatan:
- Penyampaian SPT Masa dan SPT Tahunan;
- Pembayaran atau penyetoran pajak;
- Pembuatan faktur pajak PPN dan PPnBM untuk masa pajak November–Desember 2025.
3. Sampai kapan batas waktu pemenuhan kewajiban pajak tanpa sanksi?
Wajib Pajak terdampak bencana dapat menyampaikan SPT, membayar pajak, dan membuat faktur pajak paling lambat 30 Januari 2026 tanpa dikenai sanksi administrasi.
4. Apakah Wajib Pajak perlu mengajukan permohonan untuk mendapatkan relaksasi ini?
Tidak. Relaksasi dalam KEP-251/PJ/2025 diberikan secara otomatis selama Wajib Pajak memenuhi kriteria wilayah dan periode yang ditentukan.
5. Apa perbedaan relaksasi pajak KEP-251/PJ/2025 dan PMK 81/2024?
KEP-251/PJ/2025 mengatur penghapusan sanksi administrasi, sedangkan PMK 81/2024 mengatur penundaan atau pengangsuran pembayaran pokok pajak yang harus diajukan melalui permohonan resmi dan dapat berlaku hingga 24 bulan.









