DJP Akan Panggil Wajib Pajak untuk Klarifikasi Hasil Pemeriksaan Bukper

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) akan memanggil wajib pajak yang telah menjalani pemeriksaan bukti permulaan (bukper) untuk melakukan klarifikasi atas hasil pemeriksaan. Klarifikasi ini dilakukan sebelum DJP menerbitkan pemberitahuan hasil pemeriksaan bukper. 

Tujuan adanya klarifikasi adalah untuk membahas potensi kerugian pada pendapatan negara yang ditemukan dalam pemeriksaan bukper. Wajib pajak yang dipanggil diharuskan hadir untuk memberikan keterangan dan penjelasan terkait temuan tersebut. 

Tata Cara Panggilan Klarifikasi atas Hasil Pemeriksaan Bukti Permulaan 

Mengacu pada Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-1/PJ/2024, tata cara panggilan klarifikasi dimulai dengan DJP yang akan mengirim surat panggilan klarifikasi paling lambat 2 bulan sebelum pemeriksaan bukper selesai. Klarifikasi dapat dilakukan di kantor DJP, rumah sakit, lembaga pemasyarakatan, atau rumah, tergantung pada kondisi wajib pajak. 

Wajib pajak yang menerima surat panggilan klarifikasi wajib hadir untuk memberikan keterangan. Klarifikasi merupakan bagian penting dalam proses pemeriksaan bukper, sehingga wajib pajak perlu memberikan informasi yang lengkap dan akurat. 

Hasil klarifikasi akan dituangkan dalam berita acara dan risalah klarifikasi. DJP kemudian akan menggunakan informasi ini untuk membuat dan menyampaikan pemberitahuan hasil pemeriksaan bukper kepada wajib pajak. 

Pemberitahuan hasil pemeriksaan bukper memuat informasi tentang bukper atas dugaan tindak pidana pajak, penghitungan kerugian pada pendapatan negara, pengungkapan ketidakbenaran oleh wajib pajak, dan kesesuaian pengungkapan ketidakbenaran dengan keadaan sebenarnya. Pemberitahuan ini umumnya diterbitkan maksimal 1 bulan setelah surat panggilan klarifikasi diterbitkan. 

Baca juga: Rasio Cakupan Pemeriksaan Meningkat, Puluhan Ribu WP Diperiksa DJP

Berdasarkan Pasal 12 Ayat 3 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), apabila hasil pemeriksaan atau keterangan lain didapati bahwa pajak yang dihitung dan dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan tidak benar, misalnya pembebanan biaya ternyata melebihi yang sebenarnya, maka DJP akan menetapkan besarnya pajak yang terutang disesuaikan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Akan tetapi, bila tidak ditemukan bukti yang dimaksud, berarti tidak ada alasan yuridis bagi fiskus untuk mengoreksi pajak yang terutang di dalam SPT dan segera menerbitkan Surat Ketetapan Pajak.  

Nilai kerugian pada pendapatan negara dalam pemberitahuan hasil pemeriksaan bukper pada dasarnya sama dengan nilai dalam surat panggilan klarifikasi, kecuali jika ada bukti baru yang ditemukan setelah klarifikasi. 

Produk Hukum Hasil Pemeriksaan Bukper 

Adapun produk hukum dari pemeriksaan bukper ditindaklanjuti dengan penyidikan oleh pejabat yang berwenang membuat laporan kejadian. Hal ini diatur secara tegas dalam Pasal 29 Undang-undang KUP dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013. Jika kemudian pemeriksaan ternyata tidak berlanjut ke ranah pidana, atau tidak ditingkatkan menjadi pemeriksaan bukper, lalu ke penyidikan, maka dapat dikatakan produk hukum pemeriksaan hanya bertujuan  menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan. Pada ranah administrasi akan terbit beberapa surat ketetapan pajak atau surat tagihan pajak. Surat ketetapan pajak berupa Surat Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB), Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), dan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB),  

Baca juga: Pemeriksaan Uji Kepatuhan Pajak Bisa Diperpanjang

Namun, produk hukum ini turut menimbulkan pro dan kontra, seperti yang dikutip dari Simposium Nasional Keuangan Negara (SNKN) tahun 2018, beberapa pihak berpendapat bahwa pemeriksaan seharusnya lebih diutamakan dibandingkan dengan pemeriksaan bukti permulaan, mengingat sanksi yang berlaku di hukum pajak bersifat ultimum remedium. Sedangkan pihak lain berpendapat sebaliknya. Maka dalam hal ini DJP dapat memberi solusi dari perbedaan pendapat tersebut, sebab berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dan akhirnya berdampak pada tingkat kepatuhan masyarakat untuk membayar pajak.  

DJP berharap dengan adanya klarifikasi ini, potensi kerugian pada pendapatan negara dapat diminimalisir dan kepatuhan wajib pajak dapat ditingkatkan.