Pemerintah Provinsi Bali tengah mempertimbangkan untuk menghentikan operasional AirBnb di Pulau Dewata. Gubernur Bali Wayan Koster menilai keberadaan platform tersebut belum memberi kontribusi optimal terhadap pendapatan asli daerah (PAD).
“Jumlah wisatawan yang datang ke Bali memang meningkat, namun tingkat hunian akomodasi tidak ikut naik dan tidak sebanding dengan pertumbuhan kunjungan tersebut,” ujarnya, dikutip Jumat (5/12/2025).
Lebih lanjut, Koster mengungkapkan bahwa lebih dari 2.000 hotel dan vila beroperasi tanpa izin resmi. Banyak dari unit tersebut disewakan secara harian melalui platform digital, namun tidak membayar pajak daerah sebagaimana mestinya.
Koster menegaskan bahwa pemerintah daerah akan melakukan penertiban mulai 2026, khususnya terhadap rumah dan vila pribadi yang disewakan dengan harga murah tanpa izin dan tanpa penyetoran pajak.
Aturan Pajak Hotel Menurut UU HKPD
Wacana tersebut lantas memantik pertanyaan, bagaimana sebenarnya aturan pajak bagi penginapan berbasis platform digital di Indonesia? Apakah penyewaan properti melalui AirBnb memang wajib membayar pajak daerah?
Jawabannya, ya, penginapan yang memasarkan jasanya lewat platform digital memang wajib membayar pajak. Ketentuan ini diatur dalam UU No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD).
UU HKPD mengatur bahwa seluruh bentuk penyediaan jasa akomodasi masuk dalam kategori Jasa Perhotelan, yang merupakan objek Pajak Daerah, tepatnya Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) untuk sektor perhotelan.
Baca Juga: Mengenal Jasa Hotel yang Dikenakan dan Tidak Dikenakan PPN
Semua Penginapan Harian Masuk Objek Pajak Hotel
Pasal 53 ayat (1) UU HKPD menjabarkan secara rinci bahwa Jasa Perhotelan mencakup sejumlah bentuk akomodasi seperti:
- hotel, motel, losmen, hostel
- vila, pondok wisata
- guesthouse, bungalow, cottage, resort
- wisma pariwisata, pesanggrahan
- tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel
- glamping
Kategori “tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel” inilah yang menjadi kunci dalam konteks AirBnb. Dalam penjelasan resminya disebutkan bahwa kategori ini mencakup:
- rumah,
- apartemen,
- atau kondominium yang disewakan selayaknya hotel, selama penyewaannya tidak dalam bentuk kontrak jangka panjang (lebih dari satu bulan).
Baca Juga: Pemprov Jakarta Beri Diskon Pajak Hotel dan Restoran Hingga 50%
Kewajiban Pajak Ada pada Pemilik Properti, Bukan AirBnb
Pasal 56 ayat (2) UU HKPD menjelaskan lebih lanjut terkait transaksi akomodasi yang dipasarkan oleh pihak ketiga. Bahwasanya, “Wajib Pajak PBJT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu.”
Dengan demikian:
- Pemilik vila, rumah, atau apartemen yang disewakan melalui AirBnb wajib memungut Pajak Hotel dari tamu.
- Pajak tersebut wajib disetor kepada pemerintah daerah sesuai Perda yang berlaku.
- AirBnb tidak berkewajiban memungut atau menyetor Pajak Hotel karena perannya hanya sebagai penyedia layanan pemasaran.
Mengapa Banyak Penginapan AirBnb Tidak Bayar Pajak?
Meskipun UU sudah jelas, beberapa tantangan sering muncul di lapangan:
- Tidak adanya izin usaha, sehingga pemilik tidak terdaftar sebagai Wajib Pajak Daerah.
- Transaksi dilakukan melalui platform digital, tetapi tidak dilaporkan kepada pemerintah daerah.
- Kurangnya pemahaman pemilik properti bahwa sewa harian termasuk objek Pajak Hotel.
- Tarif sewa murah karena tidak memungut pajak, sehingga merugikan hotel berizin dan menurunkan penerimaan daerah.
Di sinilah, letak kekhawatiran Pemerintah Bali. Semakin banyak akomodasi ilegal, semakin besar potensi kebocoran PAD yang seharusnya diperoleh melalui Pajak Hotel.









