Pajak menjadi sektor utama penerimaan negara yang mempunyai peranan penting dalam pembangunan. Dalam pelaksanaannya diatur dalam peraturan perundang-undangan dan ketentuan perpajakan. Diharapkan melalui sistem tersebut adanya perkembangan pengadaan pembangunan nasional. Hal ini ditegaskan dalam UUD 1945 yang tertuang dalam pasal 23A yakni pajak menjadi aspek penting pembangunan dan mewujudkan kesejahteraan suatu bangsa.
Tanpa penerimaan pajak yang optimal pelaksanaan kegiatan pun akan tertunda. Sebagai negara hukum Indonesia telah menetapkan aturan terkait pemungutan dan/atau pemotongan pajak. Hal ini betujuan untuk menjaga penerimaan negara yang optimal dan berkelanjutan secara signifikan.
Perkembangan Pajak di Indonesia Menurut OECD
Indonesia telah menempuh perjalanan panjang dalam memperbaiki sistem perpajakannya selama dekade terakhir, baik dalam hal peningkatan pendapatan maupun efisiensi administrasi. Meskipun demikian, penerimaan pajak masih rendah, mengingat perlunya lebih banyak pengeluaran untuk infrastruktur dan perlindungan sosial. Dengan pengecualian sektor sumber daya alam, peningkatan penerimaan pajak paling baik dicapai melalui perluasan basis pajak dan perbaikan administrasi perpajakan, daripada perubahan jadwal perpajakan yang tampaknya sejalan dengan praktik internasional.
Langkah-langkah yang mungkin untuk memperluas basis pajak termasuk memasukkan lebih banyak wiraswasta ke dalam sistem pajak, mengenakan tunjangan dan tunjangan tambahan yang diberikan pemberi kerja untuk pajak pendapatan pribadi dan mengurangi pengecualian dari pajak pertambahan nilai. Peningkatan administrasi perpajakan telah membuat kemajuan besar di Indonesia sejak tahun 2002, meskipun masih ada ruang untuk meningkatkan pelatihan petugas pajak dan kapasitas pemeriksaan dan litigasi administrasi, sekaligus memperkuat Sistem Pengendalian Internal atau SPI dan meningkatkan transparansi keputusan.
Pemerintah menggunakan sistem pajak sebagai instrumen kebijakan untuk mencapai berbagai tujuan, di antaranya redistribusi pendapatan, stabilisasi ekonomi, penyediaan barang publik, dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Kombinasi dan pentingnya tujuan ini berbeda-beda untuk setiap negara, dan biasanya bergantung pada latar belakang politik dan ekonomi masing-masing. Hingga saat ini pajak tetap menjadi garda terdepan perekonomian bangsa, oleh karena itu pelaksanaan pemungutan pajak tetap dilakukan sesuai dengan landasan hukum.
Objek Pajak
Dalam artikel ini akan dibatasi dalam cakupan objek pajak penghasilan. Diatur dalam Undang-Undang No 36 tahun 2008 sebagaimana digubah terakhir pada Undang-Undang No 7 tahun 2021 serta aturan turunannya yakni PP 55 tahun 2022, objek pajak penghasilan terdiri dari seluruh tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh oleh wajib pajak dengan nama dan dalam bentuk apapun, baik diperuntukan untuk konsumsi ataupun investasi.
Objek pajak ini akan dikenakan pajak yang bersifat non final, final ataupun tidak kenakan pajak atau non objek pajak. Hal ini diatur dalam pasal 4 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU PPh. Adapun, objek pajak yang dikenakan pajak final seperti bunga tabungan, bunga depostio, hadiah undian sedangkan yang digolongkan sebagai non objek yakni warisan dalam garis keturunan satu derajat, hibah, sumbangan, dan lain sebagainya. Guna mengetahui besaran pajak yang harus disetorkan ke negara terlebih dahulu dilakukan perhitungan pajak sesuai dengan ketentuan perpajakan.
Baca juga: Ketahui 3 Cara Pelunasan Cukai Di sini
Perhitungan Pajak
Perhitungan pajak didasarkan atas besaran penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib pajak. besaran inilah yang menjadi dasar pengenaan pajak untuk menghitung besaran pajak terutang. Tarif yang digunakan dalam perhitungan pajak telah ditetapkan dalam peraturan perpajakan. Tarif ini menyongsong keadilan pajak yang bersifat vertikal dimana besaran tarif pajak ditentukan oleh besaran penghasilan yang diterima.
Pelaksanaan ini sangat memperhatikan asas keadilan. Tarif pajak penghasilan diatur dalam UU PPh pasal 17 dimana disana dirinci lapisan tarif untuk wajib pajak badan ataupun orang pribadi. Fokus dalam artikel ini adalah wajib pajak orang pribadi. Lapisan tarif bagi wajib pajak orang pribadi yakni:
| Keterangan | Rentang | Tarif |
| Lapisan 1 | 0 – Rp60 juta | 5% |
| Lapisan 2 | >Rp60 – Rp250 juta | 15% |
| Lapisan 3 | >Rp250 – Rp500 juta | 25% |
| Lapisan 4 | >Rp500 – Rp5 milyar | 30% |
| Lapisan 5 | >Rp5 milyar | 35% |
Lapisan, rentang dan besaran tarif ini berubah setelah adanya UU HPP yang mana sebelumnya tarif pajak hanya terdapat 4 lapisan saja. Dengan adanya penyesuaian ini diharapkan lebih menunjukan kepastian hukum dan keadilan. Tak hanya tarif pasal 17 yang terdiri dari 5 lapisan tarif ini, wajib pajak orang pribadi dapat memilih menggunakan Norma Perhitungan Penghasilan Netto atau NPPN
Baca juga: Penerapan Pajak Karbon Sebagai Upaya Pengendalian Iklim Global
Norma Perhitungan Penghasilan Netto
Wajib pajak yang dapat menggunakan NPPN adalah wajib pajak orang pribadi pengusaha dengan peredaran bruto kurang dari Rp4,8M dan wajib pajak orang pribadi pekerja bebas. Sebelum menggunakan norma wajib pajak harus menyampaikan permohonan tertulis kepada DJP dengan jangka waktu 3 bulan pertama pada tahun pajak bersangkutan. Kewajiban perpajakan wajib pajak yang menggunakan NPPN yakni menyelenggarakan pencatatan. Untuk daftar tarif pajak penggunaan NPPN diatur dalam PER 17/PJ/2015. Tarif ini tergantung dari uraian KLU dan wilayah baik di dalam ibu kota provinsi, ibu kota provinsi lainnya, dan daerah lainnya.
Simulasi:
Pak Anton merupakan wajib pajak usahawan dengan melakukan usaha pertanian. Kode KLU pak anton 01111 dengan wilayah ibu kota provinsi. Selama tahun 2022 peredaran usaha pak anton sebesar Rp 2M dan telah menggunakan norma sejak tahun 2020. Bagaimana kewajiban perpajakan bapak anton?
Jawab:
Peredaran usaha = Rp 2M
% tarif NPPN = 15%
Penghasilan netto = Rp 2M x 15%
Penghasilan netto = Rp 300 juta
Tarif Pajak:
Rp 60.000.000 x 5% = Rp 3.000.000
Rp 190.000.000 x 15% = Rp 28.500.000 juta
Rp 50.000.000 x 25% = Rp 1.250.000
Pajak terutang = Rp 32.750.000 juta.
Dengan menggunakan kasus yang sama namun perhitungan pajak tanpa norma, maka perhitungannya
Dari jumlah peredaran usaha Rp 200 juta diketahui besaran biaya lain lain termasuk biaya operasional dan pemasaran sebesar Rp 100 diasumsikan tuan anton tidak memperoleh penghasilan lainnya di luar kegiatan usaha sehingga penghasilan neto sebesar Rp 100. Diketahui tuan anton telah menikah dan memiliki 3 orang anak. Istri tuan anton tidak bekerja, maka perhitungan pajaknya?
Jawab:
Penghasilan neto = Rp 100 juta
PTKP = Rp 72 juta
PKP = 28 juta
Tarif Pajak = 5% * Rp 28 juta = Rp 1,4 juta.









