Penerapan Pajak Karbon Sebagai Upaya Pengendalian Iklim Global

Emisi karbon menjadi salah satu penyebab perubahan iklim di dunia, yang berdampak terhadap lingkungan, kesehatan, hingga ketidakstabilan pertumbungan ekonomi. Beberapa studi penelitian emisi karbon, mengungkapkan bahwa emisi antropogenik dari satu triliun ton karbon cenderung menyebabkan peningkatan suhu sebesar 200C. Hal tersebut menjadi perhatian dunia khususnya negara-negara seperti China, Rusia, Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Jepang karena merupakan negara sebagai penghasil emisi karbon terbesar di dunia. 

Menurut Cambridge Dictionary, emisi diartikan sebagai sejumlah gas, cahaya, atau senyawa yang dikeluarkan oleh sistem pembuangan. Emisi karbon adalah suatu senyawa yang dikeluarkan oleh proses pembakaran senyawa yang mengandung karbon. Emisi karbon setiap tahunnya mengalami pengingkatan lantaran peningkatan populasi dunia dan pertumbuhan ekonomi yang pesat berkelanjutan. 

Hal tersebut melatarbelakangi Indonesia menanggapi dengan serius emisi karbon yang terjadi. Melalui cluster terbaru pajak karbon dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), pemerintah Indonesia mengenakan pajak atas emisi karbon. Tentunya hal ini harus didukung oleh penerapan yang dapat merubah perilaku ekonomi yang memiliki potensi menghasilan emisi karbon. Sebagai salah satu negara yang akan mengimplementasikan terlebih dahulu pajak karbon, Indonesia menjadi penggerak pertama pajak karbon di dunia.

Baca juga Sri Mulyani Ungkap Perluasan Pajak Karbon Hingga Empat Sektor Setelah PLTU

Tujuan pengenaan pajak karbon tidak semata-mata untuk meningkatkan penerimaan negara dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) melainkan penerapan ini sebagai bukti masyarakat dan pemerintah Indonesia berkomitmen menggunakan berbagai kebijakan fiskal untuk membiayai pengendalian perubahan iklim. 

Dalam UU HPP dijelaskan pajak karbon dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup dengan tetap memperhatikan peta jalan pajak karbon dan/atau peta jalan pasar karbon yang telah dikonsultasikan bersama Komisi XI DPR. Peta pajak karbon memuat strategi penurunan emisi karbon, sasaran sektor prioritas, keselarasan dengan pembangunan energi baru dan keselarasan antara berbagai kebijakan lainnya. Orang pribadi atau badan yang membeli barang megandung karbon dan/atau melakukan aktivitas yang dapat menghasilkan emisi karbon, dikenakan pajak terutang dalam jumlah dan periode tertentu.

Tarif pajak karbon ditetapkan per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan setara, dengan tarif paling rendah Rp 30,00 per kilogram karbon atau setara US$ 2,1 per ton CO2. Penerimaan dari pajak dapat dialokasikan untuk pengendalian perubahan iklim. Agar instrumen ini berjalan optimal, maka pemerintah menyusun berbagai aturan turunan dari Peraturan Presiden No. 98 Tahun 2021 tekait Tata Laksana Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon. Hal ini sejalan dengan upaya pemerintah guna mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29% dengan kemampuan sendiri dan 41% dengan dukungan internasional tahun 2030.

Baca juga Sri Mulyani Tegaskan Pajak Karbon Akan Tetap Berlaku Tahun Ini

Bagi wajib pajak yang berpartisipasi dalam perdagangan, pengimbangan, atau mekanisme lain terkait pajak karbon, maka atas hal tersebut dapat diberikan pengurangan pajak karbon dan/atau perlakuan lainnya atas pemenuhan kewajiban pajak karbon. Emisi gas rumah kaca dari baru bara diproyeksikan meningkat sebesar 34,5% dari 222,22 juta ton CO2 pada tahun 2021 menjadi 298,9 juta ton di tahun 2030 oleh karena itu, pajak karbon disasarkan pertama kali pada sektor Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara.

Hal tersebut merupakan upaya penerintah dalam mengejar target kewajiban Indonesia dalam Nationally Determined Contribution (NDC) dari penerapan Paris Agreement dan secara bertahap akan diberlakukan ke seluruh sektor yang wajib pajak karbon dengan tetap memperhatikan prioritas dalam pencapaian target NDC, perkembangan pasar karbon, kesiapan sektor, dan kondisi perekonomian Indonesia. 

Pelaksanaan pajak karbon ditunda penerapannya menjadi 1 Juli 2022 setelah mendiskusikan implemetasinya dengan Depan Perwakilan Rakyat (DPR), yang sebelumnya direncanakan 1 April 2022, hal tersebut dikarenakan pemerintah masih melihat faktor ketidakpastian dan kesiapan pelaku industri yang membuat harga energi masih tinggi.

Pemerintah tetap mempertimbangkan kondisi domestik dalam menerapkan pajak karbon dan tetap menyusun regulasi atas penerapan pajak karbon, jelas Menteri Keuangan Sri Mulyani. Selain itu, Kementerian Energi Sumber Daya dan Mineral menyebutkan pelaksanaan pajak karbon 1 Juli 2022 mendatang diyakini dapat meningkatkan bauran energi baru yang terbarukan serta kesiapan di setiap sektor menjadi salah satu pertimbangan penundaan pajak karbon. Pemerintah memastikan penerapan pajak karbon tetap mengedepankan prinsip keadilan, dengan memperhatikan iklim berusaha dan masyarakat luas. 

Dengan adanya penerapan pajak karbon sebagai upaya pengendalian iklim global, pajak karbon dikenakan sebesar Rp 30,00 per kilogram karbon. Dalam UU HPP, direncanakan pelaksanaan pajak karbon dimulai 1 April 2022, tetapi karena belum kesiapan pelaku industri dan pemerintah masih menyusun regulasi atas penerapan pajak karbon, pelaksanaannya diundur menjadi 1 Juli 2022.