Mewujudkan Pengawasan Pajak yang Berkeadilan di Tengah Pemulihan Ekonomi
Optimalisasi penerimaan pajak menjadi prioritas utama Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam mencapai target APBN. Salah satu strategi yang dijalankan adalah memperkuat pengawasan dan penegakan hukum secara berkeadilan. Namun, di tengah upaya tersebut, muncul tantangan baru akibat ketidakstabilan ekonomi yang menyebabkan banyak perusahaan mengalami financial distress.
Penggalian potensi pajak oleh DJP idealnya tidak hanya mengacu pada rasio-rasio keuangan konvensional, melainkan juga perlu mempertimbangkan kondisi kesulitan keuangan yang dialami oleh wajib pajak. Terutama pada masa pemulihan ekonomi seperti pasca pandemi dan krisis global, pendekatan yang lebih komprehensif menjadi penting agar kebijakan fiskal tidak menimbulkan tekanan berlebihan kepada dunia usaha.
Compliance Risk Management (CRM) sebagai Alat Pengawasan
Untuk melakukan pengawasan yang lebih objektif, DJP memanfaatkan Compliance Risk Management (CRM). Sistem ini memetakan tingkat risiko wajib pajak berdasarkan kepatuhan dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Dengan CRM, DJP dapat mengidentifikasi potensi kehilangan penerimaan dari wajib pajak yang tidak patuh dan memprioritaskan wajib pajak mana yang perlu diawasi lebih ketat.
Namun demikian, dalam praktiknya, CRM tetap perlu dilengkapi dengan analisis tambahan, salah satunya adalah mengukur kondisi keuangan perusahaan yang mengalami financial distress.
Baca juga: DJP Tambah 115 Negara dalam AEoI untuk Perketat Pengawasan Pajak Global
Financial Distress dan Implikasinya dalam Perilaku Pajak Perusahaan
Berdasarkan temuan penelitian (Edwards et al., 2013), perusahaan yang mengalami financial distress cenderung mengambil keputusan pajak yang lebih agresif. Dalam situasi darurat keuangan, manajemen biasanya terdorong untuk meminimalisir beban pajak sebagai upaya mempertahankan stabilitas kas perusahaan.
Chen (2015) juga mengungkapkan bahwa tekanan keuangan menyebabkan perusahaan lebih cenderung melakukan “window dressing” pada laporan keuangan guna memberikan gambaran yang lebih positif bagi pemangku kepentingan, termasuk fiskus.
Profitabilitas dan Utang dalam Hubungannya dengan Penghindaran Pajak
1. Pengaruh Profitabilitas
Profitabilitas yang diukur melalui Return on Assets (ROA) merupakan indikator utama dalam menentukan potensi penghindaran pajak. Semakin tinggi tingkat laba yang dicapai perusahaan, semakin tinggi pula pajak yang harus dibayarkan. Dalam praktiknya, perusahaan dengan profitabilitas tinggi memiliki kecenderungan lebih besar untuk melakukan perencanaan pajak yang agresif demi menekan beban pajak.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara parsial, profitabilitas berpengaruh positif dan signifikan terhadap penghindaran pajak.
2. Pengaruh Utang
Dalam studi ini, Debt to Asset Ratio (DAR) digunakan untuk mengukur pengaruh utang terhadap penghindaran pajak. Utang memiliki implikasi fiskal karena biaya bunga utang dapat menjadi pengurang penghasilan kena pajak.
Namun, dengan diberlakukannya PMK Nomor 169/PMK.010/2015 yang membatasi rasio utang terhadap modal, kecenderungan perusahaan untuk melakukan perencanaan pajak melalui leverage menjadi terbatas. Hal ini menyebabkan utang secara parsial tidak menunjukkan pengaruh signifikan terhadap penghindaran pajak dalam riset ini.
|
Variabel |
Pengaruh Terhadap Penghindaran Pajak |
| Profitabilitas (ROA) | Positif dan Signifikan |
| Utang (DAR) | Tidak Signifikan (parsial) |
| Financial Distress (Z-Score) | Memoderasi pengaruh utang terhadap penghindaran pajak |
Baca juga: Sri Mulyani Tingkatkan Pengawasan Akuntan dan Konsultan Pajak Melalui Direktorat Baru
Peran Financial Distress sebagai Variabel Moderasi
Studi ini menggunakan Altman Z-Score untuk mengukur tingkat financial distress. Temuan penting dalam penelitian ini adalah:
- Financial distress tidak memoderasi pengaruh profitabilitas terhadap penghindaran pajak. Artinya, meskipun perusahaan dalam kondisi tertekan, manajemen tetap akan melakukan perencanaan pajak agresif selama laba perusahaan tinggi.
- Financial distress memoderasi pengaruh utang terhadap penghindaran pajak. Perusahaan yang sehat secara finansial akan lebih cenderung memanfaatkan utang sebagai alat penghindaran pajak.
Implikasi Kebijakan untuk DJP
Dalam konteks pengawasan pajak, DJP disarankan untuk:
- Tidak hanya memantau rasio utang dan profitabilitas, tetapi juga memperhatikan indikator financial distress sebelum melakukan pemeriksaan pajak.
- Menyesuaikan strategi pengawasan dengan memperhatikan sektor industri yang terdampak krisis. Misalnya, sektor manufaktur sebagai penyumbang pajak terbesar tahun 2020, patut dipetakan secara lebih detail.
- Memperkuat pemetaan CRM dengan menambahkan variabel kondisi keuangan perusahaan agar pendekatan pengawasan lebih berkeadilan, khususnya di masa pemulihan ekonomi.
Kesimpulan
Hasil studi ini menegaskan bahwa financial distress menjadi variabel penting yang harus dipertimbangkan dalam penggalian potensi pajak oleh DJP. Sementara profitabilitas terbukti menjadi pendorong utama perilaku penghindaran pajak, kondisi utang hanya berdampak signifikan pada perusahaan yang memiliki kesehatan finansial baik.
Dalam masa krisis atau ketidakpastian ekonomi, pemetaan risiko wajib pajak perlu mempertimbangkan kondisi keuangan yang riil agar langkah pengawasan tetap proporsional dan tidak menambah beban bagi wajib pajak yang sedang dalam kesulitan.









