Hari-hari akhir masa batas lapor Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan pajak 2023 bagi wajib pajak (WP) orang pribadi kian dekat. Tanggal 31 Maret 2024 tidak lebih dari satu minggu, sementara WP badan memiliki tenggat waktu yang sedikit lebih panjang, yaitu hingga 30 April 2024.
Dalam proses pelaporan, selain ketepatan waktu, penting bagi masyarakat untuk memastikan bahwa SPT Tahunannya dilaporkan secara akurat. Jika Wajib Pajak gagal melaporkan SPT Tahunan hingga akhir masa pelaporan, konsekuensinya adalah dikenakan sanksi oleh pemerintah. Disamping itu, jika SPT Tahunan yang dilaporkan tidak akurat atau tidak lengkap, hal tersebut dapat berujung pada persidangan di pengadilan pajak, karena sanksinya bisa berupa pidana.
Peraturan ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Pasal 39 dari UU tersebut menyatakan bahwa setiap orang yang tidak melaporkan SPT, atau melaporkannya dengan informasi yang tidak benar atau tidak lengkap sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, dapat dikenakan pidana dengan penjara minimal 6 bulan dan maksimal 6 tahun.
Baca juga: Cara Cek dan Bayar Denda Jika Terlambat Lapor SPT Tahunan
Selain itu, denda yang akan dikenakan setidaknya dua kali lipat dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, dan maksimal empat kali lipat dari jumlah pajak tersebut.
Contoh Kasus Pelanggaran Pajak dan Sanksinya
Terdapat beberapa contoh pelanggaran pajak yang telah diungkap oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan akhirnya dibawa ke pengadilan. Salah satunya adalah kasus yang melibatkan PT Bumi Sultra Jaya, sebuah perusahaan pengangkutan hasil tambang di Sulawesi Tenggara. Kasus ini melibatkan Wardan, seorang pengusaha yang akhirnya dijatuhi hukuman penjara dan denda karena terbukti tidak menyetorkan pajak yang telah dipungut dan melaporkan SPT dengan informasi yang tidak benar.
Ini tercermin dalam keputusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kendari dengan nomor perkara 373/Pid.Sus/2023/PN Kdi, yang dipublikasikan melalui situs resmi Ditjen Pajak. Dalam persidangan tersebut, Wardan terbukti bersalah karena tidak menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang telah dipungut untuk Masa Pajak Januari 2018 hingga Maret 2018 dan Masa Pajak Juni 2018 hingga Desember 2019. Selain itu, Wardan juga terbukti melaporkan SPT dengan informasi yang tidak benar atau tidak lengkap.
Karena tindakannya, negara mengalami kerugian sebesar Rp4.308.472.793, dan Wardan dinyatakan melanggar Pasal 39 ayat (1) huruf i UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Majelis Hakim PN Kendari pun menjatuhkan vonis pidana penjara selama enam bulan dan denda sebesar dua kali lipat dari jumlah kerugian negara, atau sekitar Rp8.616.945.586. Wardan diwajibkan untuk melunasi denda tersebut dalam waktu satu bulan, dan jika gagal melakukannya, harta bendanya akan disita dan dilelang untuk membayar denda pemulihan kerugian negara. Akan tetapi, jika nantinya hasil lelang ternyata tidak mencukupi dalam menutupi pembayaran denda, maka Wardan dipastikan mendapat hukuman penjara pengganti denda selama enam bulan.
Baca juga: Pindah Kerja Dalam Satu Tahun? Pelajari Cara Lapor SPT Tahunan Orang Pribadinya
Selain kasus tersebut, terdapat juga kasus lain yang melibatkan seorang bos perusahaan di industri logam. Dia ditangkap oleh Otoritas Pajak dan Kepolisian Daerah Jawa Barat karena diduga melakukan pelanggaran perpajakan. Perusahaan tersebut, PT IPK, yang dipimpin oleh BMS, diduga telah merugikan negara sebesar Rp4,3 miliar selama periode 2017 hingga 2018.
Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jawa Barat III bersama Polda Jawa Barat telah menyerahkan BMS kepada Kejaksaan Tinggi Jawa Barat melalui Kejaksaan Negeri Kabupaten Bogor. BMS dijadikan tersangka atas dugaan tidak melaporkan SPT dan/atau melaporkannya dengan informasi yang tidak benar atau tidak lengkap, serta tidak menyetorkan pajak yang telah dipungut.
Berdasarkan perbuatannya, BMS dinyatakan melanggar ketentuan Pasal 39 ayat (1) huruf c, d, dan huruf i Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yang telah diubah beberapa kali termasuk dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, bersamaan dengan Pasal 64 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Dalam kasus BMS, Otoritas Pajak mengancamnya dengan pidana penjara minimal enam bulan dan maksimal enam tahun, serta denda minimal dua kali lipat hingga empat kali lipat dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar.
Kedua kasus tersebut menunjukkan pentingnya kepatuhan terhadap peraturan perpajakan. Wajib Pajak harus melaporkan SPT dengan benar dan tepat waktu, serta memastikan pembayaran pajak yang tepat untuk mencegah risiko sanksi hukum yang serius. Dengan demikian, masyarakat diharapkan untuk mematuhi peraturan perpajakan demi kepentingan bersama dan stabilitas keuangan negara.









