Bagi sebagian orang yang familiar dengan ruang lingkup akuntansi maupun perpajakan pasti sudah tidak asing lagi dengan istilah pajak internasional. Pajak internasional merupakan pajak yang berkaitan dengan aspek internasional berdasarkan ketentuan ataupun peraturan perundang-undangan dalam bidang perpajakan di suatu negara. Ketentuan dalam pajak internasional ini terbagi menjadi dua jenis, yaitu ketentuan dalam negeri (domestik) dan tax treaty, termasuk juga Multilateral Instrument (MLI).
Pajak internasional ini terdapat istilah-istilah yang perlu diketahui seperti BUT atau Badan Usaha Tetap. BUT ini secara umum merupakan suatu bentuk usaha yang kerap kali digunakan SPLN (Subjek Pajak Luar Negeri) baik pribadi maupun badan dalam menjalankan kegiatan atau aktivitas usaha di Indonesia atau dalam artian lain BUT (Bentuk Usaha Tetap) merupakan salah satu cabang atau perwakilan perusahaan yang berasal dari luar negeri yang didirikan serta beroperasi di Indonesia.
Dalam pemajakannya, BUT (Badan Usaha Tetap) akan dikenakan BPT atau Branch Profit Tax. BPT ini merupakan biaya tambahan yang dikenakan kepada penghasilan neto BUT. Lantas, apa sebenarnya yang dimaksud dari istilah Branch Profit Tax dalam perpajakan internasional ini? Untuk informasinya, mari simak penjelasan di bawah ini.
Mengenal Branch Profit Tax
Seperti yang sudah dikatakan pada poin sebelumnya, istilah Branch Profit Tax atau disingkat BPT berkaitan dengan pajak internasional, khususnya pada Bentul Usaha Tetap (BUT). Branch Profit Tax itu sendiri didefinisikan sebagai pajak penghasilan (PPh) Pasal 26 yang dibebankan atas penghasilan kena pajak yang didaptkan oleh BUT (Bentuk Usaha Tetap) yang beroperasi di Indonesia, setelah dikurangi oleh PPh tahunan yang terutang.
Dengan kata lain, dasar pengenaan pajak (DPP) Branch Profit Tax ini ialah pada laba neto setelah pajak yang diperoleh BUT di Indonesia. Dalam pengenaannya, Branch Profit Tax ini berlaku bagi seluruh BUT (Bentuk Usaha Tetap) yang beroperasi di Indonesia, termasuk KKKS (Kontraktor Kontrak Kerja Sama) di sektor migas (minyak dan gas bumi).
Dasar Hukum Branch Profit Tax
Pengenaan atau pemungutan pajak melalui Branch Profit Tax ini memiliki dasar hukum yang telah tertuang dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) pada Pasal 26 Ayat (4). Dimana dalam pasal tersebut dijelaskan mengenai ketentuan-ketentuan pemajakan Branch Profit Tax terhadap Bentuk Usaha Tetap.
Tarif Branch Profit Tax
Berdasarkan ketentuan yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 26 Ayat (4) mengenai pajak penghasilan (UU PPh), dimana setelah penghasilan kena pajak dikurangi pajak dari BUT tersebut akan dikenakan Branch Profit Tax sebesar 20%. Tarif tersebut berlaku bagi BUT yang beroperasi di Indonesia namun berasal dari negara yang tidak memiliki kesepakatan atas tax treaty (non treaty partner).
Sementara itu, untuk BUT yang beroperasi di Indonesia namun menjalin kesepakatan atas tax treaty, maka tarif Branch Profit Tax yang dikenakan akan disesuaikan dengan hasil kesepakatan atau P3B (Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda) dengan negara terkait.
Baca juga: PBB P2: Pengertian, Objek dan Cara Hitung
Pengecualian Pengenaan Branch Profit Tax
Dalam pengenaan atau pemungutan Branch Profit Tax terdapat beberapa pengecualian. Hal ini tentunya disesuaikan dengan peraturan yang berlaku, yaitu Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 14/PMK.03/2011. Pada peraturan tersebut disebutkan yang dikecualikan dalam Branch Profit Tax ialah Bentuk Usaha Tetap yang berbentuk:
- Penyertaan modal pada suatu perusahaan yang baru saja didirikan dan bertempat di Indonesia sebagai perdiri ataupun peserta pendiri
- Penyertaan modal pada suatu perusahaan yang telah didirikan dan berpertempat di Indonesia sebagai pemegang saham, pembelian aktiva tetap yang diperuntukkan oleh BUT untuk menjalankan BUT atau melakukan kegiatan BUT di Indonesia
- Investasi dalam bentuk aktiva berwujud oleh BUT guna menjalankan usaha BUT atau melakukan kegiatan BUT di Indonesia.
Pengecualian pada Branch Profit Tax ini pun juga berlaku pada beberapa jenis penanaman modal, dimana pengecualian tersebut atas:
- Penanaman modal kembali di Indonesia harus dilakukan selambat-lambatnya pada akhir Tahun Pajak berikutnya, setelah Tahun Pajak diperolehnya penghasilan tersebut bagi Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan
- BUT (Bentuk Usaha Tetap) terkait menyampaikan pemberitahuan yang dilakukan secara tertulis mengenai bentuk dari penanaman modal tersebut, lalu realisasi penanaman modal kembali yang telah dilaksanakan atapun saat mulai diproduksi produk jualnya bagi perusahaan yang baru didirikan, yang dilakukan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar
- Adapun, tambahan syarat khusus penyertaan modal dalam bentuk penyertaan modal pada perusahaan yang baru didirikan:
- Perusahaan baru yang didirikan dan bertempat di Indonesia secara aktif telah melakukan kegiatan usaha sesuai akta pendiriannya, paling lama 1 (satu) tahun sejak perusahaan tersebut didirikan
- Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan tidak diperbolehkan untuk melakukan pengalihan atas penyertaan modal dalam kurun waktu 2 (dua) tahun sejak perusahaan baru dimaksud berproduksi komersial.
- Adapun, tambahan syarat khusus penyertaan modal dalam berupa penyertaan modal pada perusahaan yang sudah didirikan:
- Perusahaan yang sudah dibangun atau didirikan serta berlokasi di Indonesia memiliki kegiatan usaha aktif di Indonesia
- Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan tidak diperbolehkan melakukan pengalihan atas penyertaan modal dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun sejak penyertaan modal.
Baca juga: Perbedaan Faktur Pajak Normal Dengan Faktur Pajak Pengganti
Cara Perhitungan Branch Profit Tax
Pajak Penghasilan (PPh) = Laba usaha x Tarif PPh terutang
= Penghasilan Kena Pajak x Tarif BPT (20%)
Sebagai informasi, apabila perusahaan melakukan penanaman modal kembali ke Indonesia, maka BUT tersebut tidak akan dinakan Branch Profit Tax. Dalam perhitungan ini, adapaun contoh soal yang dapat diterakan oleh Branch Profit Tax:
Contoh Soal
- MW merupakan sebuah BUT di Indonesia yang berasal dari negara Iceland, yang mana negara tersebut non treaty partner. Pada tahun 2020 PT. MW memperoleh laba sebesar Rp. 5 miliyar. Setalah dilakukan rekonsiliasi fiskal pada laporan keuangan (laba rugi) tersebut, penghasilan kena pajak yang diperoleh PT. MW sebesar Rp. 3,5 miliyar. Sementara itu, PT. MW juga memiliki kredit pajak atas PPh 21 sebesar Rp. 100 juta dan PPh 23 sebesar Rp. 50 juta. Berapakah perhitungan pajak yang perlu dibayar oleh PT. MW?
Jawab
PPh Tahunan Terutang = Rp 3.500.000.000 x 25% = Rp 875.000.000
PPh Tahunan yang harus dibayar = Rp 875.000.000 – (Rp 100.000.000 + Rp 50.000.000)
= Rp. 875.000.000 – Rp 150.000.000
= Rp 725.000.000
PPh 26 (Branch Profit Tax) = Penghasilan Kena Pajak x Tarif BPT (20%)
= (Rp 3.500.000.000 – Rp 875.000.000) x 20%
= Rp 2.625.000.000 x 20%
= Rp 525.000.000
Jadi perhitungan pajak atas Branch Profit Tax (BPT) yang harus dibayarkan oleh PT. MW selaku BUT yang beroperasi di Indonesia ialah sebesar Rp. 525 juta.









