Sering kali ditemukan masalah atau perselisihan antara wajib pajak dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) karena adanya perbedaan cara pandang dalam memahami ketentuan perundang-undangan perpajakan yang diterbitkan. Hal ini menjadi salah satu hal yang menyebabkan terjadinya sengketa pajak, yang dapat berujung ke gugatan ke pengadilan pajak. Namun, sebelum memasuki ranah peradilan, ada solusi alternatif yang bisa digunakan dalam penyelesaian sengketa pajak yaitu dengan Alternative Dispute Resolution (ADR).
Mengenal Alternative Dispute Resolution
Dalam hal ini, sangat penting bagi wajib pajak dan DJP untuk menyelesaikan sengketa pajak sesegera mungkin karena sengketa pajak sendiri memiliki efek negatif bagi kedua belah pihak. Bagi wajib pajak, sengketa pajak dapat menimbulkan ketidakpastian hukum yang mengakibatkan terganggunya kegiatan usaha, meningkatkan biaya yang berlebih, juga dapat merusak reputasi usaha maupun wajib pajak itu sendiri. Tak jauh berbeda, sengketa pajak bagi DJP dapat menghambat proses pengumpulan pajak, meningkatkan biaya litigasi dan merusak reputasi DJP dengan turunnya kepercayaan publik terhadap sistem perpajakan yang berlaku. Alternative Dispute Resolution (ADR) merupakan penyelesaian sengketa alternatif yang dapat menjadi solusi untuk menyelesaikan sengketa pajak antara wajib pajak dan DJP dengan lebih efektif, efisien, dan fleksibel.
Jenis-jenis Alternative Dispute Resolution
Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dijelaskan mengenai beberapa jenis ADR yang dapat digunakan untuk menyelesaikan sengketa pajak, antara lain:
1. Konsultasi: proses penyelesaian antara wajib pajak dengan meminta pendapat kepada konsultan pajak atau DJP mengenai keputusan yang tepat dalam permasalahan perpajakan yang sedang terjadi.
2. Mediasi: proses penyelesaian sengketa dengan bantuan pihak ketiga yang netral dan independen, yaitu mediator, untuk membantu para pihak mencapai kesepakatan.
3. Negosiasi: proses penyelesaian sengketa secara langsung antara wajib pajak dan DJP untuk mencapai kesepakatan bersama.
4. Konsiliasi: proses penyelesaian sengketa antara wajib pajak dengan DJP dengan bantuan pihak ketiga yang netral dan independen, yaitu konsiliator, untuk membantu para pihak mencapai kesepakatan. Konsiliator memiliki kewenangan untuk memberikan saran dan solusi, namun putusannya tidak mengikat para pihak.
5. Arbitrase: proses penyelesaian sengketa antara wajib pajak dengan DJP dengan bantuan pihak ketiga yang netral dan independen, yaitu arbiter dengan keahlian khusus dibidangnya untuk memutuskannya. Putusan arbiter ini bersifat final dan mengikat para pihak.
Baca juga: e-Tax Court: Inovasi Digital dalam Penyelesaian Sengketa Pajak
Penggunaan ADR dalam penyelesaian sengketa pajak memiliki beberapa manfaat, selain lebih cepat dan murah dibandingkan dengan proses peradilan di pengadilan, proses ADR lebih fleksibel dan informal dibandingkan dengan proses peradilan di pengadilan menjadikan para pihak dapat lebih leluasa dalam mencapai kesepakatan dan berpotensi untuk mencapai win-win solution atau kesepakatan yang saling menguntungkan. Selain itu, dengan ADR membuat wajib pajak dan DJP dapat mempertahankan hubungan baik yang sudah terjalin.
Karena lebih berpotensi untuk mencapai kesepakatan yang win-win solution, umumnya ADR digunakan pada tahap awal sengketa pajak, sebelum diajukan ke pengadilan pajak. Namun, ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan sebelum menggunakan ADR, seperti jenis sengketa pajak karena tidak semua jenis sengketa pajak cocok untuk diselesaikan melalui ADR, kompleksitas sengketa pajak, nilai sengketa pajak yang besar, ketersediaan waktu dan biaya, serta kedua belah pihak memiliki itikad baik untuk mencapai kesepakatan.
Meskipun demikian, ADR juga dapat digunakan pada tahap akhir sengketa pajak, yaitu setelah diajukan ke pengadilan pajak. Hal ini dapat dilakukan jika wajib pajak dan DJP ingin menyelesaikan sengketa dengan lebih cepat dan murah, atau jika mereka ingin mencapai kesepakatan yang lebih fleksibel daripada yang dapat dicapai melalui putusan pengadilan.
Selain perbedaan interpretasi antara wajib pajak dan DJP terhadap peraturan perpajakan, berikut beberapa contoh situasi di mana penyelesaian dengan ADR dapat dilakukan:
1. Saat wajib pajak tidak puas dengan Surat Ketetapan Pajak (SKP) yang diterbitkan DJP
2. Saat wajib pajak kesulitan dalam memenuhi kewajiban perpajakannya
3. Saat terjadi perselisihan dalam pemeriksaan pajak antara wajib pajak dan DJP
Prosedur Alternative Dispute Resolution
Dalam prosedur penyelesaian ADR dapat berbeda-beda tergantung pada jenis ADR yang dipilih, adapun prosedur umum penyelesaian ADR dalam sengketa pajak terdiri dari beberapa tahap, sebagai berikut:
1. Wajib pajak mengajukan permohonan ADR kepada DJP menggunakan surat yang berisi informasi wajib pajak dan itikad baiknya dalam mencapai kesepakatan.
2. Setelah DJP menyetujui permohonan dan menyepakati jenis ADR yang akan digunakan, wajib pajak dan DJP akan menandatangani perjanjian ADR. Hal ini bersifat wajib karena menjadi dasar proses pelaksanaan ADR.
3. Kemudian, proses ADR dilakukan sesuai dengan jenis ADR yang dipilih sampai mencapai kesepakatan atau putusan. Jika ADR menggunakan arbitrase, maka putusan arbiter harus disahkan oleh pengadilan negeri sebelum dapat dilaksanakan.
4. Jika ADR berhasil, para pihak menandatangani Perjanjian Penyelesaian Sengketa (PPS). Namun, jika ADR gagal, Wajib pajak dapat melanjutkan sengketa ke pengadilan.
Pada dasarnya, ADR dapat digunakan untuk menyelesaikan semua jenis sengketa pajak. Penyelesaian sengketa pajak melalui ADR memang dapat dilakukan, tetapi itu tidak boleh digunakan untuk melonggarkan kepatuhan wajib pajak terhadap hukum yang berlaku. Namun, penerapan ADR dapat menjadi solusi yang lebih efektif bagi kedua belah pihak yang bersengketa untuk mencapai kesepakatan yang saling menguntungkan.
Baca juga Berita dan Artikel Pajakku lainnya di Google News









