Perbandingan Kebijakan Pajak Indonesia dan Vietnam
Pemerintah Vietnam telah memutuskan untuk memperpanjang kebijakan penurunan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10% menjadi 8% hingga Juni 2025. Kebijakan ini bertujuan untuk memperkuat daya beli masyarakat Vietnam di tengah tantangan ekonomi global. Di sisi lain, Indonesia justru akan memberlakukan kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% mulai 1 Januari 2025. Langkah ini menuai perhatian, terutama ketika negara-negara lain memilih untuk menurunkan pajak demi merangsang pertumbuhan ekonomi.
Namun, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Febrio Nathan Kacaribu, menyatakan bahwa kebijakan perpajakan Indonesia tidak bisa hanya dilihat dari sisi tarif PPN semata. Menurutnya, Indonesia menawarkan skema insentif perpajakan yang jauh lebih luas dan signifikan dibandingkan Vietnam. Ia menegaskan bahwa pembebasan PPN pada berbagai sektor strategis menunjukkan komitmen Indonesia dalam melindungi daya beli masyarakat sekaligus mendukung perekonomian nasional.
Febrio menyoroti bahwa bahan makanan di Vietnam tetap dikenai pajak sebesar 5%, sementara Indonesia sepenuhnya membebaskan bahan makanan pokok seperti beras, daging, dan sayuran dari PPN. Hal ini menjadi salah satu alasan mengapa kebijakan fiskal Indonesia dinilai lebih inklusif dan dermawan dibandingkan negara tetangga tersebut.
Baca juga: Perbandingan Sistem Perpajakan Indonesia Dengan Negara-negara ASEAN
Alokasi Insentif PPN pada 2025
Pemerintah Indonesia telah menganggarkan Rp265,6 triliun untuk insentif PPN pada 2025. Rincian insentif ini mencakup berbagai sektor penting, seperti:
- Rp77,1 triliun untuk pembebasan PPN bahan makanan.
- Rp61,2 triliun untuk insentif UMKM.
- Rp34,4 triliun untuk pembebasan PPN sektor transportasi.
- Rp30,8 triliun untuk pembebasan PPN jasa pendidikan dan kesehatan.
- Rp27,9 triliun untuk pembebasan PPN jasa keuangan dan asuransi.
Kebijakan ini dirancang untuk melindungi daya beli masyarakat di tengah kenaikan tarif PPN. Febrio menekankan bahwa pembebasan pajak ini mencerminkan keadilan fiskal yang berupaya menjangkau seluruh lapisan masyarakat, termasuk mereka yang paling rentan terdampak kenaikan harga.
Kebutuhan Kenaikan PPN di Indonesia
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menjelaskan bahwa kenaikan PPN menjadi 12% diperlukan untuk mendukung pembiayaan berbagai program unggulan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Ia memastikan bahwa penerimaan perpajakan sangat penting untuk menopang anggaran pembangunan di berbagai sektor, termasuk pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.
Namun, untuk mengurangi dampak negatif kenaikan PPN terhadap masyarakat, pemerintah mengeluarkan 15 kebijakan insentif fiskal yang terintegrasi. Airlangga menjelaskan bahwa langkah ini bertujuan melindungi masyarakat, mendukung pelaku usaha, menjaga stabilitas harga, dan memastikan pasokan bahan pokok tetap aman.
Daftar Lengkap Insentif Fiskal 2025
Berikut adalah daftar insentif fiskal yang dirancang untuk mendukung masyarakat dan dunia usaha pada 2025:
- Bahan pokok bebas PPN: Beras, daging, telur, sayur, buah-buahan, garam, gula konsumsi tetap bebas PPN.
- Jasa strategis bebas PPN: Jasa pendidikan, kesehatan, dan transportasi publik tetap bebas PPN.
- MinyakKita dan gula industri: Tetap dikenai PPN 11%, dengan 1% ditanggung pemerintah.
- Perpanjangan PPh Final UMKM: Tarif 0,5% diperpanjang hingga 2025.
- PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah: Pekerja sektor padat karya dengan gaji hingga Rp10 juta per bulan bebas PPh Pasal 21.
- Diskon listrik 50%: Untuk pelanggan daya 2.200 VA ke bawah selama Januari–Februari 2025.
- Bantuan pangan: Setiap keluarga penerima manfaat (KPM) akan menerima 10 kg beras selama dua bulan.
- Diskon PPN properti: PPN 100% untuk pembelian rumah hingga Rp2 miliar, dan diskon untuk rumah hingga Rp5 miliar.
- Jaminan PHK: Pekerja yang terkena PHK akan mendapat akses jaminan kehilangan pekerjaan dan kartu prakerja.
- Subsidi bunga 5%: Untuk revitalisasi mesin di sektor padat karya.
- Diskon iuran BPJS Ketenagakerjaan: Potongan 50% untuk jaminan kecelakaan kerja sektor padat karya selama enam bulan.
- Insentif kendaraan listrik: PPnBM DTP 15% untuk kendaraan berbasis baterai (CKD dan CBU).
- PPN Ditanggung Pemerintah: Diskon 10% untuk kendaraan listrik CKD.
- Bea masuk nol: Untuk kendaraan listrik CBU.
- PPnBM hybrid: Diskon 3% untuk kendaraan hybrid.
Baca juga: Indonesia Jadi Negara Pertama di ASEAN yang Punya Regulasi Penyimpanan Karbon
Perbedaan Kebutuhan Ekonomi Vietnam dan Indonesia
Menurut Febrio, kebijakan perpajakan di setiap negara mencerminkan kebutuhan ekonominya. Vietnam, yang masih berupaya memacu daya beli masyarakatnya, memilih menurunkan tarif PPN. Sementara itu, Indonesia yang memiliki kapasitas fiskal lebih besar berfokus pada pembebasan pajak untuk sektor strategis, seperti bahan pokok, pendidikan, dan kesehatan.
Ia juga menggarisbawahi bahwa kebijakan fiskal Indonesia dirancang tidak hanya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, tetapi juga memastikan stabilitas harga dan kesejahteraan masyarakat. Hal ini tercermin dalam berbagai insentif yang ditujukan untuk mendukung pelaku usaha kecil, sektor padat karya, dan masyarakat berpenghasilan rendah.
Meskipun tarif PPN Indonesia lebih tinggi dibandingkan Vietnam, pemerintah Indonesia menawarkan insentif fiskal yang jauh lebih besar untuk melindungi daya beli masyarakat. Kombinasi insentif ini mencakup pembebasan pajak untuk kebutuhan pokok, subsidi untuk sektor strategis, hingga bantuan langsung kepada masyarakat yang rentan.
Kebijakan fiskal ini mencerminkan strategi Indonesia untuk menjaga keseimbangan antara kebutuhan penerimaan negara dan perlindungan masyarakat dari dampak kenaikan harga. Dengan langkah yang terintegrasi, pemerintah berupaya memastikan bahwa kenaikan PPN tidak menghambat pertumbuhan ekonomi, melainkan mendukung kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan.









