Transaksi PPN Jasa Luar Negeri, Pakai Kurs Kapan?

Dalam era globalisasi dan digitalisasi ekonomi, transaksi lintas negara menjadi bagian tak terpisahkan dari dunia usaha. Salah satu bentuk transaksi internasional yang kerap terjadi adalah pemanfaatan Jasa Kena Pajak (JKP) atau Barang Kena Pajak (BKP) Tidak Berwujud dari luar negeri oleh pihak di dalam negeri. Atas transaksi inilah muncul kewajiban Pajak Pertambahan Nilai (PPN), yang sering dikenal dengan istilah PPN Jasa Luar Negeri (PPN JLN).

Namun, karena transaksi ini umumnya menggunakan mata uang asing—seperti dolar AS—maka muncul pertanyaan krusial: kapan kurs digunakan untuk menghitung PPN? Artikel ini membahas waktu pengenaan PPN JLN, penetapan kurs, dan pelaporan pajaknya sesuai ketentuan terbaru.

Kapan Kurs Digunakan?

Menurut PP Nomor 44 Tahun 2022 dan ditegaskan dalam praktik oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP), penghitungan PPN JLN dalam mata uang asing harus dikonversi ke rupiah menggunakan kurs Menteri Keuangan pada saat dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak seharusnya dibuat.

Perlu dicatat, untuk PPN JLN tidak diterbitkan faktur pajak seperti lazimnya PPN domestik, melainkan menggunakan dokumen pengganti berupa Surat Setoran Pajak (SSP) yang disertai bukti tagihan dan rincian transaksi jasa/BKP Tidak Berwujud dari luar negeri.

Baca juga: Nilai Tukar Rupiah Melemah, Apa Pengaruhnya terhadap Penerimaan Pajak?

Kapan Saat Terutang Pajaknya?

Saat terutang PPN atas PPN JLN terjadi pada waktu pemanfaatan jasa atau BKP Tidak Berwujud. Jika pembayaran dilakukan lebih dahulu, maka saat pembayaran itulah pajak dianggap terutang.

Adapun yang dimaksud “saat pemanfaatan” adalah:

  • Saat jasa digunakan;
  • Saat harga menjadi utang;
  • Saat tagihan diterbitkan;
  • Saat pembayaran dilakukan.

Jika tidak diketahui, maka merujuk pada tanggal penandatanganan kontrak.

Bagaimana Mekanisme Pembayaran dan Pelaporan?

PPN JLN dibayarkan oleh pihak yang memanfaatkan jasa di Indonesia, melalui SSP paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah saat terutang pajak. Pembayaran dilakukan melalui e-billing, dan dilaporkan dalam:

  • SPT Masa PPN (bagi PKP);
  • Surat pelaporan manual ke KPP (bagi non-PKP), dilampiri bukti setoran.

Contoh pengisian SSP:

  • Nama WP: Nama penyedia jasa luar negeri;
  • NPWP: 00.000.000.0-000.000;
  • Alamat WP: Alamat penyedia jasa di luar negeri;
  • Penyetor: Diisi oleh pengguna jasa di Indonesia (dengan NPWP);
  • Masa Pajak: Sesuai saat terutang PPN;
  • Kode Setoran: 411211 – 101 (untuk BKP tidak berwujud), atau 411211 – 102 (untuk JKP).

Baca juga: Memahami Pajak Penghasilan tas Surplus Bank Indonesia: Panduan Penghitungan dan Pembayaran

Ilustrasi Penghitungan PPN JLN

PT A (PKP di Indonesia) menggunakan desain sepatu dari perusahaan AS dan membayar royalti sebesar US$5 per pasang. Ketika mengekspor 40.000 pasang sepatu, total royalti mencapai US$200.000.

Jika kurs KMK saat itu Rp14.679/USD, maka:

  • DPP = US$200.000 × Rp14.679 = Rp2.935.800.000
  • PPN = (12% x 11/12) × Rp2.935.800.000 = Rp322.938.000

Jumlah tersebut disetor paling lambat 15 Juni jika terutang pada 10 Mei, dan dilaporkan dalam SPT Masa Mei.

Kesimpulan

Pemanfaatan jasa atau BKP tidak berwujud dari luar negeri di Indonesia membawa implikasi PPN yang wajib dipenuhi oleh pihak pemanfaat. Kunci kepatuhan terletak pada penghitungan kurs yang benar dan pelaporan yang tepat waktu. Wajib pajak harus memahami bahwa dokumen setara faktur, yaitu SSP, menjadi dasar legalitas pemenuhan kewajiban ini.

Pemahaman yang tepat akan ketentuan ini tidak hanya menghindarkan dari sanksi, tetapi juga mencerminkan komitmen pada kepatuhan perpajakan di era ekonomi terbuka.

*) Artikel ini disusun berdasarkan informasi dari laman resmi Direktorat Jenderal Pajak

Baca juga Berita dan Artikel Pajakku lainnya di Google News