Seperti yang kita ketahui bersama, pajak merupakan tulang punggung perekonomian sebuah negara, khususnya Indonesia. Penerimaan pajak digunakan untuk kepentingan masyarakat bersama seperti pembiayaan pembangunan, pelayanan publik, dan penyelenggaraan pemerintahan. Namun, Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan mengatakan dalam unggahan di salah satu akun media sosialnya, bahwa penerimaan pajak 2024 tidak sesuai target yang sudah direncanakan pada APBN 2024.
Begitulah kenyataannya, penerimaan pajak tidak selalu optimal karena adanya kebocoran pajak. Kebocoran ini adalah hilangnya potensi penerimaan pajak yang seharusnya bisa didapatkan oleh negara. Untuk itu, penting bagi kita untuk memahami apa saja sumber kebocoran pajak ini, untuk pengambilan langkah pencegahan oleh pemerintah maupun masyarakat.
Menurut berbagai penelitian, termasuk pandangan dari praktisi perpajakan, terdapat lima sumber utama kebocoran pajak, sebagai berikut:
1. Shadow Economy (Ekonomi Bayangan)
Shadow economy atau ekonomi bayangan adalah aktivitas ekonomi yang tidak tercatat secara resmi oleh pemerintah. Aktivitas ini meliputi bisnis tanpa izin, transaksi tunai tanpa bukti, pekerjaan informal, dan perdagangan barang ilegal. Contoh nyatanya adalah pedagang kecil yang tidak memiliki izin usaha atau perusahaan kecil yang tidak melaporkan pendapatan sebenarnya.
Di Indonesia, sektor informal yang cukup besar menjadi tantangan utama. Hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas), sekitar 59,17% tenaga kerja Indonesia masih bekerja di sektor informal dari 142,18 juta orang yang bekerja. Aktivitas ini sulit diawasi oleh otoritas pajak karena tidak terintegrasi dalam sistem administrasi pajak. Akibatnya, potensi pajak dari sektor ini tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal. Untuk mengatasi tantangan ini, pemerintah memberikan insentif bagi pelaku usaha kecil dalam melaporkan pajaknya melalui perhitungan pajak sesuai dengan PP 55/2022.
Baca juga: Ketahui Sanksi Berat Penyalahgunaan Pembebasan Cukai Berdasarkan PMK 82/2024
2. Kompetisi Pajak Antar Negara
Kompetisi pajak terjadi ketika negara-negara berlomba-lomba menurunkan tarif pajak untuk menarik investasi asing. Meskipun ini bisa meningkatkan daya tarik investasi, kompetisi pajak dapat memicu perlombaan menuju tarif pajak yang sangat rendah, yang pada akhirnya merugikan penerimaan negara.
Indonesia menghadapi tantangan ini, terutama dengan tetangga seperti Singapura yang memiliki tarif Pajak Penghasilan (PPh) Badan sebesar 17%, lebih rendah dari tarif Indonesia yang sebelumnya sebesar 25% (sekarang 22%). Untuk menanggulangi dampak negatif tax competition, pemerintah harus mempertimbangkan reformasi tarif pajak yang tetap kompetitif, tanpa mengurangi penerimaan negara.
3. Base Erosion and Profit Shifting (BEPS)
Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) adalah praktik perusahaan multinasional yang mengalihkan keuntungan ke negara dengan tarif pajak rendah atau bebas pajak untuk menghindari kewajiban pajak di negara asal. Strategi ini sering kali memanfaatkan celah hukum internasional, sehingga keuntungan perusahaan “menghilang” dari yurisdiksi yang memiliki tarif pajak tinggi.
Indonesia sebagai negara berkembang sangat rentan terhadap dampak BEPS karena sumber daya pajak yang terbatas. Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah Indonesia telah berpartisipasi dalam inisiatif global seperti kerangka kerja OECD/G20 Inclusive Framework on BEPS, yang mencakup implementasi Pertukaran Informasi Otomatis atau Automatic Exchange of Information/AEOI dan Pedoman Harga Transfer. Dengan langkah-langkah ini, diharapkan transparansi perpajakan lintas negara meningkat dan celah BEPS dapat diminimalkan.
4. Faktur Pajak Fiktif
Faktur pajak fiktif adalah kejahatan pajak di mana faktur diterbitkan tanpa transaksi nyata, bertujuan untuk mengklaim restitusi atau mengurangi kewajiban Pajak Pertambahan Nilai (PPN) secara ilegal. Praktik ini sering melibatkan jaringan pelaku yang kompleks dan pemalsuan dokumen. Untuk mengatasinya, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menggunakan teknologi analisis data guna mendeteksi pola mencurigakan dan meningkatkan pengawasan, seperti yang telah diimplementasikan per-2025 ini, Coretax.
Baca juga: Mengenal Istilah “Gijzeling” Dalam Penagihan Pajak
5. Penyalahgunaan Fasilitas Pajak
Tak bisa dipungkiri justru kebocoran pajak yang paling dekat adalah fasilitas pajak yang telah diberikan kepada masyarakat disalahgunakan oleh pihak yang tidak berhak atau digunakan untuk tujuan yang tidak sesuai dengan kebijakan pemerintah.
Sebagai contoh, perusahaan yang seharusnya memanfaatkan fasilitas pajak untuk meningkatkan produksi justru menggunakan fasilitas tersebut untuk tujuan lain. Hal ini tidak hanya merugikan negara, tetapi juga menciptakan ketidakadilan bagi wajib pajak lainnya yang membayar pajak secara penuh.
Mengatasi kebocoran pajak membutuhkan pendekatan yang komprehensif, dimulai dengan peningkatan sistem pengawasan dan penegakan hukum melalui audit berbasis risiko untuk memberikan efek jera kepada pelaku pelanggaran. Digitalisasi sistem pajak dengan memanfaatkan teknologi seperti big data dan artificial intelligence juga penting untuk mendeteksi aktivitas mencurigakan serta meningkatkan efisiensi administrasi.
Selain itu, edukasi pajak kepada masyarakat dan pelaku usaha perlu diperkuat melalui kampanye kesadaran yang efektif guna meningkatkan kepatuhan sukarela. Di tingkat global, kerja sama antarnegara melalui pertukaran informasi perpajakan secara otomatis menjadi kunci dalam memerangi penghindaran pajak lintas batas. Akhirnya, reformasi kebijakan pajak yang sederhana dan mudah dipahami dapat mengurangi potensi penyalahgunaan, sekaligus meninjau serta memperbaiki regulasi yang kurang efektif.
Memahami dan mengatasi masalah ini adalah tanggung jawab bersama, sehingga setiap pihak memiliki peran dalam menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil dan efisien. Dengan kerja sama antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta, potensi penerimaan pajak dapat dioptimalkan demi kesejahteraan bersama.









