Sri Mulyani Sebut Dampak Cukai Rokok Naik Tahun Depan

Direktur Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi (PPKE) FEB UB, Candra Fajri Ananda menyampaikan kebijakan harga rokok dan tarif cukai bukan berarti membuat perokok untuk berhenti merokok.

Berdasarkan hasil survei pada 4 provinsi dengan 1.600 responden menunjukkan bahwa sekitar 95% responden akan tetap memilih merokok meskipun harga rokok naik.

Dalam paparan hasil kajian yang berjudul “Kenaikan Harga Rokok terhadap Keseimbangan Prioritas Kebijakan IHT di Indonesia”, Prof. Candra Fajri Ananda mengatakan bahwa hasil survei tersebut semakin memperkuat argumen bahwa kenaikan harga rokok tidak efektif menurunkan angka prevalensi merokok untuk usia 15 tahun ke atas, karena variabel harga rokok bukanlah faktor utama yang membuat seseorang berhenti merokok.

Prof. Candra Fajri Ananda berpendapat bahwa pemerintah dalam hal pengendalian konsumsi dan optimalisasi penerimaan negara, masih berpegang pada mekanisme harga, sehingga kenaikan tarif cukai dilakukan setiap tahun.

Baca juga BKF Sebut Simplifikasi Tarif Cukai Rokok Tantangan Yang Tak Mudah

Sampai saat ini, data BPS telah menunjukkan bahwa untuk perokok usia dini, kebijakan tarif ini terbukti menekan secara signifikan penurunan prevalensi perokok usia dini hingga 3,81% di tahun 2021. Pencapaian ini patut diapresiasi dan telah sesuai dengan target RPJMN 2019-2024.

Namun, indikator prevalensi perokok usia 15 tahun ke atas tidak mengalami perubahan yang signifikan selama hampir 15 tahun sejak 2007. Hal ini menjadi indikasi bahwa kenaikan cukai untuk menekan prevalensi merokok kurang efektif.

Prof. Candra Fajri Ananda juga mengatakan bahwa selama 10 tahun terakhir, kenaikan tarif cukai dan harga rokok terjadi secara signifikasi hampir di semua golongan. Misalnya, kenaikan harga rokok untuk jenis Sigaret Mesin (SKM & SPM) Golongan 1 mengalami perubahan harga hingga 168% dan Sigaret Mesin (SKM & SPM) Golongan 2 mengalami perubahan harga hingga 247%.

Jika ditinjau dari golongan tersebut, kenaikan tarif cukai tertinggi selama 10 tahun terakhir terjadi di rokok jenis Sigaret Mesin (SKM & SPM).

Baca juga Efek Kenaikan Tarif Cukai, Produksi Rokok Turun 48 Persen

Sementara itu, hasil kajian PPKE FEUB juga menyatakan bahwa kenaikan tarif cukai dan harga rokok dalam beberapa tahun mengakibatkan penurunan yang signifikan pada jumlah pabrikan rokok. Menurut Prof. Candra Fajri Ananda, kenaikan harga rokok membuat volume produksi pabrikan rokok menjadi turun, mulai pabrikan Golongan 1 hingga Golongan 3. Hal ini tentu berpotensi menurunkan penerimaan negara dan meningkatkan peredaran rokok ilegal.

Lebih jelasnya, kenaikan tarif cukai sebesar 23% dan HJE meningkat 35% di tahun 2020 sebagaimana diatur dalam PMK 152/2019, berdampak pada penurunan volume produksi rokok hingga minum 9,7%. Serta, meningkatkan peredaran rokok ilegal hingga 4,8%.

Selain itu, volume IHT dan pertumbuhan produksi mengalami penurunan. Data Direktorat Bea Cukai menunjukkan volume produksi turun sekitar 30 miliar batas dari tahun 2019.

Hasil kajian juga menyatakan bahwa kenaikan harga rokok dan tarif rokok berdampak pada pertumbuhan penerimaan CHT yang menurun, karena terjadi penurunan volume produksi akibat penurunan permintaan. Penurunan penerimaan CHT terbesar ini terjadi pada rokok Golongan 1.

Dengan demikian, pemerintah perlu mempertimbangkan dan berhati-hati dalam pengambilan kebijakan cukai rokok di waktu mendatang. Artinya, pemerintah perlu mempertimbangkan berbagai sisi yang terlibat dalam kebijakan cukai rokok di Indonesia, antara lain tenaga kerja, Kesehatan, pendapatan, rokok ilegal, industri, hingga pertanian.

Pemerintah juga perlu meninjau kembali kebijakan cukai rokok, mengingat industri hasil tembakau berperan strategis dalam perekonomian negara.