Efek Kenaikan Tarif Cukai, Produksi Rokok Turun 48 Persen

Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) menyebut bahwa kebijakan kenaikan rata-rata tarif cukai hasil tembakau atau rokok ialah sebesar 12% pada tahun ini.

Kebijakan tersebut dinilai telah efektif menurunkan angka produksi rokok. Kasubdit Tarif Cukai dan Harga Dasar Direktorat Teknis dan Fasilitas Cukai DJBC Akbar Harfianto menyebutkan cukai adalah salah satu instrumen untuk mengendalikan produksi dan konsumsi rokok.

Sepanjang semester I/2022, produksi rokok telah menurun hingga 4,8% dibandingkan pada semester I/2021. Ia mengatakan, data produksi tersebut telah menggambarkan banyaknya rokok yang dikonsumsi oleh masyarakat.

Baca juga BKF Sebut Simplifikasi Tarif Cukai Rokok Tantangan Yang Tak Mudah

Data ini diperoleh dari jumlah pita cukai yang dipesan atau laporan perusahaan, terutama yang telah terdaftar di Bursa Efek Indonesia dan menyampaikan laporan tahunan. Dengan adanya penurunan produksi rokok tersebut, pemerintah telah berharap dapat menurunkan angka prevalensi merokok, terutama pada anak.

Dalam merumuskan kebijakan mengenai cukai rokok, pemerintah memiliki setidaknya empat pertimbangan yang terdiri atas penerimaan negara, aspek kesehatan, tenaga kerja dan keberlangsungan industri rokok, dan pengendalian rokok ilegal.

Pemerintah pun telaah membuat sejumlah simulasi untuk menetapkan besaran kenaikan tarif cukai rokok. Beberapa hal di antaranya yang perlu diperhatikan ialah target penurunan produksi dan indeks keterjangkauan atau affordability index.

Dengan kenaikan tarif sebesar rata-rata 12%, produksi rokok ditargetkan dapat turun hingga 3%, sedangkan pada affordability index ditargetkan dapat meningkat dari 12% hingga menjadi 13,78%.

Baca juga Tembakau Dikenakan Perubahan Tarif PPN, PMK 63 UU HPP Beberkan Aturannya

Selain cukai, Akbar pun menyebutkan pemerintah telah mengatur harga jual eceran (HJE) minimum atas rokok. Dengan kebijakan tarif cukai dan pengaturan HJE inilah ia berharap produksi dan konsumsi rokok dapat menurun.

Ia pun mengatakan, jika mengalami kenaikan dengan memperhatikan daya beli dan inflasi, maka efeknya dilihat bahwa faktanya telah terjadi penurunan.

Adapun, berkurangnya laba bersih emiten pada rokok Golongan 1 dapat dipengaruhi pula oleh peralihan konsumsi rokok dari produk rokok premium ke produk rokok yang lebih murah pada Golongan 2 dan 3. Hal ini terjadi sebagai akibat daya beli masyarakat yang belum sepenuhnya pulih. Pabrik Golongan 2 dan 3 dapat diuntungkan dengan selisih tarif hingga 40 persen lebih rendah dari tarif cukai rokok pabrikan Golongan 1.